Hadits Shahih Al-Bukhari No. 222-225 – Kitab Wudhu

Pecihitam.org – Hadits Shahih Al-Bukhari No. 222-225 – Kitab Wudhu ini, Imam Bukhari memulai hadis ini dengan judul “Mencuci dan Mengerik Mani serta Mencuci Apa yang Menyentuh Wanita” hadis ini menjelaskan tentang Aisyah ra yang mencuci pakaian bekas janabah Rasulullah saw dan beliau langsung memakainya dalam keadaan basah. Keterangan hadist dikutip dan diterjemahkan dari Kitab Fathul Bari Jilid 2 Kitab Wudhu. Halaman 308-314.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

حَدَّثَنَا عَبْدَانُ قَالَ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ قَالَ أَخْبَرَنَا عَمْرُو بْنُ مَيْمُونٍ الْجَزَرِيُّ عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ يَسَارٍ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كُنْتُ أَغْسِلُ الْجَنَابَةَ مِنْ ثَوْبِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَخْرُجُ إِلَى الصَّلَاةِ وَإِنَّ بُقَعَ الْمَاءِ فِي ثَوْبِهِ

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [‘Abdan] berkata, telah mengabarkan kepada kami [‘Abdullah bin Al Mubarak] berkata, telah mengabarkan kepada kami [‘Amru bin Maimun Al Jazari] dari [Sulaiman bin Yasar] dari [‘Aisyah] ia berkata, “Aku mencuci kain Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sisa dari janabat, kemudian beliau keluar untuk shalat, sementara kainnya masih nampak basahnya.”

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ قَالَ حَدَّثَنَا يَزِيدُ قَالَ حَدَّثَنَا عَمْرٌو يَعْنِي ابْنَ مَيْمُونٍ عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ يَسَارٍ قَالَ سَمِعْتُ عَائِشَةَ ح و حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَاحِدِ قَالَ حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ مَيْمُونٍ عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ يَسَارٍ قَالَ سَأَلْتُ عَائِشَةَ عَنْ الْمَنِيِّ يُصِيبُ الثَّوْبَ فَقَالَتْ كُنْتُ أَغْسِلُهُ مِنْ ثَوْبِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَخْرُجُ إِلَى الصَّلَاةِ وَأَثَرُ الْغَسْلِ فِي ثَوْبِهِ بُقَعُ الْمَاءِ

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [Qutaibah] berkata, telah menceritakan kepada kami [Yazid] berkata, telah menceritakan kepada kami [‘Amru] -yaitu Ibnu Maimun- dari [Sulaiman bin Yasar] berkata, aku mendengar [‘Aisyah] berkata. (dalam jalur lain disebutkan) Telah menceritakan kepada kami [Musaddad] berkata, telah menceritakan kepada kami [‘Abdul Wahid] berkata, telah menceritakan kepada kami [‘Amru bin Maimun] dari [Sulaiman bin Yasar] berkata, “Aku bertanya kepada [‘Aisyah] tentang mani yang mengenai pakaian. Ia lalu menjawab, “Aku pernah mencuci air mani dari pakaian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau lalu keluar untuk shalat sementara sisa cucian masih nampak pada pakaian beliau.”

حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ الْمِنْقَرِيُّ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَاحِدِ قَالَ حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ مَيْمُونٍ قَالَ سَأَلْتُ سُلَيْمَانَ بْنَ يَسَارٍ فِي الثَّوْبِ تُصِيبُهُ الْجَنَابَةُ قَالَ قَالَتْ عَائِشَةُ كُنْتُ أَغْسِلُهُ مِنْ ثَوْبِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ يَخْرُجُ إِلَى الصَّلَاةِ وَأَثَرُ الْغَسْلِ فِيهِ بُقَعُ الْمَاءِ

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [Musa bin Isma’il Al Minqari] berkata, telah menceritakan kepada kami [‘Abdul Wahid] berkata, telah menceritakan kepada kami [‘Amru bin Maimun] berkata, “Aku bertanya kepada [Sulaiman bin Yasar] tentang pakaian yang terkena janabat (mani), ia menjawab, ” [‘Aisyah] pernah berkata, “Aku pernah mencuci air mani dari pakaian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian beliau keluar untuk shalat dan sisa cucian masih nampak pada pakaian beliau.”

حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ خَالِدٍ قَالَ حَدَّثَنَا زُهَيْرٌ قَالَ حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ مَيْمُونِ بْنِ مِهْرَانَ عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ يَسَارٍ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا كَانَتْ تَغْسِلُ الْمَنِيَّ مِنْ ثَوْبِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ أَرَاهُ فِيهِ بُقْعَةً أَوْ بُقَعًا

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [‘Amru bin Khalid] berkata, telah menceritakan kepada kami [Zuhair] berkata, telah menceritakan kepada kami [‘Amru bin Maimun bin Mihran] dari [Sulaiman bin Yasar] dari [‘Aisyah], bahwa ia pernah mencuci air mani dari pakaian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian aku masih melihat bekas sisa cucian itu.”

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 315-316 – Kitab Haid

Keterangan Hadis: (Mencuci mani dan mengeriknya). Imam Bukhari tidak meriwayat­kan hadits tentang mengerik mani, bahkan beliau hanya memberi isyarat pada judul bab sebagaimana yang dilakukannya. Sebab, riwayat tentang mengerik mani juga dinukil melalui hadits Aisyah seperti yang akan kami sebutkan.

Tidak ada pertentangan antara hadits tentang mencuci mani dengan mengeriknya, karena untuk memadukan kedua riwayat itu sangat jelas bagi mereka yang berpandangan bahwa mani adalah suci. Yaitu dengan memahami bahwa mencuci mani merupakan sesuatu yang disukai dan bukan hal yang wajib.

Demikianlah cara yang ditempuh oleh Imam Syafi’ i, Imam Ahmad dan para ahli hadits. Begitu pula memadukan kedua riwayat yang dimaksud bisa saja dilakukan oleh mereka yang berpendapat mani adalah najis, yakni dengan mengatakan sesungguhnya perintah untuk mencuci dilakukan bila mani dalam keadaan basah. Sedangkan keterangan tentang mengerik dikhususkan apabila mani telah mengenng, sebagaimana cara yang ditempuh oleh ulama madzhab Hanafi.

Akan tetapi cara pertama jauh lebih tepat, sebab yang demikian itu merupakan upaya untuk mengamalkan riwayat dan melakukan qiyas (analogi) sekaligus. Karena apabila mani itu najis, maka secara logika untuk menghilangkannya harus dicuci dan tidak boleh hanya dikerik seperti darah dan najis-najis yang lain. Sementara mereka (golongan Hanafi) dalam membersihkan darah dalam kadar yang banyak tidak mencukupkan dengan mengerik saja.

Cara kedua tertolak dengan apa yang dinukil oleh Ibnu Khuzaimah melalui jalur lain dari Aisyah, bahwasanya ia pemah menghilangkan mani dari pakaian Nabi SAW dengan akar idzkhir (salah satu jenis tumbuhan) kemudian beliau shalat menggunakan pakaian itu. Ia pemah pula mengerik mani yang telah kering di kain Nabi SAW kemudian beliau shalat dengan menggunakan kain tersebut. Riwayat ini memberi keterangan bahwa Aisyah RA tidak mencuci air mani baik dalam keadaan basah maupun setelah mengering.

Adapun Imam Malik tidak mengenal adanya mengerik, beliau mengatakan, “Sesungguhnya praktek yang berlangsung dalam madzhab ini (Maliki) adalah mencuci air mani sebagaimana halnya najis-najis yang Jain.” Namun hadits tentang mengerik mani merupakan bantahan kuat bagi pendapat mereka, hanya saja sebagian ulama madzhab Maliki memahami makna mengerik dalam hadits tersebut dalam arti menggosok dengan menggunakan air.

Akan tetapi pemahaman seperti ini juga tertolak oleh keterangan yang terdapat dalam salah satu riwayat Imam Muslim dari Aisyah, dimana dikatakan, “Sungguh aku pemah mengalami dimana aku mengerik mani yang telah mengering di pakaian Rasulullah dengan menggunakan kukuku.”

