Hadits Shahih Al-Bukhari No. 407-408 – Kitab Shalat

Pecihitam.org – Hadits Shahih Al-Bukhari No. 407-408 – Kitab Shalat ini, Imam Bukhari memberi hadis berikut dengan judul bab “Membuat Masjid di Rumah”. Kemudian hadits selanjutnya dengan judul bab “Mendahulukan yang Kanan Pada Saat Masuk Masjid dan Selainnya” hadits ini menerangkan tentang Rasulullah Saw yang senantiasa memulai atau mendahulukan yang kanan. Keterangan hadist dikutip dan diterjemahkan dari Kitab Fathul Bari Jilid 3 Kitab Shalat. Halaman 142-151.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Hadits Shahih Al-Bukhari No. 407

حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ عُفَيْرٍ قَالَ حَدَّثَنِي اللَّيْثُ قَالَ حَدَّثَنِي عُقَيْلٌ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ أَخْبَرَنِي مَحْمُودُ بْنُ الرَّبِيعِ الْأَنْصَارِيُّ أَنَّ عِتْبَانَ بْنَ مَالِكٍ وَهُوَ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِمَّنْ شَهِدَ بَدْرًا مِنْ الْأَنْصَارِ أَنَّهُ أَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدْ أَنْكَرْتُ بَصَرِي وَأَنَا أُصَلِّي لِقَوْمِي فَإِذَا كَانَتْ الْأَمْطَارُ سَالَ الْوَادِي الَّذِي بَيْنِي وَبَيْنَهُمْ لَمْ أَسْتَطِعْ أَنْ آتِيَ مَسْجِدَهُمْ فَأُصَلِّيَ بِهِمْ وَوَدِدْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنَّكَ تَأْتِينِي فَتُصَلِّيَ فِي بَيْتِي فَأَتَّخِذَهُ مُصَلًّى قَالَ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَأَفْعَلُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ قَالَ عِتْبَانُ فَغَدَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبُو بَكْرٍ حِينَ ارْتَفَعَ النَّهَارُ فَاسْتَأْذَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَذِنْتُ لَهُ فَلَمْ يَجْلِسْ حَتَّى دَخَلَ الْبَيْتَ ثُمَّ قَالَ أَيْنَ تُحِبُّ أَنْ أُصَلِّيَ مِنْ بَيْتِكَ قَالَ فَأَشَرْتُ لَهُ إِلَى نَاحِيَةٍ مِنْ الْبَيْتِ فَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَبَّرَ فَقُمْنَا فَصَفَّنَا فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ سَلَّمَ قَالَ وَحَبَسْنَاهُ عَلَى خَزِيرَةٍ صَنَعْنَاهَا لَهُ قَالَ فَآبَ فِي الْبَيْتِ رِجَالٌ مِنْ أَهْلِ الدَّارِ ذَوُو عَدَدٍ فَاجْتَمَعُوا فَقَالَ قَائِلٌ مِنْهُمْ أَيْنَ مَالِكُ بْنُ الدُّخَيْشِنِ أَوِ ابْنُ الدُّخْشُنِ فَقَالَ بَعْضُهُمْ ذَلِكَ مُنَافِقٌ لَا يُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَقُلْ ذَلِكَ أَلَا تَرَاهُ قَدْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ يُرِيدُ بِذَلِكَ وَجْهَ اللَّهِ قَالَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ فَإِنَّا نَرَى وَجْهَهُ وَنَصِيحَتَهُ إِلَى الْمُنَافِقِينَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِنَّ اللَّهَ قَدْ حَرَّمَ عَلَى النَّارِ مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ يَبْتَغِي بِذَلِكَ وَجْهَ اللَّهِ قَالَ ابْنُ شِهَابٍ ثُمَّ سَأَلْتُ الْحُصَيْنَ بْنَ مُحَمَّدٍ الْأَنْصَارِيَّ وَهُوَ أَحَدُ بَنِي سَالِمٍ وَهُوَ مِنْ سَرَاتِهِمْ عَنْ حَدِيثِ مَحْمُودِ بْنِ الرَّبِيعِ الْأَنْصَارِيِّ فَصَدَّقَهُ بِذَلِكَ

