Hadits Shahih Al-Bukhari No. 269-270 – Kitab Mandi

Pecihitam.org – Hadits Shahih Al-Bukhari No. 269-270 – Kitab Mandi ini, Imam Bukhari memulai hadis ini dengan judul “Mandi Telanjang Sendirian di Tempat Sepi, dan bagi yang Menutup Diri adalah Lebih Baik” kedua hadis ini menceritakan tentang kisah nabi Musa as dan nabi Ayyub as ketika mandi. Keterangan hadist dikutip dan diterjemahkan dari Kitab Fathul Bari Jilid 2 Kitab Mandi. Halaman 453-458.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Hadits Shahih Al-Bukhari No. 269

حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ نَصْرٍ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ عَنْ مَعْمَرٍ عَنْ هَمَّامِ بْنِ مُنَبِّهٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ يَغْتَسِلُونَ عُرَاةً يَنْظُرُ بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ وَكَانَ مُوسَى صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَغْتَسِلُ وَحْدَهُ فَقَالُوا وَاللَّهِ مَا يَمْنَعُ مُوسَى أَنْ يَغْتَسِلَ مَعَنَا إِلَّا أَنَّهُ آدَرُ فَذَهَبَ مَرَّةً يَغْتَسِلُ فَوَضَعَ ثَوْبَهُ عَلَى حَجَرٍ فَفَرَّ الْحَجَرُ بِثَوْبِهِ فَخَرَجَ مُوسَى فِي إِثْرِهِ يَقُولُ ثَوْبِي يَا حَجَرُ حَتَّى نَظَرَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ إِلَى مُوسَى فَقَالُوا وَاللَّهِ مَا بِمُوسَى مِنْ بَأْسٍ وَأَخَذَ ثَوْبَهُ فَطَفِقَ بِالْحَجَرِ ضَرْبًا فَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ وَاللَّهِ إِنَّهُ لَنَدَبٌ بِالْحَجَرِ سِتَّةٌ أَوْ سَبْعَةٌ ضَرْبًا بِالْحَجَرِ

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [Ishaq bin Nashir] berkata, telah menceritakan kepada kami [Abdurrazaq] dari [Ma’mar] dari [Hammam bin Munabbih] dari [Abu Hurairah] dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Orang-orang bani Israil jika mandi maka mereka mandi dengan telanjang, hingga sebagian melihat sebagian yang lainnya. Sedangkan Nabi Musa ‘Alaihis Salam lebih suka mandi sendirian. Maka mereka pun berkata, “Demi Allah, tidak ada menghalangi Musa untuk mandi bersama kita kecuali karena ia adalah seorang laki-laki yang kemaluannya kena hernia. Lalu pada suatu saat Musa pergi mandi dan meletakkan pakaiannya pada sebuah batu, lalu batu tersebut lari dengan membawa pakaiannya. Maka Musa lari mengejar batu tersebut sambil berkata ‘Wahai batu, kembalikan pakaianku! ‘ sehingga orang-orang bani Israil melihat Musa. Mereka lalu berkata, ‘Demi Allah, pada diri Musa tidak ada yang ganjil.’ Musa kemudian mengambil pakaiannya dan memukul batu tersebut dengan satu pukulan.” Abu Hurairah berkata, “Demi Allah, sungguh pada batu tersebut terdapat bekas pukulan enam atau tujuh akibat pukulannya.”

Hadits Shahih Al-Bukhari No. 270

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ بَيْنَا أَيُّوبُ يَغْتَسِلُ عُرْيَانًا فَخَرَّ عَلَيْهِ جَرَادٌ مِنْ ذَهَبٍ فَجَعَلَ أَيُّوبُ يَحْتَثِي فِي ثَوْبِهِ فَنَادَاهُ رَبُّهُ يَا أَيُّوبُ أَلَمْ أَكُنْ أَغْنَيْتُكَ عَمَّا تَرَى قَالَ بَلَى وَعِزَّتِكَ وَلَكِنْ لَا غِنَى بِي عَنْ بَرَكَتِكَ وَرَوَاهُ إِبْرَاهِيمُ عَنْ مُوسَى بْنِ عُقْبَةَ عَنْ صَفْوَانَ بْنِ سُلَيْمٍ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ بَيْنَا أَيُّوبُ يَغْتَسِلُ عُرْيَانًا

Terjemahan: Dan (masih dari jalur periwayatan yang sama dengan hadits sebelumnya) dari [Abu Hurairah] dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Tatkala Ayyub mandi dalam keadaan telanjang, tiba-tiba muncul belalang dari emas. Lalu Ayyub mengumpulkan dan memasukkannya ke dalam baju. Maka Raabnya memanggilnya: ‘Wahai Ayyub, bukankah aku sudah memberimu kecukupan sebagaimana kau lihat? ‘ Ayyub menjawab, ‘Benar, dan demi segala kemuliaan-Mu. Tetapi aku tidak pernah merasa puas dari limpahan barakah-Mu’.” [Ibrahim] juga meriwayatkan dari [Musa bin ‘Uqbah] dari [Shafwan bin Sulaim] dari [‘Atha’ bin Yasar] dari [Abu Hurairah] dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Ketika Ayyub mandi dalam keadaan telanjang.”

