Pecihitam.org – Hadits Shahih Al-Bukhari No. 249-250 – Kitab Mandi ini, Imam Bukhari memulai hadis ini dengan judul “Mandi Satu Kali” dan “Orang yang Memulai dengan Hilab atau Harumharuman Ketika Mandi” kedua hadis ini menjelaskan tentang tatacara mandi Rasulullah saw, sebagaimana dijelaskan oleh istrinya. Keterangan hadist dikutip dan diterjemahkan dari Kitab Fathul Bari Jilid 2 Kitab Mandi. Halaman 410-418.
Hadits Shahih Al-Bukhari No. 249
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَاحِدِ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ سَالِمِ بْنِ أَبِي الْجَعْدِ عَنْ كُرَيْبٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَتْ مَيْمُونَةُ وَضَعْتُ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَاءً لِلْغُسْلِ فَغَسَلَ يَدَيْهِ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا ثُمَّ أَفْرَغَ عَلَى شِمَالِهِ فَغَسَلَ مَذَاكِيرَهُ ثُمَّ مَسَحَ يَدَهُ بِالْأَرْضِ ثُمَّ مَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ وَغَسَلَ وَجْهَهُ وَيَدَيْهِ ثُمَّ أَفَاضَ عَلَى جَسَدِهِ ثُمَّ تَحَوَّلَ مِنْ مَكَانِهِ فَغَسَلَ قَدَمَيْهِ
Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [Musa bin Isma’il] berkata, telah menceritakan kepada kami [‘Abdul Wahid] dari [Al A’masy] dari [Salim bin Abu Al Ja’d] dari [Kuraib] dari [Ibnu ‘Abbas] berkata, [Maimunah] berkata, “Aku menyiapkan air mandi untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau mencuci kedua telapak tangannya dua atau tiga kali. Kemudian beliau menuangkan air ke telapak tangan kirinya dan membasuh kemaluannya, kemudian beliau usapkan tangannya ke tanah, kemudian berkumur dan memasukkan air ke dalam hidung, lalu membasuh wajah dan kedua tangannya. kemudian beliau mengguyur seluruh tubuhnya. Setelah itu beliau bergeser dari tempatnya semula, lalu mencuci kedua kakinya.”
Keterangan Hadis: (Mandi satu kali). Ibnu Baththal mengatakan, “Peryataan ‘mandi satu kali’ dipahami dari lafazh; ثُمَّ أَفَاضَ عَلَى جَسَدِهِ (Kemudian beliau menyiram seluruh tubuhnya). Lafazh tersebut tidak dibatasi oleh jumlah tertentu, sehingga mesti dipahami sebagai kadar Uumlah) paling minimal, karena hukum asalnya adalah tidak lebih dari satu kali.
مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا (Dua kali atau tiga kali) Lafazh yang berindikasi keraguan ini bersumber dari Al A’masy, sebagaimana akan dijelaskan dalam riwayat Abu Awanah. Di sini Al Karmani melakukan kekeliruan, dimana ia mengatakan bahwa keraguan tersebut berasal dari Maimunah.
Hadits Shahih Al-Bukhari No. 250
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمٍ عَنْ حَنْظَلَةَ عَنْ الْقَاسِمِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اغْتَسَلَ مِنْ الْجَنَابَةِ دَعَا بِشَيْءٍ نَحْوَ الْحِلَابِ فَأَخَذَ بِكَفِّهِ فَبَدَأَ بِشِقِّ رَأْسِهِ الْأَيْمَنِ ثُمَّ الْأَيْسَرِ فَقَالَ بِهِمَا عَلَى وَسَطِ رَأْسِهِ
Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Al Mutsanna] berkata, telah menceritakan kepada kami [Abu ‘Ashim] dari [Hanzhalah] dari [Al Qasim] dari [‘Aisyah] berkata, “Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mandi janabat, beliau minta diambilkan bejana sebesar bejana yang digunakan untuk memerah susu. Beliau lalu mengambil air dengan telapak tangannya dan mengguyurkannya dimulai dari sisi sebelah kanan lalu sebelah kiri. Kemudian menuangkan dengan keduanya pada bagian tengah kepala.”
Keterangan Hadis: (Orang yang memulai dengan hilab atau harum-haruman ketika mandi) kesesuaian hadits ini dengan judul bab di atas menimbulkan masalah di kalangan sejumlah ulama dari dahulu sampai sekarang.
Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa hal ini merupakan kekeliruan Imam Bukhari. Ada juga yang mengubah baris lafazh الحلابِ dengan tujuan peyesuaian walaupun bacaan seperti itu tidak dikenal dalam riwayat, dan ada lagi yang memaksakan diri untuk mencari jalan keluamya tanpa mengubah lafazh hilab tersebut.
Kelompok pertama dipimpin oleh Al Isma’ili, dimana beliau mengatakan dalam kitabnya yang berjudul Al Mustakhraj, “Semoga Allah merahmati Abu Abdillah – yakni Imam Bukhari- dan siapa yang terjamin selamat dari kesalahan. Beliau memahami bahwa hilab adalah harum-haruman, padahal apa fungsinya menggunakan harum-haruman sebelum mandi. Yang benar “hilab” adalah bejana, dan apa yang diperah di dalamnya disebut hilab atau mihlab.”
Kemudian ia menambahkan, “Dengan mencermati jalur-jalur periwayatan hadits di atas akan didapati penjelasan mengenai hal ini, yang mana di antara jalur-jalur periwayatan itu disebutkan, ‘Beliau mandi dari hilab (bejana). “‘ Ini juga merupakan riwayat lbnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban.
Imam Al Khaththabi dalam Syarah Abu Daud mengatakan, “Hilab adalah bejana yang isinya dapat menampung air susu perahan dari satu ekor unta.” Kemudian ia mengatakan, “Imam Bukhari menyebutkan dan memahami bahwa yang dimaksud dengan hilab adalah harum-haruman yang biasa dipakai ketika bersuci. Aku kira itu adalah kekeliruan. Mungkin yang dimaksudnya adalah محلب yaitu, sesuatu yang biasa digunakan ketika mencuci tangan حلاب itu tidak ada hubungan dengan harum-haruman, karena ia adalah bejana sebagaimana yang telah saya jelaskan.” Pendapat Al Khathabi ini diikuti pula oleh lbnu Qurqul dalam kitab Al Mathali’ dan lbnu Al Jauzi serta sejumlah ulama lainnya.
Kelompok kedua dipimpin oleh Azhari, yang mana ia berkata dalam kitab At-Tahdzib, “Sebagian ulama keliru dalam menukil lafazh ini, karena yang benar adalah جُلاب dan bukan جِلاب Adapun جُلاب adalah
bahasa Persia yang disadur ke dalam bahasa Arab dan maknanya adalah air bunga. Namun pendapat ini mendapat kritikan dari sejumlah ulama, baik ditinjau dari segi riwayat dimana yang terkenal adalah lafazh hilab, maupun dari segi maknanya. Sehubungan dengan itu lbnu Atsir berkata, “Harum-haruman lebih cocok dipakai setelah mandi dibanding sebelumnya. Sebab bila digunakan sebelum mandi, niscaya aromanya akan hilang oleh air.”
Al Humaidi berkomentar ketika berbicara tentang “Keanehankeanehan dalam kitab Shahihain”, “Muslim menyatukan hadits ini dengan hadits faraq (lihat maknafaraq pada pembahasan terdahulu) dan had its satu sha’ dalam satu judul, seolah-olah Imam Muslim memahami bahwa makna hilab adalah bejana. Adapun Imam Bukhari mungkin saja seseorang menduga bahwa beliau memahami makna hilab adalah sejenis harum-haruman yang dipakai sebelum mandi, karena ia tidak menyebutkan di bawah judul bab tentang menggunakan harum-haruman ketika mandi selain hadits ini.” Demikianlah Al Humaidi menempatkan makna tersebut sebagai salah satu kemungkinan, artinya ada kemungkinan lain yang diinginkan oleh Imam Bukhari tetapi tidak diterangkannya secara jelas.
Al Qadhi Iyadh berkata, “Hilab atau mihlab adalah bejana yang bisa menampung air susu yang diperah dari satu ekor unta, dan ada juga yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan hilab dalam hadits ini adalah sejenis harum-haruman.” Kemudian Al Qadhi Iyadh menambahkan, “Judul bab yang disebutkan oleh Imam Bukhari mengindikasikan bahwa beliau mengambil kedua makna tersebut. Dia (Qadhi lyadh) juga berkata, “Sebagian ulama meriwayatkan selain dalam kitab Shahihain dengan lafazh جُلاب Maksudnya, ingin mengisyaratkan apa yang dikatakan oleh Al Azhari.
