Hadits Shahih Al-Bukhari No. 323 – Kitab Tayammum

Pecihitam.org – Hadits Shahih Al-Bukhari No. 323 – Kitab Tayammum ini, Imam Bukhari memulai hadis ini dengan judul “Bab Satu” hadis berikut ini menjelaskan tentang lima keistimewaan yang Allah swt anugerahkan kepada Rasulullah saw, dan tidak ada pada nabi-nabi terdahulu (sebelum beliau saw) Keterangan hadist dikutip dan diterjemahkan dari Kitab Fathul Bari Jilid 2 Kitab Tayammum. Halaman 591-602.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سِنَانٍ هُوَ الْعَوَقِيُّ قَالَ حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ قَالَ ح و حَدَّثَنِي سَعِيدُ بْنُ النَّضْرِ قَالَ أَخْبَرَنَا هُشَيْمٌ قَالَ أَخْبَرَنَا سَيَّارٌ قَالَ حَدَّثَنَا يَزِيدُ هُوَ ابْنُ صُهَيْبٍ الْفَقِيرُ قَالَ أَخْبَرَنَا جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أُعْطِيتُ خَمْسًا لَمْ يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ قَبْلِي نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ مَسِيرَةَ شَهْرٍ وَجُعِلَتْ لِي الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا فَأَيُّمَا رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِي أَدْرَكَتْهُ الصَّلَاةُ فَلْيُصَلِّ وَأُحِلَّتْ لِي الْمَغَانِمُ وَلَمْ تَحِلَّ لِأَحَدٍ قَبْلِي وَأُعْطِيتُ الشَّفَاعَةَ وَكَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ عَامَّةً

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Sinan] -yaitu Al ‘Awaqi- telah menceritakan kepada kami [Husyaim] berkata. (dalam jalur lain disebutkan) Telah menceritakan kepadaku [Sa’id bin An Nadlr] berkata, telah mengabarkan kepada kami [Husyaim] berkata, telah mengabarkan kepada kami [Sayyar] berkata, telah menceritakan kepada kami [Yazid] -yaitu Ibnu Shuhaib Al Faqir- berkata, telah mengabarkan kepada kami [Jabir bin ‘Abdullah] bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Aku diberikan lima perkara yang tidak diberikan kepada orang sebelumku; aku ditolong melawan musuhku dengan ketakutan mereka sejauh satu bulan perjalanan, dijadikan bumi untukku sebagai tempat sujud dan suci. Maka dimana saja salah seorang dari umatku mendapati waktu shalat hendaklah ia shalat, dihalalkan untukku harta rampasan perang yang tidak pernah dihalalkan untuk orang sebelumku, aku diberikan (hak) syafa’at, dan para Nabi sebelumku diutus khusus untuk kaumnya sedangkan aku diutus untuk seluruh manusia.”

Keterangan Hadis: أُعْطِيت خَمْسًا (Aku diberikan 5 perkara). Dalam riwayat Amru bin Syu’aib, sesungguhnya hal itu terjadi ketika perang Tabuk, perang terakhir yang diikuti Rasulullah SAW.

لَمْ يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ قَبْلِي (Tidak diberikan kepada salah seorang sebelumku). Dalam bab shalat, Imam Bukhari menukil kembali hadits ini melalui jalur Muhammad bin Sinan dengan tambahan lafazh, مِنْ الْأَنْبِيَاء ( di antara para nabi). Dalam hadits lbnu Abbas dikatakan لَا أَقُولهُنَّ فَخْرًا (Aku tidak mengatakannya untuk membanggakan diri). Dari riwayat Ibnu Abbas ini, secara implisit dapat dipahami bahwa beliau SAW tidak memiliki keistimewaan selain lima perkara tersebut. Tetapi Imam Muslim meriwayatkan dari hadits Abu Hurairah dari Nabi SAW dengan lafazh, فُضِّلْت عَلَى الْأَنْبِيَاء بِسِتٍّ (Aku dilebihkan alas para Nabi dengan enam perkara). Lalu beliau SAW menyebutkan 4 macam dari 5 perkara yang disebutkan pada hadits di atas, kemudian ditambah 2 lagi sebagaimana yang akan dijelaskan.

