Hadits Shahih Al-Bukhari No. 308-309 – Kitab Haid

Pecihitam.org – Hadits Shahih Al-Bukhari No. 308-309 – Kitab Haid ini, Imam Bukhari memulai hadis ini dengan judul “Bagaimana Wanita Haid Melaksanakan Ihram Haji dan Umrah?” dan Awai dan Akhir Masa Haid”  hadis ini masih menjelaskan tentang proses ibadah haji yang bisa dikerjakan oleh wanita haid sebagaimana dipraktekkan oleh Aisyah ra atas tuntunan Rasulullah saw. Keterangan hadist dikutip dan diterjemahkan dari Kitab Fathul Bari Jilid 2 Kitab Haid. Halaman 546-550.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Hadits Shahih Al-Bukhari No. 308

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ قَالَ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ عُقَيْلٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ خَرَجْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ فَمِنَّا مَنْ أَهَلَّ بِعُمْرَةٍ وَمِنَّا مَنْ أَهَلَّ بِحَجٍّ فَقَدِمْنَا مَكَّةَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَحْرَمَ بِعُمْرَةٍ وَلَمْ يُهْدِ فَلْيُحْلِلْ وَمَنْ أَحْرَمَ بِعُمْرَةٍ وَأَهْدَى فَلَا يُحِلُّ حَتَّى يُحِلَّ بِنَحْرِ هَدْيِهِ وَمَنْ أَهَلَّ بِحَجٍّ فَلْيُتِمَّ حَجَّهُ قَالَتْ فَحِضْتُ فَلَمْ أَزَلْ حَائِضًا حَتَّى كَانَ يَوْمُ عَرَفَةَ وَلَمْ أُهْلِلْ إِلَّا بِعُمْرَةٍ فَأَمَرَنِي النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَنْقُضَ رَأْسِي وَأَمْتَشِطَ وَأُهِلَّ بِحَجٍّ وَأَتْرُكَ الْعُمْرَةَ فَفَعَلْتُ ذَلِكَ حَتَّى قَضَيْتُ حَجِّي فَبَعَثَ مَعِي عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ وَأَمَرَنِي أَنْ أَعْتَمِرَ مَكَانَ عُمْرَتِي مِنْ التَّنْعِيمِ

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [Yahya bin Bukair] berkata, telah menceritakan kepada kami [Al Laits] dari [‘Uqail] dari [Ibnu Syihab] dari [‘Urwah] dari [‘Aisyah] berkata, “Kami keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada saat haji Wada’. Di antara kami ada yang bertalbiah dengan Umrah dan ada pula yang bertalbiah dengan haji. Ketika kami sudah sampai di Makkah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa berihram dengan Umrah dan tidak membawa sembelihan, maka hendaklah dia bertahallul. Dan barangsiapa berihram dengan Umrah dan membawa sembelihan, maka janganlah bertahallul kecuali setelah menyembelih hewan pada hari Nahr (hari penyembelihan). Dan barangsiapa bertalbiah (memulai) dengan haji, hendaklah menyempurnakan hajinya.” ‘Aisyah berkata, “Kemudian aku mengalami haid dan terus terjadi hingga hari ‘Arafah, dan aku tidak bertalbiah kecuali dengan Umrah. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan aku untuk menguraikan (rambut) kepalaku dan menyisirnya, lalu bertalbiah dengan haji dan meninggalkan Umrah. Maka aku laksanakan hingga aku merampungkan hajiku. Kemudian beliau mengutus saudaraku, ‘Abdurrahman bin Abu Bakar untuk menemaniku dan memerintahkan aku agar aku berumrah dari Tan’im sebagai ganti Umrahku sebelumnya.”

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 17 – Kitab Iman

Keterangan Hadis: Maksud Imam Bukhari dalam bab ini adalah untuk menjelaskan bahwa ihram wanita yang sedang haid adalah sah hukumnya. Adapun makna “bagaimana “dalam judul bab di atas adalah untuk memberitahu­kan keadaan dalam bentuk pertanyaan, bukan menanyakan cara atau sifatnya. Berdasarkan keterangan ini, maka terjawablah kritikan sebagian orang yang mengatakan bahwa hadits ini tidak sesuai dengan judul bab, sebab dalam judul bab tidak disebutkan bagaimana cara ihram.

Pembahasan mengenai hadits ini akan diterangkan dalam pem­bahasan tentang haji, insya Allah.

Hadits Shahih Al-Bukhari No. 309

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ هِشَامٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ أَبِي حُبَيْشٍ كَانَتْ تُسْتَحَاضُ فَسَأَلَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ ذَلِكِ عِرْقٌ وَلَيْسَتْ بِالْحَيْضَةِ فَإِذَا أَقْبَلَتْ الْحَيْضَةُ فَدَعِي الصَّلَاةَ وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْتَسِلِي وَصَلِّي

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [‘Abdullah bin Muhammad] berkata, telah menceritakan kepada kami [Sufyan] dari [Hisyam] dari [Bapaknya] dari [‘Aisyah] bahwa Fatimah binti Abu Hubaisy mengalami istihadlah (mengeluarkan datah penyakit). Maka aku bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan beliau menjawab: “Itu seperti keringat dan bukan darah haid. Jika haid datang maka tinggalkanlah shalat dan jika telah selesai mandilah dan shalatlah.”

Keterangan Hadis: Para ulama sepakat bahwa permulaan haid ditandai dengan keluarnya darah pada waktu-waktu yang memungkinkan datang haid. Lalu mereka berbeda pendapat mengenai waktu berakhimya haid. Sebagian mengatakan hal itu diketahui apabila telah mengering, yakni jika pembalut dikeluarkan dalam keadaan kering. Ada pula yang mengatakan masa akhir haid diketahui dengan memperhatikan qushshah al baidha ‘. Imam Bukhari nampaknya lebih cenderung kepada pendapat ini, seperti yang akan kami jelaskan.

