Hadits Shahih Al-Bukhari No. 18-19 – Kitab Iman

Pecihitam.org – Hadits Shahih Al-Bukhari No. 18-19 – Kitab Iman ini, menerangkan menghindari fitnah adalah termasuk bagian dari agama, akan tetapi maksud dari hadits tersebut adalah menjaga agama. Kemudian diterangkan keimanan yang hanya diungkapkan dengan lisan tidak akan sempurna, kecuali bila disertai dengan keyakinan yang merupakan perbuatan hati. Keterangan hadist dikutip dan diterjemahkan dari Kitab Fathul Bari Jilid 1 Kitab Iman. Halaman 119-124.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Hadits Shahih Al-Bukhari No. 18

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ عَنْ مَالِكٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي صَعْصَعَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُوشِكُ أَنْ يَكُونَ خَيْرَ مَالِ الْمُسْلِمِ غَنَمٌ يَتْبَعُ بِهَا شَعَفَ الْجِبَالِ وَمَوَاقِعَ الْقَطْرِ يَفِرُّ بِدِينِهِ مِنْ الْفِتَنِ

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [Abdullah bin Maslamah] dari [Malik] dari [Abdurrahman bin Abdullah bin Abdurrahman bin Abu Sha’Sha’ah] dari [bapaknya] dari [Abu Sa’id Al Khudri] bahwa dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “hampir saja terjadi (suatu zaman) harta seorang muslim yang paling baik adalah kambing yang digembalakannya di puncak gunung dan tempat-tempat terpencil, dia pergi menghindar dengan membawa agamanya disebabkan takut terkena fitnah”.

Keterangan Hadis: يُوشِكُ (akan datang) dalam waktu dekat. (puncak bukit) atau puncak gunung. شَعَفَ (tempat-tempat air hujan berkumpul), maksudnya adalah dasar lembah.

يَفِرُّ بِدِينِهِ (menghindarkan agamanya) Imam Nawawi berkata, “Menjadikan hadits ini sebagai dalil pernyataan yang terdapat dalam judul bab akan menimbulkan kritikan, karena lafazh tersebut sama sekali tidak menunjukkan bahwa menghindari fitnah adalah termasuk bagian dari agama, akan tetapi maksud dari hadits tersebut adalah menjaga agama.”

Kemudian Imam Nawawi melanjutkan perkataannya, “Ketika Imam Bukhari melihat bahwa menghindar dari fitnah merupakan upaya untuk menjaga agama, maka beliau menyebutnya dengan agama ” Ada sebagian ulama yang berkata, “Jika huruf min (dari) dalam hadits tersebut menunjukkan arti tab ‘idhiyyah (bagian), maka kritikan itu dapat diterima. Akan tetapi, jika huruf “min “tersebut adalah hanya sebagai ‘ibtidaiyyah (permulaan kalimat) -sehingga maksudnya, menghindari fitnah adalah bersumber dari agama- maka kritikan itu tidak dapat diterima.”

Hadits ini juga disebutkan oleh Imam Bukhari dalam pembahasan tentang Al Fitan (fitnah atau cobaan) dimana sebenarnya hadits tersebut lebih pantas untuk dibahas di sana, dan pembahasan tersebut -Insya Allah- akan disampaikan kemudian.

Hadits Shahih Al-Bukhari No. 19

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَلَامٍ قَالَ أَخْبَرَنَا عَبْدَةُ عَنْ هِشَامٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَمَرَهُمْ أَمَرَهُمْ مِنْ الْأَعْمَالِ بِمَا يُطِيقُونَ قَالُوا إِنَّا لَسْنَا كَهَيْئَتِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ قَدْ غَفَرَ لَكَ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ فَيَغْضَبُ حَتَّى يُعْرَفَ الْغَضَبُ فِي وَجْهِهِ ثُمَّ يَقُولُ إِنَّ أَتْقَاكُمْ وَأَعْلَمَكُمْ بِاللَّهِ أَنَا

Baca Juga:  Menomori Hadits Ternyata Bukan Tradisi Ulama Salaf

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Salam] berkata, telah mengabarkan kepada kami [‘Abdah] dari [Hisyam] dari [bapaknya] dari [Aisyah] berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bila memerintahkan kepada para sahabat, Beliau memerintahkan untuk melakukan amalan yang mampu mereka kerjakan, kemudian para sahabat berkata; “Kami tidaklah seperti engkau, ya Rasulullah, karena engkau sudah diampuni dosa-dosa yang lalu dan yang akan datang”. Maka Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjadi marah yang dapat terlihat dari wajahnya, kemudian bersabda: “Sesungguhnya yang paling taqwa dan paling mengerti tentang Allah diantara kalian adalah aku”.