Untuk memadukan riwayat-riwayat tersebut dapat dikatakan, “Ke­mungkinan beliau SAW hanya diberitahu sebagian dari perkara yang menjadi keistimewaannya, setelah itu beliau SAW diberitahu lagi keistimewaannya yang lain. Adapun mereka yang berpandangan bahwa penyebutan angka tidak menjadi dalil batasan sesuatu, dapat menjadi jawaban persoalan tersebut.

Makna lahiriah hadits di atas memberi indikasi, bahwa kelima perkara yang disebutkan belum diberikan kepada seorang pun sebelum beliau SAW, dan itulah yang sebenamya. Hal ini tidak bertentangan dengan keterangan bahwa nabi Nuh AS telah diutus kepada seluruh penduduk bumi setelah peristiwa angin taufan, karena tidak tersisa dari penduduk bumi saat itu kecuali orang-orang yang beriman bersamanya.

Diutusnya nabi Nuh AS kepada seluruh penduduk bumi bukan sesuatu yang ditetapkan sejak awal kerasulannya, namun hanya bertepatan dengan peristiwa yang terjadi, yaitu terbatasnya jumlah manusia pada pengikut nabi Nuh setelah peristiwa taufan yang membinasakan semua manusia. Adapun Nabi kita Muhammad, keuniversalan risalahnya ditetapkan sejak awal kerasulannya, sehingga hal itu menjadi keistimewaan beliau.

Adapun perkataan manusia saat berada di padang mahsyar kepada nabi Nuh sebagaimana yang dinukil dalam hadits syafaat, أَنْتَ أَوَّل رَسُول إِلَى أَهْل الْأَرْض (Engkau rasul yang pertama kepada penduduk bumi), maksudnya bukan menunjukkan keuniversalan risalah Nuh AS, tetapi menetapkan bahwa beliau adalah rasul pertama yang diutus ke bumi.

Meskipun dikatakan bahwa riwayat tersebut menunjukkan keuniversalan risalah nabi Nuh AS, namun hal itu dibatasi oleh firman Allah SWT dalam beberapa ayat Al Qur’an yang menyatakan bahwa nabi Nuh diutus untuk kaumnya saja dan tidak disebutkan bahwa ia diutus kepada kaum yang lain.

Sebagian ulama berdalil untuk menyatakan bahwa risalah nabi Nuh AS berlaku bagi seluruh manusia di permukaan bumi berdasarkan doa nabi Nuh untuk membinasakan semua penduduk bumi, maka semuanya binasa kecuali yang ikut bersamanya berlayar di kapalnya. Andaikata nabi Nuh tidak diutus kepada seluruh manusia di permukaan bumi, tentu mereka tidak dibinasakan semua berdasarkan firman Allah Ta ‘ala, وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولًاDan tidaklah kami menyiksa hingga kami mengutus seorang rasul.” (Qs. Al Israa’ (17): 15)

Kita telah mengetahui bahwa Nuh merupakan rasul yang pertama. Namun pemyataan ini dapat dijawab dengan mengatakan, “Tidak tertutup kemungkinan pada saat itu telah diutus nabi lain kepada selain kaum nabi Nuh, lalu nabi Nuh mengetahui bahwa mereka tidak beriman. Oleh karena itu Nuh AS memohon kepada Allah untuk membinasakan kaumnya dan kaum-kaum yang lain, akhimya permohonannya dikabul­kan.” Ini adalah jawaban yang baik, akan tetapi tidak dinukil keterangan yang menjelaskan adanya nabi lain yang diutus pada zaman nabi Nuh.

Kemungkinan makna kekhususan Nabi Muhammad SAW dalam hal itu adalah keabadian syariatnya hingga hari kiamat, sementara nabi Nuh dan nabi-nabi yang lain tidaklah demikian. Ada pula kemungkinan bahwa dakwah Nuh AS terhadap kaumnya untuk mengesakan Allah (tauhidullah) telah sampai kepada semua manusia, tapi mereka tetap dalam kemusyrikan sehingga mereka berhak mendapatkan siksaan. Pandangan ini menjadi kecenderungan Ibnu Athiyah saat menafsirkan surah Huud, dimana dia mengatakan, “Tidak mungkin kenabiannya belum sampai ke daerah yang dekat dan yang jauh, mengingat masanya yang demikian lama.”

