Pecihitam.org – Hadits Shahih Al-Bukhari No. 359-360 – Kitab Shalat ini, Imam Bukhari memberi hadis pertama berikut dengan judul “Berapa Kain Yang Dipakai Wanita Waktu Shalat” menerangkan tentang cara berpakaian para muslimat ketika sholat.
Lalu hadist berikutnya dengan judul “Apabila Shalat Memakai Kain Bergambar dan Melihat Gambar tersebut” menerangkan mengenai Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam shalat di atas kain yang bergambar dan ia terganggu lalu ia menggantinya . Keterangan hadist dikutip dan diterjemahkan dari Kitab Fathul Bari Jilid 3 Kitab Shalat. Halaman 59-62.
Hadits Shahih Al-Bukhari No. 359
حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ قَالَ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ أَنَّ عَائِشَةَ قَالَتْ لَقَدْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي الْفَجْرَ فَيَشْهَدُ مَعَهُ نِسَاءٌ مِنْ الْمُؤْمِنَاتِ مُتَلَفِّعَاتٍ فِي مُرُوطِهِنَّ ثُمَّ يَرْجِعْنَ إِلَى بُيُوتِهِنَّ مَا يَعْرِفُهُنَّ أَحَدٌ
Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [Abu Al Yaman] berkata, telah mengabarkan kepada kami [Syu’aib] dari [Az Zuhri] berkata, telah mengabarkan kepadaku [‘Urwah] bahwa [‘Aisyah] berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam shalat fajar dan ikut juga wanita-wanita Mu’minat yang wajahnya tertutup dengan kerudung, kemudian kembali ke rumah mereka masing-masing tanpa diketahui oleh seorangpun.”
Keterangan Hadis: Setelah menukil pendapat jumhur ulama yang mengatakan bahwa yang wajib bagi wanita dalam shalat adalah mengenakan baju kurung dan kerudung, maka Ibnu Mundzir berkata, “Yang dimaksud adalah menutup badan dan kepalanya. Jika kain yang dipakai cukup luas lalu ia menutupi kepalanya dengan kelebihan kain itu, maka hal itu diperbolehkan.” Dia juga mengatakan, ”Apa yang kami nukil dari Atha’ yang mengatakan, ‘Hendaknya wanita shalat dengan mengenakan baju kurung, kerudung dan sarung’ .” Demikian yang diriwayatkan dari Ibnu Sirin dengan tambahan “berselimutkan “, maka aku mengira hal itu hukumnya mustahab (disukai).
مُتَلَفِّعَاتٍ (berselimut) Al Ashma’i berkata, “Talaffu’ (berselimut) adalah mengenakan kain dengan membungkus seluruh tubuhnya.” Dalam Syarah Al Muwaththa’ disebutkan, bahwa seseorang tidak dinamakan “talaffu” (berselimut) jika tidak menutupi kepalanya.
Sikap Imam Bukhari yang berdalil dengan hadits ini untuk membolehkan wanita shalat dengan mengenakan satu kain telah mendapat kritik, sebab berselimut dalam hadits ini tidak menutup kemungkinan adanya kain lain yang dikenakan. Namun kritik ini dapat dijawab dengan mengatakan bahwa Imam Bukhari berpedoman dengan hukum asal, yaitu tidak adanya tambahan atas apa yang disebutkan. Di samping itu, Imam Bukhari tidak menyebutkan pandangannya secara tegas, hanya saja menurut kebiasaan pandangannya dapat diambil dari riwayat-riwayat yang disebutkannya dalam judul bab.
مَا يَعْرِفُهُنَّ أَحَدٌ (tanpa seorang pun mengenali mereka) Pada bagian “Al Mawaqit” (waktu-waktu shalat) ditambahkan, مِنْ الْغَلَس (Karena gelap). Keterangan tambahan ini menentukan salah satu di antara dua kemungkinan, yaitu apakah tidak dikenalnya mereka disebabkan oleh keadaan yang masih gelap ataukah karena mereka memakai selimut? Pembahasan selanjutnya akan diterangkan pada bagian “Al Mawaqit” (waktu-waktu shalat), imya Allah.
