Hadits Shahih Al-Bukhari No. 231-232 – Kitab Wudhu

Pecihitam.org – Hadits Shahih Al-Bukhari No. 231-232 – Kitab Wudhu ini, Imam Bukhari memulai hadis ini dengan judul “Kencing di Air yang Tergenang”. Keterangan hadist dikutip dan diterjemahkan dari Kitab Fathul Bari Jilid 2 Kitab Wudhu. Halaman 346-354.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Hadits Shahih Al-Bukhari No. 231

حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ قَالَ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ قَالَ أَخْبَرَنَا أَبُو الزِّنَادِ أَنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ هُرْمُزَ الْأَعْرَجَ حَدَّثَهُ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ نَحْنُ الْآخِرُونَ السَّابِقُونَ

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [Abu Al Yaman] berkata, telah mengabarkan kepada kami [Syu’aib] berkata, telah mengabarkan kepada kami [Abu Az Zinad] bahwa [‘Abdurrahman bin Hurmuz Al A’raj] menceritakan kepadanya, bahwa ia mendengar [Abu Hurairah] mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kita adalah orang yang datang terakhir dan akan menjadi yang pertama pada hari kiamat.”

Hadits Shahih Al-Bukhari No. 232

وَبِإِسْنَادِهِ قَالَ لَا يَبُولَنَّ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ الَّذِي لَا يَجْرِي ثُمَّ يَغْتَسِلُ فِيهِ

Terjemahan: (Masih dari jalur periwayatan yang sama dengan hadits sebelumnya dari [Abu Hurairah]). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jangan sekali-kali salah seorang dari kalian kencing pada air yang tidak mengalir, lalu mandi darinya.”

Keterangan Hadis: (Kencing di air yang tergenang), yakni yang tidak mengalir. Sementara dalam riwayat Al Ashili disebutkan, “Bab Jangan kencing di air tergenang”, dan kedua makna tersebut sama.

نَحْنُ الْآخِرُونَ السَّابِقُونَ (Kita adalah orang-orang terakhir yang akan mendahului). Para ulama berbeda pendapat dalam memahami maksud Imam Bukhari mendahulukan kalimat ini sebelum hadits yang menjadi pokok bahasan dalam bab ini.

Ibnu Baththal berkata, “Ada kemungkinan Abu Hurairah mendengar yang demikian itu dari Nabi SAW serta hadits sesudahnya dalam satu konteks, maka dia menceritakan kedua kalimat itu. Adapula kemungkinan bahwa hal ini dilakukan oleh perawi yang bemama Hammam, karena ia mendengamya dari Abu Hurairah dengan konteks demikian. Pada dasamya tidak ada kesesuaian antara lafazh yang dimaksud dengan judul bab.”

Aku (lbnu Hajar) katakan, “Kemungkinan pertama dinyatakan sebagai kemungkinan terkuat oleh lbnu At-Tin, akan tetapi peryataan ini tidak lepas dari kritikan. Sebab jika benar kedua kalimat itu merupakan satu hadits, tcntu Imam Bukhari tidak akan memisahkan antara keduanya dengan ucapannya, “Melalui silsilah periwayatan yang sama.” Di samping itu, sabda beliau SAW, نَحْنُ الْآخِرُونَ السَّابِقُونَ (Kita adalah orang-orang terakhir yang akan mendahului) merupakan penggalan dari hadits masyhur saat membahas tentang hari Jum’at sebagaimana akan dibahas, insya Allah.

Andaikata Imam Bukhari memperhatikan apa yang dikatakan oleh lbnu At-Tin, tentu beliau akan menyebutkan materi hadits ini secara keseluruhan. Kemudian hadits yang menjadi pokok pembahas­an dalam bab ini telah dinukil dari sejumlah jalur periwayatan dari Abu Hurairah, seperti tercantum dalam kitab-kitab para imam ahli hadits.

Tidak ada pada salah satu jalur periwayatan tersebut yang menyebutkan lafazh, نَحْنُ الْآخِرُونَ السَّابِقُونَ (Kita adalah orang-orang terakhir yang akan mendahului), sebagaimana telah dinukil pula oleh Abu Nu’aim dalam kitab Al Mustakhraj tanpa menyebutkan lafazh terakhir ini.