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 308-309 – Kitab Haid

lbnu Daqiq AI ‘Id berkomentar, “Sesungguhnya mengesakan Allah bisa saja bersifat umum bagi sebagian nabi, walaupun kcharnsan mengikuti syariatnya tidak bersifat umum, karena sebagian mereka ada yang memerangi selain kaumnya karena kemusyrikan. Sekiranya tauhid (mengesakan Allah) bukan mernpakan kewajiban mereka, tentu mereka tidak akan diperangi.”

Kemungkinan lain dapat dikatakan, bahwa belum ada (kaum lain) di bumi ketika nabi Nuh diutus kepada kaumnya, maka beliau diutus hanya untuk kaumnya saja dan risalahnya bersifat universal ditinjau dari sisi tidak adanya manusia selain mereka. Akan tetapi jika disepakati bahwa di sana ada kaum selain mereka, maka hams diyakini bahwa nabi Nuh tidak diutus kepada kaum lain tersebut.

Ad-Dawudi melakukan kesalahan saat menjelaskan hadits di atas, dimana beliau berkata bahwa sabda Nabi, لَمْ يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ (Tidak diberikan kepada seorang pun), yakni perkara-perkara tersebut bclum pemah terkumpul pada seorang pun sebelum beliau SAW, sebab nabi Nuh diutus kepada seluruh manusia. Adapun 4 perkara yang lain, tidak ada satu pun di antaranya yang telah diberikan kepada seorang sebelum nabi SAW.” Seakan-akan Ad-Dawudi hanya memperhatikan perrnulaan hadits dan mengabaikan bagian akhimya, karena sesungguhnya Nabi telah menyatakan hal ini secara tekstual, yakni sabdanya, وَكَانَ النَّبِيُّ يُبْعَث إِلَى قَوْمه خَاصَّة (Dan para nabi diutus kepada kaumnya secara khusus). Dalam riwayat Muslim dikatakan, وَكَانَ كُلّ نَبِيّ يُبْعَث إِلَى قَوْمه (Dan setiap Nabi diutus kepada kaumnya … ).

نُصِرْت بِالرُّعْبِ (Aku ditolong dengan menanamkan rasa takut). Abu Umamah menambahkan, يُقْذَفُ فِي قُلُوب أَعْدَائِي (Dicampakkan dalam hati musuh-musuhku) sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ahmad.

مَسِيرَة شَهْر (Sejauh perjalanan sebulan) Secara implisit hal ini memberi pengertian, bahwa pertolongan dengan menanamkan rasa takut pada musuh dalam tenggang waktu tersebut ataupun yang lebih lama darinya tidak pemah diberikan kepada selain beliau SAW.

Adapun dalam jarak yang kurang dari masa tersebut tidak hanya diberikan kepada beliau SAW. Akan tetapi lafazh riwayat Amru bin Syu’aib yang berbunyi, وَنُصِرْت عَلَى الْعَدُوّ بِالرُّعْبِ وَلَوْ كَانَ بَيْنِي وَبَيْنهمْ مَسِيرَة شَهْر (Dan aku ditolong atas musuh dengan menanamkan rasa takut walaupun jarak antara aku dengan mereka selama perjalanan sebulan ), makna lahiriah dari lafazh ini memberi keterangan bahwa yang demikian itu menjadi keistimewaan Nabi SAW secara mutlak. Beliau sengaja menjadikan batasan sebulan karena jarak antara negerinya dengan salah satu dari negeri musuh­musuhnya tidak ada yang melebihi jarak tersebut. Kekhususan ini mutlak hanya terjadi pada diri beliau meskipun tanpa pasukan, dan apakah hal ini terdapat pada umatnya sesudahnya? Hal itu mungkin adanya.