Hadits Shahih Al-Bukhari No. 360
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ قَالَ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ قَالَ حَدَّثَنَا ابْنُ شِهَابٍ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى فِي خَمِيصَةٍ لَهَا أَعْلَامٌ فَنَظَرَ إِلَى أَعْلَامِهَا نَظْرَةً فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالَ اذْهَبُوا بِخَمِيصَتِي هَذِهِ إِلَى أَبِي جَهْمٍ وَأْتُونِي بِأَنْبِجَانِيَّةِ أَبِي جَهْمٍ فَإِنَّهَا أَلْهَتْنِي آنِفًا عَنْ صَلَاتِي وَقَالَ هِشَامُ بْنُ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُنْتُ أَنْظُرُ إِلَى عَلَمِهَا وَأَنَا فِي الصَّلَاةِ فَأَخَافُ أَنْ تَفْتِنَنِي
Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [Ahmad bin Yunus] berkata, telah menceritakan kepada kami [Ibrahim bin Sa’d] berkata, telah menceritakan kepada kami [Ibnu Syihab] dari [‘Urwah] dari [‘Aisyah] bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam shalat di atas kain yang bergambar. Lalu beliau melihat kepada gambar tersebut. Selesai shalat beliau berkata: “Pergilah dengan membawa kain ini kepada Abu Jahm dan gantilah dengan pakaian polos dari Abu Jahm. Sungguh kain ini tadi telah mengganggu shalatku.” [Hisyam bin ‘Urwah] berkata dari [Bapaknya] dari [‘Aisyah] berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Aku melihat pada gambarnya dan aku khawatir gambar itu menggangguku.”
Keterangan Hadis: Khamisah adalah suatu kain berukuran segi empat dan memiliki dua gambar. Sedangkan anbijaniyah adalah kain yang kasar dan tidak bergambar.
Abu Jahm adalah Ubaidillah dikatakan juga Amir bin Hudzaifah Al Qurasyi Al Adawi, salah seorang sahabat yang masyhur. Hanya saja pakaian tersebut secara khusus dikirimkan oleh Nabi SAW kepadanya karena dia telah menghadiahkannya kepada Nabi SAW, sebagaimana diriwayatkan oleh Malik dalam kitab Al Muwaththa’ melalui jalur lain dari Aisyah, Dia berkata, “Abu Jahm bin Hudzaifah menghadiahkan kepada Rasulullah SAW khamishah yang bergambar, lalu beliau SAW shalat dengan memakainya.
Ketika selesai shalat beliau bersabda, ‘Kembalikanlah khamishah ini kepada Abu Jahm’.” Akan tetapi, dalam riwayat Zubair bin Bakkar disebutkan keterangan yang justru menyalahi hal itu. Telah dinukil melalui jalur mursal, “Sesungguhnya Nabi SAW diberi dua Khamishah yang hitam, lalu beliau memakai salah satunya dan mengirimkan yang lainnya kepada Abu Jahm.” Sementara dalam riwayat Abu Daud melalui jalur lain dikatakan, “Lalu beliau SAW mengambil kurdi (sejenis pakaian -penerj.) milik Abu Jahm.” Maka dikatakan, “Wahai Rasulullah, khamishah lebih baik daripada kurdi.”
lbnu Baththal berkata. “Nabi SAW meminta pakaian lain untuk memberitahukan bahwa beliau SAW tidak bermaksud menolak hadiah dan meremehkannya.” Lalu lbnu Baththal menambahkan. “Apabila suatu pemberian dikembalikan kepada sang pemberi bukan karena keinginannya, maka dia harus rnenerirnanya tanpa rasa tidak senang.”