Adapun yang dimaksud dengan qushshah adalah cairan putih yang dikeluarkan oleh rahim saat berakhimya masa haid, yakni hingga kapas pembalut dikeluarkan dalam keadaan putih bersih. Hal ini mengindikasi­kan bahwa cairan kuning dan coklat pada hari-hari haid dianggap sebagai darah haid. Adapun di luar masa haid, maka akan dibahas pada bab tersendiri, insya Allah.

Dalam hadits ini terdapat pula keterangan bahwa qushshah al baidha’ merupakan tanda berakhimya haid dan mulainya masa suci. Kemudian pendapat yang mengatakan bahwa tanda ber­akhimya haid itu diketahui dengan keringnya pembalut yang digunakan, telah dibantah berdasarkan kenyataan bahwa pembalut kadang dikeluar­kan dalam keadaan kering meski pada saat haid sedang berlangsung.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 182 – Kitab Wudhu

Oleh sebab itu, hal ini tidak dapat dijadikan sebagai tanda berakhimya haid. Berbeda halnya dengan qushshah, yang mana ia adalah cairan putih yang dikeluarkan oleh rahim saat berakhimya masa haid. Imam Malik berkata, “Aku tanyakan kepada wanita mengenai hal itu, temyata hal itu telah dikenal oleh mereka ketika datang masa suci.”

(Dan telah sampai kepada putri Zaid bin Tsabit) Demikian yang terdapat dalam riwayat ini tanpa menyebutkan namanya, seperti ini pula yang terdapat dalam kitab Al Muwaththa’ melalui riwayat Abdullah bin Abu Bakar (yakni Ibnu Muhammad) bin Amru bin Hazm) dari bibinya dari putri zaid.

Para ulama telah menyebutkan bahwa Zaid memiliki beberapa anak perempuan; yaitu Hasanah, Arnrah, Ummu Kultsum dan selain mereka. Tapi aku tidak melihat di antara mereka yang meriwayatkan hadits selain Ummu Kultsum, ia adalah istri Salim bin Abdullah bin Umar, maka kemungkinan beliau yang dimaksud dalam riwayat ini.

Lalu sebagian ulama yang menerangkan hadits ini mengatakan, bahwa yang dimaksud adalah Ummu Sa’ad, alasannya adalah karena Ibnu Abdi} barr telah menyebutkannya dalam golongan para sahabat. Tapi pernyataan Ibnu Abdi} Barr ini tidak menjadi alasan bahwa beliau yang dimaksudkan dalam hadits ini, sebab Ibnu Abdil Barr tidak pula menyatakan bahwa beliau adalah pelaku dalam kisah di atas. Bahkan, nama Ummu Sa’ad ini tidaklah sampai kepada beliau (Ibnu Abdi} Barr) dan tidak pula ulama-ulama lainnya kecuali melalui jalur Anbasah bin Abdurrahman, sementara mereka telah mendustakan riwayat Anbasah. Di samping itu, riwayat Anbasah ini nampak membingungkan (mudhtharib), sebab terkadang beliau menyebutkan dari putri Zaid bin Tsabit dan pada kali lain beliau menyebutkan dari istri Zaid. Sedangkan para pakar di bidang nasab (keturunan) tidak pemah menyebutkan, bahwa di antara putri Zaid bin Tsabit terdapat seseorang yang bemama Ummu Kultsum.

Baca Juga:  Bagaimana Hukum Mengamalkan Hadits Dhaif yang Masih Diragukan Sanadnya?

Adapun bibi Abdullah bin Abu Bakar, Al Hadzdza’, mengatakan “Dia adalah Amrah binti Hazm bibi kakek Abdullah bin Abu Bakar. Di sini beliau dikatakan sebagai bibi Abdullah bin Abu Bakar, bukan dalam arti sebenarnya.” Aku (Ibnu Hajar) katakan, “Akan tetapi Amrah adalah salah seorang sahabat generasi awal, dimana Jabir bin Abdullah yang dikenal sebagai sahabat terkemuka telah menukil hadits dari Amrah, sehingga pemyataan bahwa Amrah telah menukil riwayat dari putri Zaid kemungkinannnya cukup jauh. Andaikata penukilan ini terbukti, maka penukilan Abdullah bin Amr dari Amrah menjadi terputus, sebab Abdullah tidak pemah bertemu Amrah. Sementara ada kemungkinan yang dimaksud dengan bibi Abdullah adalah dalam makna sebenarnya, mungkin yang dimaksud adalah Ummu Amr atau Ummu Kultsum, wallahu a ‘lam.”

(Dahulu kaum wanita tidak pernah ), maksudnya para istri sahabat. Hanya saja Aisyah mencela perbuatan mereka, karena mengarah kepada sikap berlebihan, sementara sikap berlebihan merupakan perbuatan yang tercela. Demikian yang dikatakan oleh Ibnu Baththal dan selainnya.

Ada pula yang mengatakan bahwa sebab celaan tersebut adalah karena pada masa itu bukanlah waktu untuk shalat. Namun peenyataan ini kurang tepat, sebab malam adalah waktu shalat isya. Ada pula kemungkinan celaan ini disebabkan karena pada waktu malam tidak dapat membedakan secara jelas antara wama putih dan lainnya, sehingga bisa saja mereka mengira telah suci padahal tidak demikian, sehingga mereka shalat sebelum suci dari haid.

M Resky S