وَجُعِلَتْ لِي الْأَرْض مَسْجِدًا (Dan dijadikan bumi untukku sebagai masjid), yakni tempat sujud. Sujud tidak hanya khusus pada tempat tertentu di belahan bumi tanpa yang lainnya. Ada kemungkinan yang dimaksud adalah sebagai kiasan bagi tempat yang khusus dibangun untuk shalat, dan ini termasuk gaya bahasa majaz tasybih (kiasan penyerupaan). Karena tatkala dibolehkan shalat pada semua tempat maka kondisinya sama seperti masjid.

lbnu At-Tin berkata, “Ada pendapat yang mengatakan bahwa maksud dijadikan bumi untukku (Nabi) sebagai masjid dan untuk bersuci, adalah bumi telah dijadikan bagi selainku sebagai masjid dan tidak untuk bersuci (tayamum), karena nabi Isa mengembara di muka bumi dan shalat tatkala telah tiba waktunya.” Demikianlah yang beliau katakan. Sementara Ad-Dawudi lebih dahulu mengemukakan pendapat tersebut daripada Ibnu At-Tin.

Ada pula pendapat yang mengatakan bahwa umat sebelum kita hanya dibolehkan shalat pada tempat yang mereka yakini kesuciannya, berbeda dengan umat ini dimana dibolehkan shalat pada seluruh tempat kecuali tempat yang mereka yakini ada najisnya. Namun yang lebih tepat adalah apa yang dikatakan Al Khaththabi, yaitu orang-orang sebelum kita hanya dibolchkan shalat pada tempat-tempat tertentu seperti kuil dan gereja.

Pandangan ini diperkuat  oleh riwayat Amru bin Syu’aib dengan lafazh, وَكَانَ مَنْ قَبْلِي إِنَّمَا كَانُوا يُصَلُّونَ فِي كَنَائِسهمْ (Dan orang-orang sebelumku mereka hanya shalat di gereja-gereja). Riwayat ini masih diperselisihkan, sehingga nampaklah sisi keistimewaan tersebut. Hal itu lebih diperkuat dengan riwayat Al Bazzar dari hadits Ibnu Abbas, dimana disebutkan di dalamnya وَلَمْ يَكُنْ مِنْ الْأَنْبِيَاء أَحَدٌ يُصَلِّي حَتَّى يَبْلُغ مِحْرَابه (Belum pernah seorang nabi shalat kecuali setelah ia tiba di mihrabnya).

وَطَهُورًا (Dan mensucikan) Keterangan ini dijadikan dalil bahwa lafazh طَهُورًا bermakna “yang mensucikan “. Karena seandainya yang dimaksudkan dengan lafazh itu adalah “suci “, maka tidak menjadi kekhususan bagi umat ini, sementara hadits tersebut menegaskan bahwa hal itu termasuk kekhususan bagi kita.

Diriwayatkan lbnu Mundzir dan lbnu Jarud dengan silsilah periwayatan yang shahih dari Anas, dari Nabi SAW, جُعِلَتْ لِي كُلّ أَرْض طَيِّبَة مَسْجِدًا وَطَهُورًا (Dijadikan untukku semua (permukaan) bumi yang thayyib, sebagai masjid dan mensucikan). Makna thayyib adalah suci. Sekiranya thahuran adalah suci pula, maka ini merupakan pengulangan tanpa arti.

Kemudian hadits ini dijadikan sebagai dalil bahwa tayamum dapat menghilangkan hadats sebagaiamana air, karena keduanya sama-sama disifati dengan lafazh thahuran. Namun pemyataan ini perlu dianalisa kembali. Hadits tersebut juga sebagai dalil, bahwa tayamum dibolehkan dengan menggunakan segala sesuatu yang ada dipermukaan bumi. Hal ini telah ditegaskan dalam riwayat Abu Umamah, dimana beliau SAW bersabda, وَجُعِلَتْ لِي الْأَرْض كُلّهَا وَلِأُمَّتِي مَسْجِدًا وَطَهُورًا (Dan dijadikan bagikubumi seluruhnya sebagai masjid dan dapat menyucikan ). pembahasan tentang hal itu akan diterangkan kemudian.

فَأَيُّمَا رَجُلٍ (Maka siapa saja). Ungkapan yang bersifat umum ini mencakup siapa saja yang tidak mendapatkan air ataupun tanah (debu), lalu ia mendapatkan sesuatu berupa benda-benda yang ada di permukaan bumi, maka hendaklah ia bertayamum dengannya. Tidak dikatakan bahwa tayamum khusus untuk shalat, karena itu kami berkata bahwa lafazh hadits Jabir adalah ringkas. Dalam riwayat Abu Umamah yang dinukil oleh Al Baihaqi disebutkan, فَأَيُّمَا رَجُل مِنْ أُمَّتِي أَتَى الصَّلَاة فَلَمْ يَجِد مَاء وَجَدَ الْأَرْض طَهُورًا وَمَسْجِدًا (Maka siapa saja dari umatku yang ingin melaksanakan shalat dan tidak mendapatkan air, maka ia mendapatkan bumi mensucikan dan sebagai tempat sujud).