Adapun perkataan lbnu Baththal, “Ada pula kemungkinan yang melakukan hal ini adalah perawi yang bernama Hammam, karena ia mendengarnya dari Abu Hurairah dengan konteks demikian”, merupakan suatu kekeliruan yang ternyata diikuti oleh sejumlah ulama, sebab perawi yang bemama Hammam tidak disebut-sebut dalam silsilah periwayatan hadits ini. Sedangkan perkataannya, bahwa tidak ada pada hadits ini kcsesuaian dengan judul bab adalah pemyataan yang benar, meski sebagian ulama memaksakan diri untuk mencari-cari kesesuaian di antara keduanya seperti yang akan kami sebutkan.

Pandangan paling tepat mengenai hal ini, adalah bahwa Imam Bukhari terkadang menyebutkan sesuatu sebagaimana yang ia dengar secara keseluruhan, karena pada yang demikian itu terkandung sisi penetapan dalil yang diperlukan meskipun yang lainnya tidak dibutuhkan pada persoalan tersebut. Hal ini sebagaimana yang beliau lakukan sehubungan dengan hadits Urwah Al Bariqi mengenai pembelian kambing, seperti akan dijelaskan pada bah “Jihad”. Contoh semacam itu sangat banyak ditemukan dalam kitab ini.

Sikap seperti ini dilakukan pula oleh Imam Malik dalam kitab Al Muwaththa ‘ dimana beliau menyebutkan dalam bab “Shalat shubuh dan isya” beberapa matan (materi) hadits dengan satu silsilah periwayatan, yang mana bagian awalnya berbunyi, مَرَّ رَجُل بِغُصْن شَوْك (Seorang laki-laki melewati dahan pohon berduri) dan di bagian akhimya,لَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِي الصُّبْحِ وَالْعَتَمَة لَأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا (Seandainya mereka mengetahui apa yang terdapat pada shalat shubuh dan isya, niscaya mereka akan mendatangi keduanya meski dengan merangkak). Padahal yang menjadi pokok pembahasan beliau tidak lain hanyalah bagian akhir hadits, akan tetapi beliau menyebutkannya sebagaimana yang beliau dengar.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 389-390 – Kitab Shalat

lbnu Al Arabi berkata dalam kitab Al Qabs, “Kami melihat orang­orang yang bodoh bersusah payah untuk menakwilkan (mencari kesesuai­an) antara hadits dengan judul bab di atas. Padahal antara judul bab dengan hadits yang disebutkan di bawahnya tidak mcmiliki ketcrkaitan sama sckali.” Ulama selain bcliau berkata, “Sisi kesesuaian di antara keduanya, bahwa umat ini mcrupakan umat terakhir yang dimakamkan di muka bumi namun yang pertama kali keluar darinya. Sebab sesuatu yang paling akhir diletakkan dalam sebuah wadah, itu pula yang pcrtama kali dikeluarkan darinya.

Demikian halnya dengan air tergenang yang dikencingi, sesungguhnya kencing tersebut adalah yang pertama kali menycntuh badan orang yang ingin bersuci dengan air tergcnang yang dimaksud, maka hams untuk dijauhi.” Namun, kelemahan perkata an ini cukup jelas.

Dikatakan pula, sisi kesesuaian antara keduanya adalah bahwa bani Isra · ii meskipun lebih dahulu dari segi masa akan tetapi umat Islam lebih dahulu dalam hal menjauhi air tergenang apabila tercemar kencing. Kemungkinan bani Isra’il tidak menghindari hal ini. Perkataan ini dibantah dengan kenyataan bahwa bani Isra’il jauh lebih teliti dalam menjauhi najis hingga bila mengenai pakaian salah seorang di antara mereka, maka ia pun menggunting kain tersebut. Lalu bagaimana mungkin dugaan seperti ini ditujukan kepada mereka? Hanya saja, anggapan kemustahilan ini tidak menghapus adanya kemungkinan mengenai hal itu. Namun apa yang telah kami kemukakan jauh lebih tepat.

Pada riwayat Imam Bukhari dalam pembahasan ta’bir mimpi, dia menukil hadits seperti ini dari jalur Hammam dari Abu Hurairah dimana hadits tersebut diawali pula dengan lafazh, نَحْنُ الْآخِرُونَ السَّابِقُونَ (Kita adalah orang-orang yang terakhir dan yang akan mendahului).

Kesimpulan paling kuat adalah, naskah riwayat Abu Zinad dari Al A’raj dari Abu Hurairah seperti naskah riwayat Ma’mar dari Hammam dari Abu Hurairah. Oleh sebab itu, sedikit sekali hadits yang tercantum dalam salah satu dari kedua naskah itu yang tidak terdapat pada naskah yang satunya.