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 177 – Kitab Wudhu

Keterangan Hadis: Bahz berkata, dari ayahnya dari kakeknya dari Nabi SAW, “Allah lebih berhak untuk dimalui daripada manusia.”

(Mandi telanjang sendirian di tempat sepi), yakni sepi dari manusia.

Kalimat (lebih baik) menunjukkan bolehnya hal itu menurut kebanyakan ulama. lbnu Abi Laila tidak sependapat, sepertinya ia berpegang pada hadits dari Ya’la bin Umayyah, (Jika salah seorang dari kalian mandi, hendaklah ia menutup auratnya). Nabi berkata demikian kepada seorang laki-laki yang dilihatnya mandi sendirian dengan telanjang. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud. Al Bazzar juga meriwayatkannya dengan hadits yang panjang dari lbnu Abbas.

(Untuk dimalui daripada manusia). Demikianlah lafazh yang dinukil mayoritas perawi, sementara dalam riwayat As-Sarakhsi disebutkan, (Lebih berhak untuk kita menutup aural dari-Nya). Namun, kedua lafazh ini mempunyai makna yang sama.

Para penulis kitab Sunan dan lainnya telah meriwatkan pula hadits ini dari berbagai jalur periwayatan yang semuanya bersumber dari Bahz, dimana riwayat tersebut dianggap hasan (baik) oleh Imam Tirmidzi dan digolongkan sebagai hadits hasan oleh Al Hakim.

Ibnu Abi Syaibah berkata, bahwa Y azid bin Harun telah menceritakan kepada kami dari Bahz, dari ayahnya dari kakeknya. la berkata, “Aku berkata, ‘Wahai Nabi Allah, apa yang boleh dan apa yang harus kami tinggalkan berkenaan dengan aurat kami?‘ Nabi SAW bersabda, ‘Peliharalah auratmu kecuali terhadap istri-istri atau budakmu.’ Aku berkata, ‘Ya Rasulullah bagaimana kalau kami seorang diri saja?‘ Nabi SAW bersabda, ‘Allah lebih berhak untuk kita malui daripada manusia. “‘ Jalur periwayatan hadits ini sampai kepada Bahz dan derajatnya adalah shahih. Oleh karena itu, Imam Bukhari menyebutkannya dengan menggunakan lafazh yang berindikasi bahwa ia adalah hadits shahih.

Akan tetapi sesungguhnya Bahz dan ayahnya tidak memenuhi persyaratan hadits shahih yang dimuat oleh Imam Bukhari dalam kitab Shahih ini. Oleh karena itu ketika beliau menyebutkan penggalan hadits kakek Bahz dalam kitab An-Nikah, beliau (Imam Bukhari) tidak menggunakan lafazh yang menunjukkan bahwa riwayat tersebut adalah hadits shahih. Bahkan beliau hanya berkata, “Telah disebutkan dari Muawiyah bin Haidah”.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 362-623 – Kitab Shalat

Dari sini dapat diketahui, apabila Imam Bukhari menggunakan lafazh yang menunjukkan bahwa riwayat tersebut adalah shahih – sehubungan dengan hadits-hadits yang beliau sebutkan tanpa menyertakan jalur periwayatannya- maka hal itu tidak berarti riwayat yang dimaksud memiliki derajat shahih, bahkan semuanya tergantung pada status perawi hadits tersebut. Masalah ini telah saya bahas secara rinci dalam catatan-catatan saya terhadap kitab Ibnu Shalah disertai contoh­contoh dan penguat yang tidak dapat saya terangkan di sini.

Dari redaksi hadits ini dapat diketahui bahwa konteksnya adalah menerangkan mandi dengan aurat terbuka, tidak seperti perkataan Ibnu Abdul Malik yang menyatakan bahwa tafsiran sabda Nabi, “Lebih pantas untuk kita malu terhadapnya”, yakni jangan berbuat maksiat kepada-Nya.

Adapun sabda Nabi SAW, “Kecuali terhadap istri-istri kamu” merupakan dalil bolehnya bagi istri melihat aurat suaminya, lalu dianalogikan bahwa suami juga boleh melihat aurat istrinya. Lafazh hadits ini juga menjadi dalil tidak bolehnya melihat aurat orang lain selain yang dikecualikan dalam ayat, termasuk antara laki-laki dengan laki-laki dan wanita dengan wanita.