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 427 – Kitab Shalat

Dalam riwayat Ahmad disebutkan, فَعِنْده طَهُورُهُ وَمَسْجِدُهُ (Maka hal itu baginya dapat menyucikan dan sebagai tempat untuk shalat atau masjid). Kemudian dalam riwayat Amru bin Syu’aib dikatakan, فَأَيْنَمَا أَدْرَكَتْنِي الصَّلَاةُ تَمَسَّحْت وَصَلَّيْت (Dimana saja waktu shalat telah tiba kepadaku, maka aku bertayamum lalu shalat).

Para ulama yang berpendapat bahwa tayamum khusus dilakukan dengan menggunakan tanah (debu), berdalil dengan hadits Hudzaifah yang dinukil oleh Imam Muslim وَجُعِلَتْ لَنَا الْأَرْض كُلّهَا مَسْجِدًا ، وَجُعِلَتْ تُرْبَتُهَا لَنَا طَهُورًا إِذَا لَمْ نَجِد الْمَاء (Dan dijadikan bumi seluruhnya bagi kami sebagai masjid dan tanahnya dapat menyucikan jika kami tidak mendapatkan air). Lafazh ini bersifat khusus, maka lafazh yang bersifat umum harus dimasukkan dalam pengertian yang khusus ini, yaitu dengan tanah (debu).

Sebagian mereka menolak menjadikan lafazh التُّرْبَة (permukaan bumi) sebagai dalil untuk menyatakan bahwa tayamum khusus dengan menggunakan debu, dimana mereka berkata bahwa thurbah adalah setiap tempat yang ada debu atau benda-benda lain yang ada di permukaan bumi. Pernyataan ini dapat dijawab bahwa dalam hadits lain diungkapkan dengan lafazh تُّرَابُ (debu), seperti dinukil oleh Ibnu Khuzaimah dan lainnya.

Dalam hadits Ali dikatakan وَجُعِلَ التُّرَابُ لِي طَهُورًا (Dan dijadikan debu suci bagiku), sebagaimana dinukil oleh Ahmad dan Baihaqi dengan silsilah periwayatan hasan (baik). Alasan lain yang menguatkan bahwa tayamum hanya khusus dilakukan dengan menggunakan debu adalah, bahwa hadits di atas dikemukakan untuk menampakkan kemuliaan dan pengkhususan. Seandainya dibolehkan menggunakan selain debu, maka tentu tidak hanya disebutkan debu saja.

وَأُحِلَّتْ لِي الْغَنَائِم (Dan dihalalkan bagiku harta rampasan perang) Al Khaththabi berkata, “Umat-umat sebelum kita terbagi menjadi dua bagian; di antara mereka ada yang tidak diizinkan untuk berjihad, maka mereka tidak mendapat harta rampasan, dan di antara mereka ada yang diizinkan untuk berjihad. Tetapi jika mereka mendapatkan harta rampasan tidak halal untuk dimakan, maka datang api untuk melalapnya.”

Ada pula pendapat yang mengatakan, bahwa maksud dihalalkannya bagi beliau harta rampasan perang adalah diperkenankan untuk meman­faatkannya menurut kehendaknya. Tapi pendapat pertama lebih tepat, yaitu umat terdahulu tidak halal bagi mereka harta rampasan perang menurut hukum asalnya. Hal ini akan dijelaskan dalam bab “Jihad”.

وَأُعْطِيت الشَّفَاعَة (Aku diberi hak untuk memberi syafaat). Ibnu Daqiq Al Id berkata, “Yang dimaksud adalah syafaat yang agung, yaitu syafaat untuk membebaskan manusia dari kepayahan yang mereka alami di padang mahsyar. Dalam hal ini tidak ada perbedaan.” begitu pula yang diungkapkan oleh An-Nawawi dan lainnya.