Demikian juga dengan keterangan salah satu riwayat yang dishahihkan oleh Imam Tirmidzi dari hadits Hammam bin Harits, dimana dikatakan bahwa Aisyah RA pemah mengingkari per­buatan tamunya ketika ia mencuci mani. Aisyah berkata, “Mengapa ia telah merusak pakaian kami? Sesungguhnya cukuplah baginya mengerik dengan menggunakan jari-jari tangannya. Karena betapa banyak aku telah mengerik mani di pakaian Nabi SAW dengan menggunakan jari-jari tanganku. ”

Baca Juga:  Tahukah Kamu Apa Maksud Hadits Muttafaq 'alaih? Ini Penjelasannya

Sebagian ulama mengatakan, “Pakaian yang beliau (Aisyah) kerik saat menghilangkan air mani adalah pakaian tidur, sedangkan pakaian yang beliau cuci adalah pakaian untuk shalat.” Tapi pendapat ini tertolak oleh keterangan pada salah satu riwayat Imam Muslim dari hadits Aisyah, dimana disebutkan, “Sungguh aku pernah mengerik mani di pakaian Nabi SAW, maka beliau shalat menggunakan pakaian tersehut.” Lafazh hadits yang berbunyi “Maka beliau shalat menggunakan pakaian tersebut,” menolak kemungkinan antara mengerik dan shalat setelah dicuci.

Keterangan lebih tegas lagi mengenai hal ini adalah riwayat lbnu Khuzaimah yang berbunyi, “Bahwasanya ia (Aisyah) pernah mengerik mani di pakaian Nabi SAW pada saat heliau SAW sedang melakukan shalat.” Kemudian seandainya riwayat-riwayat di atas tidak pemah dinukil, maka hadits yang disebutkan oleh Imam Bukhari tidak pula mengindikasikan najisnya air mani. Sebab tindakan Aisyah mencuci mani termasuk kategori perbuatan, sementara perbuatan itu sendiri tidak berkonsekuensi kepada kewajiban, wallahu a ‘lam.

Lalu pandangan yang berdalil dengan hadits-hadits di atas untuk menyatakan bahwa air mani itu tidak najis, dibantah oleh sebagian ulama dengan alasan bahwa mani Nabi SAW hukumnya suci sebagaimana yang keluar dari tubuhnya. Jawaban untuk pandangan ini dikatakan, “Kalaupun kita setuju hal ini termasuk kekhususan bagi beliau SAW, namun mani beliau SAW keluar sebagai hasil melakukan hubungan biologis yang tentu saja bercampur dengan mani istrinya. Seandainya mani istrinya hukumnya najis, maka tidak cukup menghilangkannya hanya dikerik.”

Pandangan seperti ini telah dipergunakan oleh Syaikh Al Muwaffiq dan ulama selain beliau untuk menyatakan sucinya cairan yang membasahi kemaluan wanita. Beliau berkata, “Barangsiapa yang mengatakan bahwa mani sangat rawan tercampur oleh madzi, maka orang ini telah keliru. Karena apabila syahwat telah memuncak, niscaya air mani akan keluar tanpa diiringi oleh madzi atau kencing sebagaimana keadaan saat bermimpi.”

(Dan mencuci apa-apa yang menyentuh), seperti pakaian dan hal­hal lain dari wanita saat melakukan hubungan suami-istri.

Dalam masalah m1 terdapat sebuah hadits yang memberi keterangan cukup tegas, yaitu riwayat yang nanti akan disebutkan oleh Imam Bukhari di bagian akhir kitab Mandi dari hadits Utsman. Akan tetapi beliau (Imam Bukhari) tidak menukil hadits tersebut di tempat ini, seakan-akan keterangan untuk mencuci apa-apa yang menyentuh dari wanita, beliau tarik dari kesimpulan yang telah kami kemukakan, yaitu bahwa mani yang terdapat di pakaian tidak terlepas dari percampuran antara mani wanita dan cairan yang biasa membasahi kemaluannya.

أَغْسِلُ الْجَنَابَة (Aku mencuci junub), yakni bekas junub (mani).