Kedua naskah tersebut memuat sejumlah besar hadits yang umumnya diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim. Lalu kedua naskah tersebut dimulai dengan hadits yang berbunyi, نَحْنُ الْآخِرُونَ السَّابِقُونَ. Oleh sebab itulah Imam Bukhari mengawali dengan lafazh hadits yang beliau nukil dari kedua naskah tersebut. sementara Imam Muslim menempuh cara lain dalam menukil hadits yang bcrasal dari naskah riwayat Hammam, dimana beliau berkata pada setiap hadits yang beliau kutip dari naskah tersebut, “Rasulullah SAW bersabda … ” Lalu beliau berkata lagi,… “dan Rasulullah SAW bersabda … ” Maksudnya untuk menjelaskan bahwa hadits yang disebutkannya berada di tengah naskah bukan di awalnya, wallahu a ‘lam.

 الَّذِي لَا يَجْرِي (yang tidak mengalir). Dikatakan bahwa kalimat ini merupakan tafsiran dan penjelasan makna sabda beliau  الْمَاءِ الدَّائِمِ(Air tergenang). Dikatakan pula bahwa lafazh ini berfungsi untuk membatasi makna, yakni untuk mengeluarkan dari pengertian ini “air tergenang yang sebagiannya mengalir” seperti kolam atau danau. Sebagian Jagi mengata­kan kalimat ini berfungsi untuk mengeluarkan dari pengertian ini “air tergenang yang banyak”, sebab air tersebut dari segi bentuk dianggap mengalir sedangkan dari segi makna tidaklah demikian.

Atas dasar itu, maka batasan ini tidak disebutkan dalam riwayat Abu Utsman dari Abu Hurairah yang telah diisyaratkan tcrdahulu, dimana ia hanya menyebutkan lafazh الرَّاكِد (,Ji (tenang) sebagai ganti dari lafazh الدَّائِم (tergenang). Demikian pula diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Hadits Jabir.

ثُمَّ يَغْتَسِلُ (Kemudian ia mandi). Menurut riwayat yang masyhur, kata ini dibaca يَغْتَسِلُ (huruf akhir diberi harakat dhammah ). Namun Ibnu Malik berkata, “Boleh dibaca (huruf akhir diberi harakat sukun) berdasarkan lafazh sebelumnya yakni, لَا يَبُولَنَّ (janganlah ia kencing) dimana lafazh ini pada dasarnya berharakat sukun karena didahului oleh huruf lam yang berfungsi sebagai larangan. Hanya saja di sini huruf akhirnya diberi harakat fathah, karena bersambung dengan huruf nun yang berfungsi untuk mempertegas suatu perkataan.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 532-534 – Kitab Waktu-waktu Shalat

Namun, Imam Al Qurthubi tidak memperbolehkan lafazh ini untuk dibaca sebagaimana yang dikatakan olch lbnu Malik. Dengan alasan jika

lafazh ini berfungsi sebagai larangan, tentu akan dikatakan ثُمَّ لَا يَغْتَسِلَنَّ (Kemudian janganlah ia mandi). Sehingga kedudukan kedua larangan ini menjadi sama, sebab yang menjadi obyek keduanya hanya-lah satu yaitu air.”

Beliau menambahkan, “Karena beliau SAW tidak menuturkannya dalam bentuk demikian, maka dapat diambil kesimpulan bahwa beliau SAW tidak bermaksud mengaitkan lafazh kedua kepada lafazh pertama. Bahkan beliau SAW hanya memberi perhatian akan akibat yang timbul saja. Dimana terkadang seseorang yang kencing di air tergenang butuh untuk menggunakan air tersebut, semcntara air itu tidak dapat lagi digunakannya.

Sama seperti ini sabda beliau SAW, لَا يَضْرِبَنَّ أَحَدُكُمْ اِمْرَأَته ضَرْبَ الْأَمَةِ ثُمَّ يُضَاجِعُهَاJanganlah salah seorang di antara kamu memukul istrinya sebagaimana ia memukul budak wanita, kemudian ia menggauli istrinya.” Maksud hadits ini adalah larangan bagi suami untuk memukul istri secara berlebihan, karena ia akan butuh untuk bergaul dengan istrinya. Jika hal itu terjadi, sang istri akan menolak disebabkan per­buatan suaminya yang tidak baik terhadapnya.”

Akan tetapi perkataan ini dibantah dengan mengatakan, bahwa suatu larangan yang diberi penekanan tertentu (menggunakan huruf taukid) tidak dilarang untuk dikaitkan dengannya lafazh larangan lain yang tidak disertai penekanan apa-apa (tanpa huruf taukid). Sebab, boleh jadi pada salah satu dari kedua hal terlarang itu terdapat makna tertentu yang tidak didapatkan pada yang lainnya.