Imam An-Nawawi berkata, “Abu Ubaid Al Harawi mengingkari apa yang dikatakan oleh Al Azhari.” Sedangkan Al Qurthubi mengatakan, “Lafazh ini dibaca حِلاَبِ dan tidak ada bacaan lain yang benar selainnya. Orang yang menganggap bahwa maknanya adalah harumharuman atau orang yang mengatakan bahwa lafazh tersebut dibaca جُلاب maka mereka telah keliru.”
Kelompok ketiga adalah seperti yang dikatakan oleh Al Muhib AtThabari, “Imam Bukhari tidak memaksudkan الطيب adalah sesuatu yang memiliki aroma harum, tetapi beliau memaksudkan bahwa الطيب adalah sesuatu yang dapat menyegarkan badan akibat kotoran, debu dan najis yang melekat. Di samping itu beliau memaksudkan kata الحلاب adalah bejana tempat ia mengambil air ketika mandi, jadi ia memulai mandi dengan memasukkan air ke dalam bejana tersebut. Kemudian ia melanjutkan, bahwa kata sambung او (atau) dalam kalimat او الطيب berarti و (dan).” Sebagaimana tercantum dalam beberapa riwayat yang disebutkan Humaidi.
Kesimpulan pendapat ini adalah bahwa pengertian الحلاب adalah menyiapkan air untuk mandi, lalu memulai membersihkan anggota badan sebelum mandi.
Dalam hadits disebutkan tentang memulai bagian kepala, hal itu dikarenakan rambut Jebih banyak menyerap kotoran daripada anggota badan yang lain. Ada juga yang mengatakan bahwa mungkin Imam Bukhari ingin memberi isyarat kepada hadits yang diriwayatkan dari lbnu Mas’ud, dimana dalam hadits itu disebutkan bahwa Nabi SAW membersihkan kepalanya dengan khatmiy (sejenis tumbuhan untuk membersihkan kepala) ketika mandi. Lalu beliau melakukan hal itu ketika mandi junub, sebagaimana dinukil oleh lbnu Abi Syaibah dan lainnya. Riwayat ini dinukil pula oleh Abu Daud dengan jalur periwayatan yang bersambung sampai kepada nabi SAW dari Aisyah dengan sanad dha’if (lemah) seolah-olah ia berkata, “Hadits ini menunjukkan bahwa Nabi SAW biasa menggunakan air untuk mandi junub, dan tidak dinukil bahwa beliau SAW menggunakan sesuatu sebelumnya untuk membersihkan badan seperti daun bidara dan sebagainya.”
Pendapat ini dikuatkan dengan sebagian besar riwayat yang mengatakan, (dengan hilab atau harum-haruman). Lafazh أو (atau) menunjukkan bahwa harum-haruman sejenis dengan hilab, artinya harum-haruman tidak termasuk jenis hilab.
Orang-orang yang mempertanyakan judul bab yang disebutkan Imam Bukhari memahami bahwa harum-haruman termasuk jenis hilab, sehingga mereka salah dalam memahami makna yang dimaksudkan oleh Imam bukhari. Adapun yang dimaksud dengan hilab dalam konteks judul bab di atas adalah air yang ada dalam hilab itu sendiri. Dalam hal ini berarti menyebutkan nama tempat, namun yang dimaksud adalah apa yang ada dalam tempat itu.
Al Karmani berkata, “Mungkin yang dimaksud dengan hilab adalah bejana yang di dalamnya ada harum-haruman. Maka makna hadits tersebut, adakalanya beliau memulai (mandi) dengan meminta tempat harum-haruman, atau meminta harum-haruman langsung. Hadits bab ini cocok untuk makna pertama, dan tidak ( cocok) untuk makna yang kedua.
Pendapat itu diambil dari perkataan lbnu Baththal, dimana ia mengatakan setelah menukil perkataan Al Khaththabi, “Dalam judul bab di atas saya mengira bahwa Imam Bukhari memaksudkan makna hilab sejenis harum-haruman. Jika benar demikian berarti ia telah keliru, karena hilab adalah bejana yang di dalamnya terdapat harum-haruman milik Rasulullah yang beliau pakai ketika mandi.” Ia menambahkan, “Hadits ini memotivasi kita untuk memakai harum-haruman ketika mandi sebagai upaya untuk mencontoh atau meneladani Nabi SAW.”
Seakan-akan ia memahami hadits فَأَخَذَ بِكَفِّهِ (Beliau mengambil dengan telapak tangannya) adalah harum-haruman yang ada di dalam bejana. Sedangkan lafazh hadits, فَبَدَأَ بِشِقِّ رَأْسِهِ الْأَيْمَنِ (Beliau memulai kepalanya bagian kanan), artinya mcnggosok tempat tersebut dengan harum-haruman dan seterusnya.