Keterangan Hadis: Hadits di atas dijadikan dalil, bahwa keimanan yang hanya diungkapkan dengan lisan tidak akan sempurna, kecuali bila disertai dengan keyakinan yang merupakan perbuatan hati. Maksud firman Allah  بِمَا كَسَبَتْ قُلُوبكُمْadalah apa yang terpendam di dalam hati. Ayat ini, meskipun disebutkan dalam konteks tentang (sumpah), akan tetapi penggunaannya sebagai dalil dalam masalah iman diperbolehkan karena ada kesamaan antara kedua kata tersebut yaitu bahwa keduanya (sumpah dan iman) sama-sama merupakan perbuatan hati.

Dalam hal ini, Imam Bukhari terpengaruh dengan pendapat Zaid bin Aslam dalam menafsirkan firman Allah, لَا يُؤَاخِذكُمْ اللَّه بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانكُمْ dengan berkata, “Hal ini seperti perkataan seseorang, “jika aku berbuat seperti ini maka aku akan kafir. “Akan tetapi Allah tidak akan memberikan hukuman atas perkataannya itu kecuali jika telah diyakini oleh hatinya” Dari sini, maka jelaslah korelasi antara ayat dengan hadits tersebut. Hal ini mengandung bantahan kepada kelompok Karramiyah yang berpendapat bahwa iman hanyalah ucapan saja, dan juga merupakan dalil bahwa iman dapat bertambah dan berkurang, karena sabda Rasulullah, “Aku yang paling mengetahui Allah” menunjukkan bahwa pengetahuan manusia tentang Allah bertingkat-tingkat, dimana Rasulullah berada pada tingkatan yang paling atas. Pengetahuan tentang Allah mencakup pengetahuan tentang sifat dan hal-hal yang berkaitan dengan-Nya. Inilah yang dinamakan dengan iman yang sebenarnya.

Imam Al Haramain berkata, “Para ulama sepakat bahwa mengetahui Allah adalah merupakan suatu kewajiban. Akan tetapi mereka berbeda pendapat apakah itu kewajiban yang utama? Ada yang berpendapat bahwa kewajiban yang pertama adalah makrifah (mengetahui), tapi pendapat lain mengatakan, bahwa kewajiban yang pertama adalah mencari atau melihat.” Al Muqtarih berkata, “Telah disepakati bahwa kewajiban yang pertama menurut maksudnya adalah makrifah dan kewajiban pertama kali yang harus dilakukan dari maksud tersebut adalah mencari.”

Dalam menukil ijma’ (konsensus ulama), banyak yang harus diperhatikan. Karena dalam masalah ini banyak perbedaan pendapat, sampai-sampai ada golongan yang menukil pendapat yang bertolak belakang dalam masalah ijma’.

Mereka berargumentasi dengan diterapkannya prinsip tersebut pada generasi pertama Islam ketika menerima orang yang ingin masuk Islam tanpa harus diuji, dan riwayat yang menjelaskan masalah ini banyak sekali. Jawaban kelompok pertama, bahwa golongan kafir mempertahankan dan berperang demi agamanya. Maka mundurnya mereka dari agamanya menunjukkan bahwa mereka telah mengetahui kebenaran.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 621-622 – Kitab Adzan

Oleh karena itu maka Firman Allah فَأَقِمْ وَجْهك لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَة اللَّه الَّتِي فَطَرَ النَّاس عَلَيْهَا serta hadits, “Semua bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah” secara eksplisit mendorong masalah ini keluar dari asalnya. Keterangan lebih lanjut Insya Allah akan ditemukan dalam kitab Tauhid.

Telah dinukil dari Al Qudwah Abu Muhammad bin Abi Hamzah dari Abu Walid Al Baaji dari Abu Ja’far As-Sam’ani -yang merupakan salah seorang penyair besar-bahwa dia mendengar Abu Walid Al Baaji berkata, “Masalah ini adalah salah satu masalah Mu’tazilah yang tersisa dalam madzhab (Ahlu Sunnah).” An-Nawawi berkata, “Dalam ayat tersebut terdapat bukti bahwa perbuatan hati dihitung jika benar-benar ada dalam hati.

Adapun sabda Rasulullah, “Allah mengampuni apa yang ada dalam jiwa umatku selama tidak dikatakan atau dilakukan,” mengandung pengertian jika perbuatan atau niat tersebut belum tertanam dalam hati. Menurut saya, pendapat tersebut dapat didasarkan pada keumuman sabdanya, أَوْ تَعْمَل (ata u tidak dikerjakan), karena keyakinan adalah perbuatan hati. Untuk lebih lengkapnya, masalah ini dapat ditemukan dalam kitab Ar-Riqaaq.

إِذَا أَمَرَهُمْ أَمَرَهُمْ (Apabila Rasulullah menyuruh para sahabatnya, maka beliau akan menyuruhnya….), demikianlah lafazh yang terdapat dalam banyak riwayat. Akan tetapi, ada beberapa riwayat yang menyebutkan lafazh “amarahum ” sekali saja sebagaimana dijelaskan oleh Al Qadhi Abu Bakar bin Al Arabi tentang sebuah riwayat dari jalur Ubadah, dan dari jalur Ibnu Numair dan yang lainnya dari Hisyam yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad, dan juga riwayat yang disebutkan oleh Al Ismaili dari Abu Usamah dari Hisyam dengan lafazh, كَانَ إِذَا أَمَرَ النَّاس بِالشَّيْءِ (Jika beliau memerintahkan manusia untuk melakukan sesuatu).”