Secara lahiriah, hadits Bahz di atas menunjukkan bahwa telanjang dalam keadaan sendiri meski di tempat yang jauh dari orang lain adalah dilarang. Akan tetapi Imam Bukhari menyatakan bolehnya seseorang mandi dalam keadaan telanjang berdasarkan kisah nabi Musa dan Ayyub AS. Sisi penetapan dalil dari kisah tersebut adalah seperti apa yang dikatakan oleh Ibnu Baththal, bahwa keduanya termasuk orang yang kita diperintahkan untuk meneladaninya. Hal ini tentu berdasarkan pendapat syariat umat terdahulu adalah syariat untuk kita juga.

Namun yang lebih kuat bahwa sisi penetapan dalil dari kisah di atas adalah, Nabi SAW mengisahkannya tanpa memberi komentar apa­apa. Ini menunjukkan bahwa hal tersebut sesuai dengan syariat Islam. Sebab jika tidak demikian, tentu Nabi SAW telah menjelaskannya.

Berdasarkan pemahaman seperti ini, kedua hadits di atas dapat dipadukan. Yakni dengan mengatakan bahwa konteks hadits Bahz bin Hakim adalah menjelaskan perbuatan yang lebih utama. Makna inilah yang telah diisyaratkan oleh Imam Bukhari dalam judul bab. Akan tetapi, sebagian ulama madzhab Syafi’i lebih menguatkan pendapat yang mengharamkan bagi seseorang telanjang meski sendirian. Namun pendapat yang masyhur di kalangan ulama salaf madzhab syafi’i adalah bahwa itu hukumnya makruh (tidak disukai).

كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ (Telah menjadi kebiasaan bani Israil). Maksudnya kebanyakan mereka, seperti firman Allah SWT, “Berkatalah orang­orang Arab badui (dusun), ‘kami telah beriman.”‘ (Qs. Al Hujuraat (49):14) (yakni sebagian besar mereka dan bukan keseluruhannya -penerj.)

Baca Juga:  Hadits Arbain: 40 Hadits Tentang Pondasi Agama Islam

يَغْتَسِلُونَ عُرَاة (Mandi bersama-sama dalam keadaan telanjang) Secara lahiriah, perbuatan tersebut diperbolehkan menurut syariat mereka. Karena jika tidak demikian, tentu Musa AS tidak akan membiarkan mereka dalam kondisi seperti itu. Adapun nabi Musa memilih untuk mandi seorang diri, karena hal itu lebih utama. Sehubungan dengan ini, Ibnu Baththal memberi keterangan yang agak janggal dimana beliau berkata, “Hal ini menunjukkan bahwa mereka durhaka terhadap nabi Musa AS.” Lalu pemyataan ini disetujui oleh Al Qurthubi, dimana ia membahasnya secara panjang.

ثَوْبِي يَاحَجَر (Pakaianku wahai batu), maksudnya, berikan pakaianku. Hanya saja Musa berbicara kepada batu itu karena ia mensejajarkannya dengan manusia, disebabkan batu itu dapat membawa lari pakaiannya.

Dengan demikian, dalam pandangan Musa AS batu tersebut telah berpindah kedudukannya dari yang semula hanya benda mati menjadi makhluk hidup, maka beliaupun memanggilnya. Tatkala batu itu tidak juga mengembalikannya, maka beliau memukulnya. Ada juga yang mengatakan, “Bisa jadi Musa memukulnya untuk memperlihat­kan mukjizat -bekas pukulannya ada di batu itu- dan mungkin juga ia melakukannya berdasarkan wahyu.

حَتَّى نَظَرَتْ (Sehingga mereka melihat) Secara lahiriahnya, mereka melihat seluruh tubuhnya. Dengan demikian kejadian ini dapat dijadikan dalil bolehnya melihat (aurat) dalam keadaan darurat, misalnya untuk pengobatan dan sepertinya.

lbnu Al Jauzi mengemukakan kemungkinan lain, yaitu bahwasanya Musa AS saat itu masih mengenakan sarung, namun karena kain tersebut basah maka tergambarlah apa yang ada di baliknya. lbnu Al Jauzi menganggap kemungkinan ini lebih baik seraya mengatakan, bahwa pandangan seperti itu telah beliau nukil dari para gurunya. Namun, pendapat ini perlu dianalisa kembali.

فَطَفِقَ بِالْحَجَرِ ضَرْبًا (Dan Musa memukul batu tersebut), demikianlah lafazh yang dikutip oleh kebanyakan perawi hadits ini. Sementara dalam riwayat Al Kasymihani dan Al Hamawi dikatakan, فَطَفِقَ الْحَجْرضَرْبًا (Maka batu pun dipukul). Pembahasan selanjutnya mengenai hadits ini akan dijelaskan pada cerita-cerita para nabi, insya Allah.

Ibnu Baththal berkata, “Sisi penetapan dalil dari hadits Ayyub adalah bahwa Allah SWT menegurnya karena ia mengambil belalang tersebut, dan tidak menegumya saat beliau mandi dalam keadaan telanjang. Kenyataan ini memberi keterangan bahwa mandi dalam keadaan telanjang tidaklah dilarang.” Pembahasan selanjutnya tentang hadits ini akan diterangkan pada cerita para nabi.

M Resky S