Kesimpulannya, sifat perbuatan yang disebutkan dalam hadits menggambarkan earn memakai harum-haruman, bukan menggambarkan bagaimana earn mandi. Pemahaman seperti ini eukup baik berdasarkan makna tekstual lafazh hadits yang disebutkan oleh Imam Bukhari. Tetapi bagi orang yang meneermati jalur hadits -sebagai mana dikatakan oleh Ismaili- niscaya akan mengetahui, bahwa sifat (pekerjaan) yang disebutkan itu adalah cara mandi bukan cara memakai harum-haruman.
Al Isma’ ili meriwayatkan dari jalur Makki bin Ibrahim dari Hanzhalah dalam hadits tersebut ( disebutkan), (Beliau mandi dengan menggunakan bejana (qadah). Lalu dalam riwayat itu ditambahkan, “Beliau meneuei kedua tangannya, kemudian mencuci mukanya, kemudian menyiram dengan tangannya tiga kali.” (Al Hadits)
Dalam riwayat Al Jauzaqi dari hadits Hamdan As-Sulami dari Abu Ashim dikatakan, “Beliau (Nabi SAW) mandi, maka dibawakan hilab, lalu belia pun membasuh kepalanya bagian kanan.” (Al Hadits) Adapun kalimat hadits, “Beliau mandi” menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah bejana air dan bukan bejana harum-haruman.
Adapun riwayat Al Ismaili dari jalur Bandar dari Abu Ashim, “Apabila beliau SAW ingin mandi junub. beliau meminta sesuatu selain hilab. Kemudian diambilnya dengan telapak tangannya, dan mulai (membasuh) bagian kanan lalu bagian kiri. Kemudian beliau mengambil air dengan telapak tangannya dan menyiram kepalanya.” Kalau tidak ada kata-kata “air”, maka bisa saja dipahami bahwa yang dimaksud adalah harum-haruman sebelum mandi. Tetapi Abu Awanah meriwayatkan dalam Shahih-nya dari Yazid bin Sinan dari Abu Ashim, “Beliau mandi dari hilab, maka beliau mengambil satu eidukan dengan kedua tangannya kemudian menyiramkan ke (kepala) bagian kanan terus ke bagian kiri.” Kata “mandi” dan “eidukan” semakin menguatkan bahwa yang dimaksud adalah bejana air.
Dalam riwayat Ibnu Hibban dan Al Baihaqi dikatakan, (Kemudian beliau menyiram kepalanya bagian kanan). Di samping memakai harum-haruman tidaklah diungkapkan dengan kata menyiram Semua ini menghapus anggapan bahwa yang dimaksud adalah harum-haruman.
Saya melihat dari sebagian mereka – yang tidak saya ingat sekarang – bahwa yang dimaksud dengan lafazh الطيب dalam judul bab di atas adalah sebagai isyarat akan hadits Aisyah, dimana ia biasa memakaikan harum-haruman kepada Nabi SAW ketika ihram. Lalu mereka mengatakan, “Mandi termasuk sunah ihram,” seolah-olah pemakaian harum-haruman ini dilakukan saat mandi. Maka, Imam Bukhari bermaksud mengisyaratkan bahwa yang demikian itu tidak selalu menjadi kebiasaan Rasulullah.
Pendapat terakhir ini diperkuat oleh tujuh judul bab berikutnya yang disebutkan oleh Imam Bukhari, dimana beliau mengatakan, “Bab orang yang memakai harum-haruman (parfum) kemudian mandi lalu meninggalkan sisa harum-haruman itu.” Lalu beliau menyebutkan hadits Aisyah yang berbunyi, “Aku memakaikan harum-haruman kepada Rasulullah SAW, kemudian beliau mendatangi istri-istrinya, dan di pagi harinya beliau sudah berihram.”
Dalam riwayat selanjutnya dikatakan, “Sepertinya aku melihat bekas harum-haruman -yakni kilapannya- di celah rambut sementara beliau dalam kcadaan ihram.” Dalam riwayat lain sebelum bab ini juga dikatakan, “Kemudian di pagi hari beliau telah berada dalam keadaan ihram sementara harum-haruman masih mengeluarkan aromanya.”