Pendapat lain mengatakan, bahwa maksud syafaat yang diberikan secara khsusus bagi Nabi SAW adalah permohonannya yang tidak akan ditolak. Ada pula yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah syafa’at beliau untuk mengeluarkan orang yang mempunyai keimanan dalam hatinya walaupun sebesar biji dzarrah, karena syafaat yang dimiliki oleh selain beliau SAW adalah untuk mereka yang memiliki keimanan dalam hatinya yang lebih besar dari itu, sebagaimana yang dikatakan oleh Al Qadhi Iyadh.

Adapun menurut pendapatku, yang dimaksud adalah pengertian terakhir ini dan pengertian yang pertama, karena keduanya telah disebutkan secara bergandengan dalam hadits tentang syafaat seperti yang akan dijelaskan dalam bab Ar-Riqaq (perbudakan), insya Allah.

Al Baihaqi berkata, “Ada kemungkinan bahwa syafaat yang dikhususkan bagi Nabi SAW adalah syafaat yang dibcrikan kepada orang yang melakukan dosa kecil dan dosa besar, sedangkan selain beliau SAW hanya bagi orang yang melakukan dosa kecil saja.” Lalu Al Qadhi Iyadh menukil suatu pendapat, bahwa syafaat yang dikhususkan bagi Nabi SAW adalah syafaat yang tidak akan ditolak.

Disebutkan dalam hadits Ibnu Abbas, وَأُعْطِيت الشَّفَاعَة فَأَخَّرْتهَا لِأُمَّتِي ، فَهِيَ لِمَنْ لَا يُشْرِك بِاَللَّهِ شَيْئًا (Dan aku mendapat hak untuk memberi syafaat, maka akupun menunda penggunaannya untuk umatku, dan ia khusus bagi mereka yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun ). Sementara dalam hadits Amru bin Syu’aib dikatakan, فَهِيَ لَكُمْ وَلِمَنْ شَهِدَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ (Syafaat tersebut untuk kalian dan untuk orang yang bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah).

Secara lahiriah, yang dimaksud dengan syafaat yang khusus dimiliki Nabi SAW dalam hadits ini adalah mengeluarkan dari neraka orang yang tidak mempunyai amal shalih selain tauhid, sebagaimana beliau SAW juga secara khsusus memiliki syafaat untuk membebaskan manusia di padang mahsyar. Akan tetapi lafazh hadits hanya menyitir syafaat untuk mengeluarkan manusia dari neraka, karena hal itu merupakan tujuan akhir dan tercapainya kebahagiaan yang langgeng, wallahu a ‘lam.

Syafaat yang dimaksud telah disebutkan dalam riwayat Hasan dari Anas sebagaimana yang akan dijelaskan dalam pembahasan Tauhid dengan lafazh, ثُمَّ أَرْجِع إِلَى رَبِّي فِي الرَّابِعَة فَأَقُول : يَا رَبّ اِئْذَنْ لِي فِيمَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ ، فَيَقُول : وَعِزَّتِي وَجَلَالِي لَأُخْرِجَنَّ مِنْهَا مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ (Kemudian aku kembali kepada Tuhanku pada keempat kalinya, lalu aku berkata, “Wahai Tuhan, izinkan aku memberi syafaat kepada orang yang telah mengucapkan laa ilaaha illallah. “(Allah berfirman), ”Demi kemuliaan dan keagungan-Ku, sungguh Aku akan mengeluarkan dari neraka mereka yang mengucapkan laa ilaaha illallah ).

Riwayat ini tidak bertentangan dengan riwayat Imam Muslim, dimana sebelum lafazh وَعِزَّتِي (demi kemulian-Ku) disebutkan لَيْسَ ذَلِكَ لَك ، وَعِزَّتِي (hal itu bukan hakmu, demi kemulian-Ku … ) karena maksudnya beliau tidak langsung mengeluarkan ( orang dari neraka), bahkan syafaatnya menjadi penyebab hal itu, wallahu a ‘lam.

Adapun pembahasan mengenai sabdanya, وَكَانَ النَّبِيّ يُبْعَث إِلَى قَوْمه خَاصَّة (Dan setiap Nabi diutus hanya kepada kaumnya) telah diterangkan di bagian awal bab ini, wallahu a’lam.