Selanjutnya Imam Al Qurthubi berkata, “Tidak boleh pula dibaca ثُمَّ يَغْتَسِل (huruf akhir diberi harakat fathah), sebab tidak ada kata ganti setelah lafazhثُمَّ  “Namun hal itu diperbolehkan oleh Ibnu Malik, karena kata ثُمَّ (kemudian) di sini diartikan sebagaimana makna huruf sambung waw (dan).

Kemudian Imam An-Nawawi menolak pendapat lbnu Malik dengan alasan bila lafazh ثُمَّ (kemudian) diartikan sebagaimana makna huruf وَ (dan), maka larangan tersebut hanya berlaku apabila dikumpul­kan antara kencing dan mandi di air tersebut, sehingga apabila hanya kencing saja di tempat itu maka tidak dilarang.

Selanjutnya perkataan Imam An-Nawawi dianggap lemah oleh lbnu Daqiq Al Id, sebab menurut beliau tidak harus satu lafazh mengandung beberapa macam hukum. Larangan mengumpulkan antara kencing di air tergenang sekaligus mandi didasarkan pada hadits ini (dengan catatan apabila riwayat yang memberi harakat fathah pada lafazh يَغْتَسِل terbukti kebenarannya). Sedangkan larangan untuk kedua perbuatan itu secara sendiri-sendiri didasarkan pada dalil yang lain.

Aku (Ibnu Hajar) katakan, “Dalil yang dimaksud adalah riwayat Imam Muslim dari Jabir yang berbunyi, نَهَى عَنْ الْبَوْلِ فِي الْمَاءِ الرَّاكِدِ (Nabi SAW melarang untuk kencing di air yang tergenang). Dalam riwayat beliau melalui jalur Abu Sa’ib dari Abu Hurairah RA disebutkan pula dengan lafazh, لَا يَغْتَسِلُ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ وَهُوَ جُنُبٌ (Janganlah salah seorang di antara kamu mandi di air tergenang sementara ia dalam keadaan junub ). Lalu Abu Dawud meriwayatkan akan larangan keduanya dalam satu hadits, dengan lafazh لَا يَبُولَنَّ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ وَلَا يَغْتَسِلُ فِيهِ مِنْ الْجَنَابَةِ (Janganlah salah seorang di antara kamu kencing di airtergenang danjangan pula ia mandijunub di dalamnya).”

Riwayat-riwayat ini telah dijadikan dalil oleh ulama madzhab Hanafi untuk menunjukkan bahwa air musta ‘mal (bekas pakai) adalah najis hukumnya. Sebab kencing dapat mengubah air menjadi najis, demi­kian pula dengan mandi junub. Sementara beliau SAW telah melarang kedua perbuatan tersebut, dimana larangan ini berindikasi haram, maka hal ini menunjukkan bahwa air menjadi najis karena dua hal tersebut.

Namun pandangan ini dibantah dengan mengatakan, bahwa ke­simpulan itu hanya berdasarkan penyesuaian antara dua hal yang ada, sementara dasar hukum seperti ini sangat lemah. Kalau pernyataan itu diterima, maka tidak berkonsekuensi pada persamaan keduanya dari segi hukum dimana dapat dikatakan bahwa indikasi larangan kencing di air tergenang adalah agar air tersebut tidak tercemar oleh najis, sedangkan larangan mandi di air tersebut adalah agar air itu tidak kehilangan sifatnya sebagai alat untuk bersuci.

Keterangan ini semakin diperjelas oleh lafazh dalam riwayat Imam Muslim, “Bagaimana yang beliau lakukan wahai Abu Hurairah?” ia menjawab, “Ia menimbanya.” Riwayat ini memberi keterangan maksud dari larangan menyeburkan diri ke dalam air tergenang agar jangan sampai air itu berubah menjadi air musta’mal, sehingga tertutup kemungkinan bagi orang lain memakainya untuk bersuci. Sementara sahabat lebih mengetahui maksud suatu lafazh dibanding generasi sesudah mereka.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 404-405 – Kitab Shalat

Riwayat ini merupakan dalil terkuat untuk menyatakan air musta’mal (bekas pakai) tidak dapat digunakan bersuci (wudhu atau mandi junub -penerj), sementara dalil-dalil yang menunjukkan bahwa air musta ‘mal hukumnya suci telah disebutkan terdahulu.

