Hadits Shahih Al-Bukhari No. 325 – Kitab Tayammum

Pecihitam.org – Hadits Shahih Al-Bukhari No. 325 – Kitab Tayammum ini, Imam Bukhari memulai hadis ini dengan judul “Tayamum Saat Mukim (Tidak Bepergian) Jika Tidak Menemukan Air dan Khawatir Waktu Shalat Habis” hadis berikut ini menceritakan tentang orang yang memberi salam kepada Nabi saw, akan tetapi Nabi saw tidak membalsanya, sampai beliau tayamum terlebih dahulu. Keterangan hadist dikutip dan diterjemahkan dari Kitab Fathul Bari Jilid 2 Kitab Tayammum. Halaman 605-609.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ قَالَ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ جَعْفَرِ بْنِ رَبِيعَةَ عَنْ الْأَعْرَجِ قَالَ سَمِعْتُ عُمَيْرًا مَوْلَى ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ أَقْبَلْتُ أَنَا وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ يَسَارٍ مَوْلَى مَيْمُونَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى دَخَلْنَا عَلَى أَبِي جُهَيْمِ بْنِ الْحَارِثِ بْنِ الصِّمَّةِ الْأَنْصَارِيِّ فَقَالَ أَبُو الْجُهَيْمِ الْأَنْصَارِيُّ أَقْبَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ نَحْوِ بِئْرِ جَمَلٍ فَلَقِيَهُ رَجُلٌ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى أَقْبَلَ عَلَى الْجِدَارِ فَمَسَحَ بِوَجْهِهِ وَيَدَيْهِ ثُمَّ رَدَّ عَلَيْهِ السَّلَامَ

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [Yahya bin Bukair] berkata, telah menceritakan kepada kami [Al Laits] dari [Ja’far bin Rabi’ah] dari [Al A’raj] ia berkata, “Aku mendengar [Umair] mantan budak Ibnu Abbas, ia berkata, “Aku dan Abdullah bin Yasar, mantan budak Maimunah, isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berangkat pergi, hingga ketika kami sampai kepada [Abu Juhaim Ibnul Harits bin Ash Shimmah Al Anshari], ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kembali dari Bi’ar Jamal (nama tempat), lalu ada seorang laki-laki menemui beliau seraya memberi salam, namun beliau tidak membalasnya. Beliau kemudian menghadap ke arah dinding, lalu mengusap muka dan kedua telapak tangannya. baru kemudian membalas salam kepada orang itu.”

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 367 – Kitab Shalat

Keterangan Hadis: حَتَّى أَقْبَلَ عَلَى الْجِدَار (Hingga ia menghadap ke dinding) Dalam riwayat Ad-Daruquthni melalui Abu Shalih dari Laits disebutkan, حَتَّى وَضَعَ يَده عَلَى الْجِدَار (hingga beliau meletakkan tangannya di tembok). Lalu ditambahkan oleh Imam Syafi’i, فَحَتَّهُ بِعَصًا (Lalu beliau menggosoknya dengan tongkat). Riwayat ini dipahami bahwa tembok tersebut adalah milik seseorang yang telah diketahui keridhaannya, bila hal itu dilakukan terhadap temboknya.

فَمَسَحَ بِوَجْهِهِ وَيَدَيْهِ (Maka beliau mengusap wajah dan kedua tangannya). Dalam riwayat Ad-Daruquthni dari Abu Shalih dari Laits disebutkan, فَمَسَحَ بِوَجْهِهِ وَذِرَاعَيْهِ (Maka beliau mengusap wajahnya dan kedua sikunya). Demikian pula yang dinukil oleh Imam Syafi’i dari Huwairits. Riwayat ini memiliki penguat, yaitu hadits lbnu Umar yang dikutip oleh Abu Dawud. Akan tetapi para ahli hadits menyatakan jalur periwayatannya yang sampai kepada Nabi SAW tidak benar, yang benar jalur periwayatannya hanya sampai pada Ibnu Umar. Telah disebutkan bahwa Imam Malik telah mengutip hadits itu secara makna dan itulah yang benar.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 491 – Kitab Waktu-waktu Shalat

Adapun lafazh yang akurat dalam riwayat Abu Juhaim adalah lafazh يَدَيْهِ (kedua tangannya), bukan ذِرَاعَيْهِ (kedua sikunya). Sebab riwayat dengan lafazh ذِرَاعَيْهِ (Kedua sikunya) adalah riwayat yang syadz (cacat), di samping itu Abu Huwairits dan Abu Shalih adalah para perawi yang lemah. Keterangan tentang perbedaan wajib tidaknya membasuh kedua siku akan dibahas setelah satu bab lagi.

Imam An-Nawawi berkata, “Hadits ini mengandung kemungkinan, bahwa Nabi SAW tidak memperoleh air ketika bertayamum.” Saya (lbnu Hajar) katakan, “Pendapat itu merupakan indikasi pernyataan Imam Bukhari. Namun menjadikan hadits ini sebagai dalil dapat dikritik dengan mengatakan bahwa, bertayamum di saat tidak bepergian hanya diper­bolehkan dengan adanya sebab, yaitu ingin berdzikir kepada Allah karena lafazh salam di antara nama-nama-Nya, dan bukan untuk menjadikan seseorang sah melakukan shalat.”

Kritikan ini dapat dijawab, “Tayamum yang dilakukan Nabi (pada saat tidak bepergian) adalah untuk menjawab salam, padahal menjawab salam tidak hams bersuci. Maka siapa yang merasa khawatir kehabisan waktu shalat -di saat tidak bepergian- tentu lebih diperbolehkan untuk melakukan tayamum, karena shalat tidak boleh dilakukan tanpa bersuci.”

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 128-129 – Kitab Ilmu

Dikatakan juga bahwa ada kemungkinan Nabi melakukan tayamum bukan untuk menghilangkan hadats, atau membolehkan perbuatan yang dilarang kecuali dalam keadaan suci. Akan tetapi maksud beliau hanya ingin menyerupai orang-orang yang bersuci, sebagaimana disyariatkan imsak (menahan tidak makan) pada bulan Ramadhan bagi orang yang dibolehkan untuk berbuka. Atau beliau ingin meringankan hadats dengan tayamum, sebagaimana disyariatkan untuk meringankan junub dengan wudhu seperti yang telah diterangkan.

Dari lafazh riwayat ini Ibnu Baththal berdalil, bahwa debu bukan merupakan syarat dalam tayamum. Ia berkata, “Karena diketahui bahwa debu yang ada di dinding tidak melekat di tangannya.” Namun pernyataannya ini dapat dikritik dengan mengatakan, bahwa hal itu bukan suatu hal yang pasti, tapi masih mengandung kemungkinan. Dalam riwayat Imam Syafi’i telah disebutkan keterangan yang mengindikasikan tidak adanya debu di tembok tersebut, oleh karena itu beliau SAW menggosoknya dengan tongkat.

M Resky S