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [Sa’id bin ‘Ufair] berkata, telah menceritakan kepadaku [Al Laits] berkata, telah menceritakan kepadaku [‘Uqail] dari [Ibnu Syihab] berkata, telah menceritakan kapadaku [Mahmud bin Ar Rabi’ Al Anshari] bahwa [‘Itban bin Malik] seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang pernah ikut perang Badar dari kalangan Anshar, dia pernah menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan bersabda: “Wahai Rasulullah, pandanganku sudah buruk sedang aku sering memimpin shalat kaumku. Apabila turun hujun, maka air menggenangi lembah yang ada antara aku dan mereka sehingga aku tidak bisa pergi ke masjid untuk memimpin shalat. Aku menginginkan Tuan dapat mengunjungi aku lalu shalat di rumahku yang akan aku jadikan sebagai tempat shalat.” Mahmud berkata, “Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya: “Aku akan lakukan insyaallah.” ‘Itban berkata, “Maka berangkatlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan Abu Bakar ketika siang hari, beliau lalu meminta izin lalu aku mengizinkannya, dan beliau tidak duduk hingga beliau masuk ke dalam rumah. Kemudian beliau bersabda: “Mana tempat di rumahmu yang kau sukai untuk aku pimpin shalat.” Maka aku tunjukkan tempat di sisi rumah. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lalu berdiri dan takbir. Sementara kami berdiri membuat shaf di belakang beliau, beliau shalat dua rakaat kemudian salam.” ‘Itban melanjutkan, “Lalu kami suguhkan makanan dari daging yang kami masak untuk beliau. Maka berkumpullah warga desa di rumahku dalam jumlah yang banyak. Salah seorang dari mereka lalu berkata, “Mana Malik bin Ad-Dukhaisyin atau Ibnu Ad Dukhsyun?” Ada seorang yang menjawab, “Dia munafik, dia tidak mencintai Allah dan Rasul-Nya.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda: “Janganlah kamu ucapkan seperti itu. Bukankan kamu tahu dia telah mengucapkan LAA ILAAHA ILLALLAH dengan mengharap ridla Allah?” Orang itu menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” ‘Itban berkata, “Kami lihat pandangan dan nasehat beliau itu untuk kaum Munafikin. Bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan neraka bagi orang yang mengucapkan LAA ILAAHA ILLALLAH dengan mengharap ridla Allah?” [Ibnu Syihab] berkata, “Kemudian aku tanyakan kepada [Al Hushain bin Muhammad Al Anshari] salah seorang dari Bani Salim yang termasuk orang terpandang tentang hadits Mahmud bin Ar Rabi’ ini. Maka dia membenarkannya.”

Keterangan Hadis: (dan Bara’ bin Azib shalat berjamaah di masjid dalam rumahnya) dalam suatu kisah lbnu Abi Syaibah menyebutkan makna atsar ini.

أَنَّهُ أَتَى (bahwa ia mendatangi) Dalam riwayat Tsabit dari Anas, dari Itban yang disebutkan Imam Muslim dikatakan, bahwa ia mengutus seseorang kepada Nabi SAW untuk memohon hal tersebut. Maka, ada kemungkinan penisbatan orang yang diutus kepada dirinya sendiri adalah secara majaz (kiasan), tapi ada kemungkinan juga bahwa pada suatu kesempatan ia sendiri yang mendatangi Nabi dan pada kesempatan yang lain ia mengirim utusan kepada beliau; baik untuk minta keputusan atau sekedar mengingatkan.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 293 – Kitab Haid

Dalam riwayat Ath-Thabrani melalui jalur Abu Uwais dari Ibnu Syihab dengan sanadnya, bahwa ia berkata kepada Nabi SAW pada hari Jum’at, “Jika engkau berkenan, datanglah ke tempat kami wahai Rasulullah.” Disebutkan juga bahwa beliau mendatangi Nabi pada hari Sabtu. Secara lahiriah percakapan Itban dengan Nabi SAW benar­benar terjadi, bukan hanya ungkapan majaz (kiasan).

قَدْ أَنْكَرْت بَصَرِي (aku mengingkari penglihatanku {tidak dapat melihat}). Demikian yang disebutkan oleh mayoritas murid Ibnu Syihab, sebagaimana yang dikutip oleh Imam Bukhari melalui jalur Ibrahim bin Sa’ad dan Ma’mar, Imam Muslim melalui jalur Yunus serta Imam Ath­Thabrani melalui jalur Az-Zubaidi dan Al Auza’i. Ath-Thabrani menukil pula dari jalur Abu Uwais dengan lafazh, “Ketika penglihatanku telah buruk.”