Tidak ada perbedaan mengenai hukum air yang tercampur air kencing dengan air yang kejatuhan najis yang lain, berbeda dengan pandangan sebagaian ulama madzhab Hambali. Demikian pula tidak ada perbedaan antara seseorang yang langsung kencing di air atau ia kencing di suatu bejana lalu menumpahkannya ke dalam air yang tergenang, berbeda dengan pandangan ulama madzhab Zhahiriyah.

Semua pembahasan ini khusus berlaku pada air yang sedikit menurut mayoritas ulama, sesuai dengan perbedaan pendapat mereka dalam menentukan batasan air yang sedikit. Telah disebutkan pula pandangan orang yang hanya berpedoman pada berubah tidaknya salah satu sifat air, yang mana ini merupakan pendapat yang sangat kuat. Akan tetapi untuk membedakan antara hukum air dua qullah dengan air yang tak cukup dua qullah jauh lebih kuat, disebabkan adanya hadits shahih yang dinukil mengenai hal itu.

Keakuratan hadits ini telah diakui sendiri oleh Thahawi -salah seorang ulama madzhab Hanafi. Hanya saja beliau tidak mengamalkan indikasinya, dengan alasan bahwa lafazh qullah menurut pengertian umum adalah nama wadah (tempat) tertentu baik besar maupun kecil. Sementara tidak ada keterangan dalam hadits yang membatasi ukurannya, sehingga indikasinya menjadi global (mujmal) dan tidak dapat diamalkan. Pendapat bcliau ini didukung oleh Ibnu Daqiq Al Id.

Akan tetapi para ulama selain keduanya berusaha mencari dalil untuk menentukan ukuran qullah. Abu Ubaid Al Qasim bin salam berkata, “Qullah yang dimaksud di sini adalah yang berukuran besar, sebab jika yang dimaksud adalah yang berukuran kecil tidak diperlukan menyebutkan jumlah qullah.

Dua qullah dalam ukuran yang kecil sama dengan satu qullah dalam ukuran besar. Adapun isi qullah yang ber­ukuran besar dikembalikan kepada kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat Hijaz. Secara lahiriah, Nabi SAW tidak menetapkan batasan demi untuk keluasan. Hal itu dapat diketahui karena beliau SAW tidak berbicara dengan para sahabatnya kecuali apa yang mereka pahami, sehingga dugaan bahwa ukuran qullah bersifat global hilang dengan sendirinya.”

Dengan demikian, karena tidak adanya ketetapan yang tegas mengenai batasannya mengakibatkan timbul perselisihan di kalangan ulama hingga sampai kepada sembilan pendapat seperti dinukil oleh lbnu Mundzir. Lalu pada masa-masa selanjutnya isi qullah diukur dengan menggunakan rithl (satuan ukuran timbangan, kamus Al ‘Ashri -ed), disertai perselisihan mengenai jumlah atau berapa rithl banyaknya.

Kemudian dinukil dari Imam Malik, bahwa beliau memahami indikasi larangan di atas adalah larangan dalam bentuk tanzih (lebih utama bila ditinggalkan -penerj), yakni apabila air tersebut tidak berubah salah satu sifatnya. Pendapat Imam Malik tersebut merupakan pandangan ulama selain beliau.

Imam Al Qurthubi berkata, “Mungkin juga untuk memahami indikasi larangan tersebut adalah haram secara mutlak atas dasar kaidah saddu adz-dzari’ah (menghindari persoalan yang menyebabkan kerusakan), sebab kencing di air tergenang dapat merubah air tersebut menjadi najis.”

ثُمَّ يَغْتَسِلُ فِيهِ (Kemudian ia mandi di dalamnya). Dalam riwayat lbnu Uyainah dari Abu Zinad disebutkan dengan lafazh, ثُمَّ يَغْتَسِلُ مِنْهُ (Kemudian ia mandi darinya). Demikian yang diriwayatkan oleh Imam Muslim melalui jalur lbnu Sirin. Masing-masing kedua lafazh tersebut memberi hukum secara tekstual dan secara implisit, seperti dikatakan oleh Ibnu Daqiq Al Id. Adapun keterangan mengenai hal itu adalah, bahwa kata فِيهِ (padanya) berindikasi slarangan menyeburkan diri

berdasarkan makna tekstualnya dan mencakup larangan menggunakan air tersebut meski harus menimba. Sedangkan riwayat dengan menggunakan lafazh مِنْهُ memiliki indikasi berbeda dengan makna sebelumnya. Semua

pembahasan ini berdasarkan bahwa air dapat berubah menjadi najis apabila bersentuhan dengan najis, wallahu a ‘lam.

M Resky S