Sedangkan sabdanya, وَبُعِثْت إِلَى النَّاس عَامَّة (Dan uku diutus kepada seluruh manusia), dalam riwayat Muslim disebutkan dengan lafazh وَبُعِثْت إِلَى كُلّ أَحْمَر وَأَسْوَد (Aku diutus kepada setiap yang merah dan yang hitam).Dikatakan maksud yang merah adalah non-Arab dan yang hitam adalah orang Arab. Ada pula yang mengatakan, bahwa yang merah adalah bangsa manusia dan yang hitam adalah bangsa jin.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 310 – Kitab Haid

Berdasarkan pengertian pertama, maka hadits tersebut menggunakan gaya bahasa tanbih bil adna alal a ‘la’ (yakni menyebutkan bagian terendah untuk memasukkan di dalamnya bagian yang teratas -penerj.) karena pada dasamya beliau SAW diutus kepada semua manusia. Riwayat yang paling jelas dan terlengkap dari hadits-hadits di atas adalah riwayat Abu Hurairah yang dinukil oleh Imam Muslim, dimana dikatakan وَأُرْسِلْت إِلَى الْخَلْق كَافَّة (Aku diutus kepada semua makhluk).

Catatan

Permulaan hadits Abu Hurairah tersebut adalah, “Aku diberi keutamaan (keistimewaan) atas para nabi dengan enam perkara.” Lantas beliau menyebutkan 5 hal yang telah dipaparkan dalam hadits Jabir kecuali syafaat, kemudian beliau menambah dua hal lagi yaitu, وَأُعْطِيت جَوَامِع الْكَلِم ، وَخُتِمَ بِي النَّبِيُّونَ (Dan aku diberi kemampuan berbicara singkat tapi padat dan aku dijadikan penutup para nabi). Jika digabung antara hadits Abu Hurairah dengan hadits Jabir, maka kita dapati jumlahnya menjadi 7 keistimewaan.

Kemudian diriwayatkan pula oleh Muslim sebuah hadits dari Hudzaifah yang berbunyi: فُضِّلْنَا عَلَى النَّاس بِثَلَاثِ خِصَال : جُعِلَتْ صُفُوفنَا كَصُفُوفِ الْمَلَائِكَة (Aku diberi keutamaan di alas seluruh manusia dengan tiga perkara; dijadikan shaf kita seperti shaf para malaikat), dan beliau menyebutkan perihal bumi (yakni bumi djadikan baginya sebagai masjid dan mensucikan -penerj.) sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Perawi hadits ini berkata, “Hudzaifah menyebutkan perkara yang lain.” Perkara yang tidak dijelaskan ini disebutkan oleh lbnu Khuzaimah dan An-Nasa’i, yaitu وَأُعْطِيت هَذِهِ الْآيَات مِنْ آخِر سُورَة الْبَقَرَة مِنْ كَنْز تَحْت الْعَرْش (Dan aku diberikan ayat-ayat terakhir surah Al Baqarah dari perbendaharaan (khazanah) di bawah Arsy). Beliau SAW mengisyaratkan kepada rahmat Allah SWT yang telah menghapuskan beban berat dari umat ini dan diangkatnya dosa perbuatan yang tidak disengaja atau karena lupa.

Dalam riwayat Imam Ahmad dari hadits Ali dikatakan, أُعْطِيت أَرْبَعًا لَمْ يُعْطَهُنَّ أَحَد مِنْ أَنْبِيَاء اللَّه : أُعْطِيت مَفَاتِيح الْأَرْض ، وَسُمِّيت أَحْمَد ، وَجُعِلَتْ أُمَّتِي خَيْر الْأُمَم (Aku dikaruniai 4 perkara yang tidak pernah diberikan kepada seorang nabi pun (selain aku); aku diberikan kunci-kunci (perbenda-haraan) bumi, aku diberi nama Ahmad, dan dijadikan umatku sebagai umat terbaik), lalu beliau SAW menyebutkan pula tentang dijadikannya tanah sebagai alat untuk bersuci. Dengan demikian, keistimewaan itu berjumlah 12 macam.