Dalam riwayat Al Ismaili dari Abdurrahman bin Namr disebutkan, “Penglihatanku pun telah kabur.” Sementara dalam riwayat Imam Muslim melalui jalur Al Mughirah dari Tsabit, “Penglihatanku tertimpa sesuatu.” Semua riwayat di atas memberi keterangan bahwa ia belum sampai pada tingkatan buta.

Akan tetapi telah dinukil oleh Imam Bukhari pada bab “Rukhshah (keringanan) Shalat di Rumah bila Ada Hujan”, yaitu bahwasanya Itban biasa mengimami kaumnya sedangkan ia telah buta. Dia berkata kepada Rasulullah SAW, “Sering terjadi gelap dan banjir, sementara aku seorang yang tidak dapat melihat.” (Al Hadits) Maka dikatakan bahwa riwayat Malik ini bertentangan dengan riwayat-riwayat lainnya, namun menurutku tidaklah demikian. Bahkan perkataan Mahmud, “Sesungguhnya Itban biasa mengimami kaumnya sedang ia telah buta”, yakni ketika Mahmud bertemu dengannya dan mendengar hadits itu darinya, bukan saat ltban memohon kepada Nabi SAW. Hal ini diperjelas oleh perkataannya pada riwayat Ya’qub, “Maka aku mendatangi Itban yang saat itu telah tua dan buta mengimami kaumnya.” Adapun perkataannya, “Aku adalah orang yang tidak dapat melihat”, maksudnya ia mendapatkan mudharat akibat matanya.

Kesimpulan seperti ini didukung oleh perkataannya dalam riwayat lbnu Majah dari jalur Ibrahim bin Sa’ad, “Ketika aku mengingkari sesuatu pada penglihatanku,” serta perkataannya pada riwayat Imam Muslim, “Aku ditimpa sesuatu pada pandanganku”. Semuanya memberi indikasi bahwa pandangannya belum mencapai buta.

Akan tetapi riwayat Imam Muslim dari jalur Hammad bin Salamah dari Tsabit disebutkan, “Sesungguhnya ia telah buta lalu mengutus seseorang”, telah dikompromikan oleh lbnu Khuzaimah dengan riwayat Malik serta riwayat-riwayat sahabat-sahabat Ibnu Syihab yang lain.

lbnu Khuzaimah berkata, “Lafazh ‘aku mengingkari pandanganku’ dipakai untuk menyifati orang yang pandangannya kurang baik namun masih dapat melihat, dan dipakai juga untuk menyifati orang yang telah buta.” Tapi lebih baik dari itu dikatakan, “Beliau menyifati dirinya sebagai seorang buta karena kondisinya yang sudah hampir buta, serta telah mengalami beberapa sisi kesamaan dengan orang buta”. Dengan demikian, semua riwayat yang ada dapat dipadukan.

أُصَلِّي لِقَوْمِي (Aku shalat untuk kaumku) Yakni sebab mereka, dan maksudnya dia shalat mengimami kaumnya. Hal ini dinyatakan secara tegas oleh Abu Daud Ath-Thayalisi dari Ibrahim bin Sa’ad.

بَيْنِي وَبَيْنهمْ (antara aku dan mereka) Dal am riwayat Al Ismaili dikatakan, “Lembah yang ada di antara tempat tinggalku dan masjid mereka dialiri atau digenangi air, sehingga aku terhalang untuk shalat bersama mereka.”

سَأَفْعَلُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ (aku akan melakukannya, Imya Allah) Perkataan insya Allah di sini bukan sekedar untuk tabarruk (mencari berkah), demikian dikatakan oleh sebagian ulama. Namun bisa juga hanya untuk tabarruk, karena ada kemungkinan Nabi SAW mengetahui melalui wahyu bahwa hal tersebut akan terjadi.

قَالَ عِتْبَانُ (Itban berkata) Secara lahiriah bahwa sejak permulaan hadits sampai lafazh ini adalah riwayat Mahmud bin Rabi’ tanpa ada perantara, lal u dari lafazh ini dan seterusnya merupakan riwayat ltban. Bisa juga dikatakan bahwa bagian awal hadits dianggap mursal (tanpa menyebut perawi pertama). karena Mahmud masih sangat kecil sehingga tidak mungkin menghadiri peristiwa itu.