Saya (lbnu Hajar) katakan. Hal ini didasarkan pada riwayat yang menyatakan bahwa pakaian itu hanya satu, sementara dalam riwayat Zubair dan sesudahnya dinyatakan secara tegas balm a pakaian itu lebih dari satu.”
عَنْ صَلَاتِي (shalatku) Yakni mengganggu kekhusyuan shalat, demikian dikatakan sebagian ulama. Namun pada jalur berikut yang disebutkan tanpa sanad (mu ‘allaq) dinyatakan bahwa Nabi SAW tidak mengalami gangguan sedikitpun, hanya saja beliau SAW khawatir akan terganggu berdasarkan sabdanya, “maka aku khawatir.” Demikian pula dalam riwayat Malik dikatakan “Hampir-hampir”, sehingga riwayat di atas harus dipahami dalam konteks ini.
lbnu Daqiq Al Id berkata, ·’Riwayat ini menjelaskan sikap Nabi SAW yang segera melakukan sesuatu untuk kemaslahatan shalat dan menghilangkan semua yang merusaknya.”
Adapun dikirimkannya Al Khamishah kepada Abu Jahm, maka itu tidak mesti dipergunakan dalam shalat. Serupa dengan ini adalah sabda beliau yang berhubungan dengan pakaian dari utharid, dimana beliau mengutusnya kepada Umar, seraya bersabda, “Sesungguhnya aku tidak mengirimnya kepadamu untuk engkau pakai. “Ada pula kemungkinan hal itu masuk sabda beliau SAW, “Sesungguhnya aku berbicara dengan yang engkau tidak berbicara dengannya.”
Kesimpulannya, bahwa semua yang dapat mengganggu shalat berupa lukisan dan lainnya adalah makruh hukumnya. Dalam hadits ini terdapat keterangan bolehnya menerima hadiah dari teman serta memberi hadiah, atau meminta sesuatu darinya. Al Baji berdalil dengan kejadian ini untuk membolehkan jual beli dengan sekedar isyarat (mu’athat) tanpa ada transaksi, karena dalam riwayat tersebut tidak disebutkan transaksi (shighat). Sementara Ath-Thaibi berkata, “Di sini terdapat keterangan bahwa gambar serta hal-hal konkrit lainnya memiliki pengaruh terhadap hati yang suci dan jiwa yang bersih, terlebih lagi jiwa yang lebih rendah darinya.”
وَقَالَ هِشَامُ بْنُ عُرْوَةَ (Hisyam bin Urwah berkata) Riwayatnya telah dinukil oleh Imam Ahmad, lbnu Abi Syaibah, Muslim dan Abu Daud melalui jalurnya. namun aku tidak menemukan lafazh seperti di atas pada salah satu jalur periwayatan mereka. Hanya saja lafazh yang kami nukil dari kitab Al Muwaththa’ sangat mirip dengan lafazh yang disebutkan oleh Imam Bukhari tanpa sanad (mu’allaq) di bab ini, yaitu ) فَإِنِّي نَظَرْت إِلَى عَلَمهَا فِي الصَّلَاة فَكَادَ يَفْتِنُنِ (Karena sesungguhnya aku melihat gambarnya dalam shalat, maka hampir-hampir membuatku terfitnah (terganggu)) Untuk itu, kedua versi riwayat ini harus dipadukan dengan mengatakan bahwa riwayat dengan lafazh أَلْهَتْنِ (menggangguku) harus dipahami dalam konteks riwayat dengan lafazh. كَادَتْ (hampir-hampir). Dengan demikian penggunaan lafazh pertama untuk memberi gambaran kejadian yang hampir terjadi dan bukan berarti telah benar-benar terjadi.
- Hadits Shahih Al-Bukhari No. 663-664 – Kitab Adzan - 30/08/2020
- Hadits Shahih Al-Bukhari No. 662 – Kitab Adzan - 30/08/2020
- Hadits Shahih Al-Bukhari No. 661 – Kitab Adzan - 30/08/2020