Pecihitam.org – Hadits Shahih Al-Bukhari No. 401 – Kitab Shalat ini, Imam Bukhari memulai hadis ini dengan judul “Nasihat Imam Kepada Manusia dalam Menyempurnakan Shalat dan Menyebut Kiblat” hadits tersebut mengemukakan Penglihatan Nabi SAW yang merupakan kejadian di luar kebiasaan. Keterangan hadist dikutip dan diterjemahkan dari Kitab Fathul Bari Jilid 3 Kitab Shalat. Halaman 131-133.
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ هَلْ تَرَوْنَ قِبْلَتِي هَا هُنَا فَوَاللَّهِ مَا يَخْفَى عَلَيَّ خُشُوعُكُمْ وَلَا رُكُوعُكُمْ إِنِّي لَأَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي
Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [‘Abdullah bin Yusuf] berkata, telah mengabarkan kepada kami [Malik] dari [Abu Az Zinad] dari [Al A’raj] dari [Abu Hurairah], bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apakah kalian lihat kiblatku disini? Demi Allah, tidaklah tersembunyi bagiku khusyuk dan rukuk kalian. Sungguh, aku dapat melihatnya dari belakang punggungku.”
Keterangan Hadis: (Dalam menyempurnakan shalat) yakni disebabkan mereka tidak menyempurnakan shalat.
(Dan penyebutan kiblat) Beliau menyebutkan hal ini untuk menjelaskan kesesuaian bab ini dengan bab sebelumnya.
هَلْ تَرَوْنَ قِبْلَتِي (apakah kamu melihat kiblatku) Ini adalah pertanyaan yang berindikasi pengingkaran, yakni apakah kalian mengira aku tidak melihat perbuatan kalian dikarenakan kiblatku di arah ini. Karena, seseorang yang menghadap sesuatu pasti membelakangi yang lainnya. Akan tetapi Nabi SAW menjelaskan bahwa penglihatannya tidak khusus pada satu arah saja.
Para ulama berbeda pendapat tentang maknanya. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud adalah pengetahuan tentang perbuatan mereka, baik melalui wahyu ataupun ilham. Akan tetapi pemyataan ini kurang tepat, sebab jika yang dimaksud adalah, pengetahuan tentu tidak akan dibatasi dengan kalimat, “dari belakang punggungku”.
Pendapat lain mengatakan bahwa yang dimaksud adalah beliau SAW melihat siapa saja dari arah kanan dan arah kirinya hanya dengan kerlingan matanya dalam beberapa kesempatan yang sangat jarang terjadi. Beliau SAW menggambarkan orang-orang tersebut sebagai orang yang berada di belakangnya. Namun pernyataan ini terlalu mengada-ada dan menyimpang dari makna lahiriah hadits tanpa ada faktor yang menghamskannya.
Sementara yang benar, bahwa hadits tersebut tetap dipahami sebagaimana makna lahiriahnya. Penglihatan itu benar sebagaimana hakikatnya dan khusus bagi Nabi SAW yang mempakan kejadian di luar kebiasaan. Pengertian seperti inilah yang menjadi pandangan Imam Bukhari, sehingga dia menyebutkan hadits di atas pada pembahasan tentang tanda-tanda kenabian. Begitu pula yang dinukil dari Imam Ahmad serta imam-imam yang lain. Kemudian penglihatan itu bisa saja dengan mata langsung yang mempakan kejadian luar biasa, dimana beliau mampu melihat tanpa hams berhadapan mata. Sebab pandangan yang benar menurut ahli Sunnah bahwa penglihatan – secara akal- tidak disyaratkan pada anggota badan tertentu, tidak pula hams berhadapan atau hams pada jarak tertentu. Hanya saja secara kebiasaan penglihatan tercapai dengan hal-hal tersebut, namun bisa saja penglihatan tercapai tanpa adanya perkara-perkara tersebut menumt akal. Oleh sebab itu, mereka membolehkan melihat Allah SWT di akhirat, berbeda dengan para ahli bid’ah yang membatasi pendapat mereka pada lingkup kebiasaan saja.
Ada pula pendapat yang mengatakan, bahwa Nabi SAW memiliki mata di punggungnya yang dapat digunakan untuk melihat apa yang ada di belakangnya setiap saat. Pendapat lain mengatakan bahwa di antara kedua punggungnya terdapat dua mata seperti lubang jamm, kedua mata itu dapat melihat meski terhalang oleh pakaian ataupun yang lainnya. Lalu ada pula yang mengatakan bahwa gambaran mereka terpampang pada dinding di arah kiblat, di hadapan beliau, sebagaimana cermin. Maka, Nabi SAW dapat melihat gambaran mereka dan apa yang mereka lakukan.
وَلَا خُشُوعكُمْ (dan tidak pula kekhusyuan kalian) maksudnya dalam semua rukun shalat. Namun ada pula kemungkinan yang beliau maksudkan adalah saat sujud, sebab kondisi itu merupakan puncak kekhusyuan. Sementara dalam riwayat Imam Muslim kondisi sujud disebutkan secara tegas.
- Hadits Shahih Al-Bukhari No. 663-664 – Kitab Adzan - 30/08/2020
- Hadits Shahih Al-Bukhari No. 662 – Kitab Adzan - 30/08/2020
- Hadits Shahih Al-Bukhari No. 661 – Kitab Adzan - 30/08/2020