Mereka mengatakan, bahwa maksud hadits tersebut adalah jika Rasulullah SAW memerintahkan kepada para sahabat, maka beliau akan memerintahkan sesuatu yang mudah, karena beliau khawatir mereka tidak akan mampu melakukannya secara terus menerus. Akan tetapi, para sahabat meminta kewajiban yang lebih berat, karena mereka berasumsi bahwa berlebihan dalam beramal dapat meningkatkan derajat mereka.

Oleh karena itu, mereka berkata, “kami ini tidak sepertimu” Perkataan ini menyebabkan Rasulullah SAW marah, karena ketinggian derajat seseorang tidak hanya diperoleh dengan ibadah saja, akan tetapi dapat diperoleh juga dengan menambah rasa syukur kepada Sang Pemberi Nikmat sebagaimana sabda Nabi, “Bukankah aku seorang hamba yang bersyukur?”

 Adapun maksud Rasulullah memerintahkan kepada mereka untuk mengerjakan sesuatu yang mudah adalah agar mereka dapat melaksanakannya secara terus menerus sebagaimana disebutkan dalam hadits lain, “Amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah yang dilakukan terus menerus?’

Dengan pengulangan kata أَمَرَهُمْ riwayat ini, maka maksud hadits tersebut adalah jika beliau memerintahkan sesuatu kepada mereka maka beliau akan memerintahkan kepada mereka yang dapat dilakukan terus menerus. Dengan demikian kata amarahum yang kedua berfungsi sebagai jawab syarth. كَهَيْئَتِك (sepertimu), maksudnya bahwa status kami tidaklah sama dengan statusmu wahai Rasulullah. Penggunaan kata hai’ah hanya sebagai penguat saja. Ada beberapa pelajaran penting yang dapat diintisarikan dari hadits ini, yaitu:

Baca Juga:  Memahami Esensi Hadis Tentang Hijrah yang Sebenarnya

1. Perbuatan shalih dapat meningkatkan derajat orang yang melakukannya dan menghapuskan dosa-dosanya. Hal ini disebabkan karena Rasulullah SAW tidak mengingkari pendapat dan argumentasi para sahabat tersebut dari segi ini.

2. Seorang hamba yang telah mencapai puncak ibadah dan dapat menikmatinya, maka ia akan terus melaksanakannya dengan maksud untuk menjaga nikmat tersebut dan menambah rasa syukur kepada Allah.

3. Dianjurkan untuk melaksanakan hukum azimah (tmkum asal) ataupun rukhshah (keringanan) sebagaimana mestinya sesuai dengan ketentuan syariat (Allah), dan berkeyakinan bahwa melaksanakan sesuatu yang lebih ringan tapi sesuai dengan syariat adalah lebih baik daripada melakukan sesuatu yang lebih berat tapi bertentangan dengan syariat.

4. Ibadah yang paling utama adalah yang dilakukan secara sederhana akan tetapi dilakukan secara terus menerus, bukan ibadah yang berlebih-lebihan sehingga dapat menyebabkan rasa bosan dan ingin meninggalkannya.

5. Hadits ini menunjukkan betapa besarnya semangat para sahabat dalam beribadah dan keinginan mereka untuk menambah ke – baikan.

6. Marah dibolehkan bagi seseorang jika ia melihat sesuatu yang bertentangan dengan syariat agama, dan dianjurkan untuk mengingatkan orang yang pintar jika ia lupa atau tidak dapat memahami sesuatu dengan maksud untuk menyadarkannya.

7. Seseorang dibolehkan untuk membicarakan tentang kelebihan dirinya sesuai dengan kebutuhan, dengan syarat tidak berniat untuk membesar-besarkan dirinya.

8. Rasulullah SAW adalah orang yang mencapai tingkat kesempurnaan karena dalam dirinya terdapat dua hal sekaligus yaitu, ilmu dan amal. Beliau telah mengisyaratkan tentang hal pertama (ilmu) dengan sabdanya, “Aku yang lebih mengetahui,'” dan tentang hal yang kedua dalam sabdanya, “yang paling takwa.”

Dalam riwayat Abunu’aim lafazhnya adalah, وَأَعْلَمكُمْ بِاَللَّهِ لَأَنَا penambahan huruf lam sebagai ta ‘kiid (penguat). Sedangkan dalam riwayat Abu Usamah dari Al Ismaili lafazhnya adalah, وَاَللَّه إِنَّ أَبَرّكُمْ وَأَتْقَاكُمْ أَنَا (Sesungguhnya orang yang paling baik dan bertakwa di antara kalian adalah aku). Hadits ini termasuk hadits yang hanya diriwayatkan oleh Bukhari dan termasuk dalam hadits gharib yang shahih.

M Resky S