Maka pemyataan bahwa mandi dilakukan setelah memakai harumharuman dapat dipahami dari perkataan Aisyah, (Kernudian beliau rnendatangi istri-istrinya). Sebab lafazh ini merupakan bentuk kiasanjima’ (senggama), dimana setelah itu seseorang diharuskan mandi wajib. Dari sini diketahui pula bahwa beliau SAW mandi setelah menggunakan harum-haruman dan bekas harum-haruman ini masih tercium (dari badannya), karena beliau SAW senang memakai harumharuman dan sering menggunakannya. Oleh karena itu perkataan Imam Bukhari, “Orang yang memulai dengan hilab” maksudnya memulai dengan air yang dipakai untuk mandi, dimana ia minta dibawakan air tersebut untuk dipakai mandi; atau, “Orang itu memulai dengan harumharuman” ketika ingin mandi. Dengan demikian, judul bab di atas berada di antara kedua pemahaman ini.
Adapun hadits yang disebutkan oleh Imam Bukhari di bab ini memberi keterangan bahwa beliau senantiasa memulainya dengan mandi. Adapun memakai harum-haruman setelah mandi merupakan kebiasannya yang lurnrah. Sedangkan mendahulukan memakai harum-haruman sebelum mandi, keterangannya dapat dipahami dari isyarat hadits yang telah disebutkan di atas.
lnilah jawaban yang paling baik dan paling layak menurut pandangan saya serta sesuai dengan metode-metode yang dipakai Imam Bukhari, Wallahu a ‘lam. Dari sini jelaslah bahwa perkataan Al lsma’ iii, “Apa gunanya memakai harum-haruman ketika mandi” jelas tidak dapat diterima, demikian juga perkataan Ibnu Atsir yang terdahulu. Adapun perkataan-perkataan selain keduanya juga tidak luput dari kekeliruan, namun kami tidak mengungkapnya di sini. Sesungguhnya Allah-lah yang memberi petunjuk ke jalan yang benar.
Catatan
Abu Ashim yang disebutkan dalam jalur periwayatan ini, namanya adalah An-Nabil. Ia adalah guru besar Imam Bukhari, dimana Imam Bukhari banyak mengutip hadits darinya dalam kitab ini. Tetapi dalam silsilah periwayatan hadits ini, Imam Bukhari menempatkan satu perawi lagi yang memisahkan antara ia dengan gurunya tersebut.
Hanzhalah adalah lbnu Abu Sufyan Al Jumahi, dan Qasim adalah lbnu Muhammad bin Abu Bakar.
“Ketika ia mandi” maksudnya ketika ingin mandi, sebagaimana hal tersebut jelas dalam riwayat Isma’ili. Perkataannya “sepcrti hilab”, maksudnya bejana yang hampir sama dengan bejana yang disebut orang dengan hilab. Abu Ashim menggambarkan ukurannya lebih kecil dari satu jengkal, ini dikeluarkan oleh Abu Awanah dalam kitab Shahih-nya.
Dalam riwayat Ibnu Hibban dikatakan, “Abu Ashim mengisyaratkan dengan kedua telapak tangannya”, seolah-olah ia membuat lingkaran dengan kedua jengkalnya untuk menggambarkan lingkaran bejana bagian atas. Dalam riwayat Al Baihaqi disebutkan seperti gayung penimba yang bisa memuat 8 rithl.
Muslim menambahkan dalam riwayatnya dari Muhammad bin Al Mutsanna dengan jalur periwayatan yang sama -setelah perkataannya bagian kiri, “Kemudian ia mengambil dengan kedua telapak tangannya dan menyiramkannya di atas kepalanya.” Dia memberi isyarat dengan perkataannya, “Ia mengambil dengan kedua telapak tangannya”, pada cidukan yang ketiga sebagaimana dijelaskan oleh riwayat Abu Awanah.
Dari hadits ini dapat diambil faidah, bahwa mendahulukan anggota badan sebelah kanan ketika bersuci adalah sunah hukurnnya, sebagaimana judul bab yang dibuat oleh lbnu Khuzaimah dan Al Baihaqi. Di samping itu mandi dengan 3 siraman sudah mencukupi, sebagaimana hal itu dijadikan judul bah oleh Ibnu Hibban.
- Hadits Shahih Al-Bukhari No. 663-664 – Kitab Adzan - 30/08/2020
- Hadits Shahih Al-Bukhari No. 662 – Kitab Adzan - 30/08/2020
- Hadits Shahih Al-Bukhari No. 661 – Kitab Adzan - 30/08/2020