سَأَلْتُ عَائِشَةَ (Aku pernah bertanya kepada Aisyah). Lafazh ini merupakan bantahan atas perkataan Al Bazzar yang menyatakan, bahwa Sulaiman bin Yasar tidak mendengar hadits ini langsung dari Aisyah RA. Al Bazzaar sendiri telah didahului oleh ulama lain mengenai pemyataan itu, sebagaimana yang dikutip oleh Imam Syafi’i dalam kitab Al Umm dari beliau. Beliau menambahkan bahwa para ahli hadits mengatakan, sesungguhnya Amru bin Maimun telah keliru dalam menisbatkan hadits ini kepada Aisyah, padahal itu hanyalah fatwa Sulaiman bin Yasar.

Akan tetapi dari pandangan Imam Bukhari yang telah menshahih­kannya dan Imam Muslim yang menyetujui ha] itu, maka jelaslah bahwa riwayat Sulaiman bin Yasar sangatlah akurat, dan penisbatan hadits ini langsung kepada Aisyah RA adalah benar. Tidak ada pertentangan antara fatwa dan riwayat Sulaiman bin Yasar. Demikian juga perbedaan versi riwayat yang ada tidak berpengaruh, dimana dikatakan pada salah satunya bahwa Amru bin Maimun bertanya kepada Sulaiman, sedangkan pada versi lain dikatakan Sulaiman bin Yasar bertanya langsung kepada Aisyah. Hal itu karena masing-masing perawi mendengar pemyataan gurunya. Sebagian mereka menghapal apa yang tidak dihapal oleh perawi lainnya, sementara mereka semua tergolong tsiqah (terpercaya).

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 407-408 – Kitab Shalat

عَنْ الْمَنِيِّ (Tentang mani) Yakni mengenai hukum mani, apakah disyariatkan untuk dicuci atau tidak? Jawaban yang diberikan adalah beliau biasa mencucinya. Akan tetapi dalam pemyataan tersebut tidak ditemukan indikasi yang menyatakan bahwa hal itu wajib dilakukan.

فَيَخْرُجُ (Kemudian beliau keluar), maksudnya keluar dari kamamya menuju masjid.

Dalam hadits ini terdapat sejumlah faidah, di antaranya; keterangan wanita menanyakan perkara-perkara yang dianggap tabu demi kemaslahatan mempelajari hukum dan khidmat isteri terhadap suaminya.

Lalu hadits ini dijadikan oleh Imam Bukhari sebagai dalil, bahwa bekas najis yang tersisa tidaklah mengapa selama ujudnya sudah hilang. Atas dasar ini Imam Bukhari memberi judul hadits ini dengan per­kataannya, “Bab apabila junub dan selainnya dicuci namun bekasnya tidak hilang.”

Kemudian beliau menyebutkan dalam bab ini sebuah hadits tentang junub seraya mengikutkan yang lainnya dengan cara analogi ( disamakan) dengannya. Atau beliau memaksudkan dengan hal ini sebagai isyarat terhadap hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan selainnya dari Abu Hurairah bahwa Khaulah binti Yasar berkata,

Wahai Rasulullah, aku tidak memiliki kecuali satu pakaian dan aku mengalami haid, maka apakah yang mesti aku lakukan? ” Beliau SAW bersabda, “Apabila engkau telah suci. maka cucilah pakaianmu itu lalu shalatlah dengan menggunakannya.” Beliau bertanya lagi, ”Bagaimana jika darah tidak keluar? “Beliau SAW bersabda. “Cukuplah bagimu air dan tidak mudharat (bahaya) bagimu bekasnya.” Pada jalur periwayatan hadits ini terdapat kelemahan. Ia memiliki pula penguat dengan silsilah periwayatan mursal (tanpa menyebut perawi langsung dari Nabi), seperti dikutip oleh Al Baihaqi.

Adapun yang dimaksud dengan bekas adalah sesuatu yang sulit dihilangkan, demi untuk memadukan antara riwayat ini dengan hadits Ummu Qais, “Keriklah dengan tulang dan cucilah dengan menggunakan air serta Sidr (sejenis tumbuhan yang harum).” Diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan silsilah periwayatan yang hasan. Oleh karena hadits ini tidak sesuai dengan syarat Imam Bukhari, maka makna yang dikandung oleh hadits ini beliau gali dari hadits yang sesuai dengan syaratnya, sebagaimana yang biasa dilakukannya.

M Resky S