Sementara itu, diriwayatkan oleh Al Bazzar melalui jalur yang berbeda dari Abu Hurairah dari Nabi SA W, فُضِّلْت عَلَى الْأَنْبِيَاء بِسِتٍّ : غُفِرَ لِي مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِي وَمَا تَأَخَّرَ وَجُعِلَتْ أُمَّتِي خَيْر الْأُمَم ، وَأُعْطِيت الْكَوْثَر ، وَإِنَّ صَاحِبكُمْ لَصَاحِبُ لِوَاء الْحَمْد يَوْم الْقِيَامَة تَحْته آدَم فَمَنْ دُونه (Aku diutamakan di atas para nabidengan enam perkara; diampuni dosaku yang terdahulu dan yang akan datang, dijadikan umatku sebagai umat terbaik, aku diberi Al Kautsar (kebaikan yang banyak atau sebuah telaga di surga), sesungguhnya sahabat kalian ini merupakan pengibar panji kemuliaan pada hari kiamat yang akan diiringi Adam AS dan keturunannya ). Selanjutnya beliau menyebutkan dua sifat yang telah disebutkan.

Kemudian Imam Ahmad meriwayatkan pula dari lbnu Abbas dari Nabi SAW, فُضِّلْت عَلَى الْأَنْبِيَاء بِخَصْلَتَيْنِ : كَانَ شَيْطَانِي كَافِرًا فَأَعَانَنِي اللَّه عَلَيْهِ فَأَسْلَمَ (Aku diutamakan di atas para nabi dengan dua perkara; syetanku adalah syetan yang kafir, lalu Allah menolongku terhadapnya maka ia pun masuk Islam). Kemudian perawi hadits ini berkata, “dan aku lupa yang satunya”.

Aku (Ibnu Ha jar) berkata, “Dengan ini maka lengkaplah jumlahnya menjadi 17 keistimewaan. Mungkin saja perkara tersebut lebih banyak dari itu jika ditelusuri lebih jauh. Pada pembahasan terdahulu telah diterangkan bagaimana memadukan riwayat-riwayat ini.”

Abu Said An-Nisaburi dalam kitab Syaraful Musthafa menyebutkan, bahwa jumlah keistimewaan yang dikhususkan untuk nabi SAW adalah sebanyak 60 malam.

Selanjutnya dalam hadits di atas terdapat sejumlah faidah selain yang telah disebutkan, di antaranya adanya anjuran menghitung nikmat­nikmat yang Allah berikan kepada kita dan memberitahu orang lain walaupun mereka belum bertanya. Sesungguhnya bumi itu asalnya adalah suci, dan sahnya shalat tidak hanya di masjid yang dibangun khusus untuk hal itu saja (namun boleh juga dilakukan di lapangan atau tanah terbuka di luar masjid -penerj.).

Adapun hadits, “Tidak sah shalat orang yang tempat tinggalnya bertetangga dengan masjid kecuali jika dilakukan di masjid.” Hadits ini adalah lemah[1] yang diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni dari Jabir. Penulis kitab Al Mabsut yang bermadzhab Hanafi menjadikan dalil di atas sebagai argumen untuk mengekspos kemuliaan manusia, dia berkata, “Karena manusia diciptakan dari air dan tanah, dan telah sama-sama diketahui bahwa keduanya (air dan tanah) adalah suci. Sudah barang tentu dalam penjustifikasian sucinya tanah menandakan kemuliaan manusia, wallahu ‘alam.


[1] Akan tetapi cukup sebagai dalil dalam masalah itu riwayat yang dinukil oleh lbnu Majah dan Ibnu Hibban serta Al Hakim dengan silsilah periwayatan hasan dari lbnu Abbas dari nabi SAW, “Barangsiapa yang mendengar seruan (adzan) lalu tidak datang maka tidak ada shalat baginya, kecualijika ada halangan.” Demikian pula apa yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya dari Abu Hurairah bahwa seorang laki-laki buta memohon kepada Nabi SAW untuk diperkenankan shalat di rumahnya, maka Nabi SAW bertanya kepadanya, “Apakah engkau mendengar seruan untuk shalat (adzan)?” Jaki-laki tersebut menjawab, “Ya'” Maka Nabi bersabda, “Sambutlah seruan itu.” Hal ini berlaku bagi shalat fardhu sebagaimana telah diketahui secara umum, adapun shalat-shalat sunah maka tidak khusus dilakukan di masjid bahkan di rumah lebih utama. Kecuali yang di­khususkan oleh syariat, wallahu a ‘lam.

M Resky S