Akan tetapi disebutkan di bagian awal pembicaraan antara Itban dan Mahmud melalui riwayat Al Auza’i dari Ibnu Syihab yang dikutip oleh Abu Awanah. Demikian juga disebutkan oleh Imam Bukhari penegasan bahwa Mahmud mendengar hadits itu langsung dari ltban, melalui jalur Ma’mar dan Ibrahim bin Sa’ad seperti kami sebutkan di bab terdahulu. Dari sini maka perkataannya, ‘”Itban berkata” harus dipahami bahwa Mahmud mengulang nama syaikhnya untuk menandaskan hal itu, mengingat hadits yang diriwayatkan sangat panjang.

وَأَبُو بَكْر (dan Abu Bakar) Mayoritas perawi yang meriwayatkan dari lbnu Syihab tidak menyebutkan selain Abu Bakar. Hingga pada riwayat Al-Auza’i dikatakan, “Lalu keduanya minta izin, maka aku pun mengizinkannya.” Akan tetapi dalam riwayat Abu Uwais disebutkan, “Abu Bakar dan Umar bersamanya“.

Dalam riwayat Imam Muslim rnelalui jalur Anas dari Itban dikatakan, “Maka beliau SAW mendatangiku beserta orang-orang yang dikehendaki oleh Allah di .mtara para sahabatnya“. Lalu dalam riwayat Ath-Thabrani rnelalui jalur bin dari Anas, “Bersama sekelompok sahabatnya”. Riwayat-riwayat ini Japat dipadukan dengan rnengatakan bahwa Abu Bakar menyertai Nabi SAW sejak awal. Kernudian sesaat ketika hendak masuk, Umar serta sahabat-sahabat lainnya mengikuti dan masuk bersama beliau SAW.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 3 - Kitab Permulaan Wahyu

فَلَمْ يَجْلِس حِين دَخَلَ (Beliau SAW tidak duduk saat masuk) Dalam riwayat Al Kasymihani disebutkan, “Hingga masuk”. Al Qadhi Iyadh berkata, “Sebagian ulama mengklaim adanya kekeliruan dalam lafazh ini, padahal tidak demikian. Karena maknanya. balma beliau SAW tidak duduk dalam rumah ataupun di tempat lain hingga masuk rumah dan segera melakukan apa yang menjadi tujuannya.”

Kemudian dalam riwayat Ya’qub yang dikutip oleh Imam Bukhari dan Ath-Thayalisi dikatakan, “Ketika masuk, beliau SAW tidak duduk hingga bertanya di mana (tempat) yang engkau sukai”. Al Ismaili juga menukil riwayat yang seperti ini melalui jalur lain dan riwayat ini lebih jelas menerangkan apa yang dimaksud, karena beliau SAW duduk setelah shalat. Berbeda dengan kejadian di rumah Mulaikah, dimana beliau duduk lalu makan kemudian shalat. Sebab, di rumah Mulaikah beliau SAW diundang untuk makan, maka beliau memulai makan terlebih dahulu. Sedangkan di rumah Itban beliau SAW diundang untuk shalat, maka beliau lebih dahulu melaksanakan shalat.

فَقَالَ بَعْضهمْ (sebagian mereka berkata) Sebagian pendapat mengatakan bahwa yang dimaksud adalah ltban, perawi hadits. Ibnu Abdil Barr berkata dalam kitab At-Tamhid, “Laki-laki yang bermusyawarah dengan Nabi SAW agar membunuh seorang munafik adalah ltban, sedangkan munafik yang dimaksud adalah Malik bin Dukhsyun.” Kemudian lbnu Abdil Barr menyebutkan hadits Itban dalam bab ini. Namun dalam riwayat ini tidak ada dalil atas klaim, bahwa yang bermusyawarah dengan Nabi SAW mengenai hal itu adalah Itban.

Kemudian sebagian ulama muta ‘akhirin mengeluarkan pandangan yang aneh sebagaimana dinukil oleh Ibnu Abdil Barr bahwa yang mengatakan dalam hadits ini, “Ia adalah seorang munafik” adalah Jtban atas dasar perkataannya di atas. Namun tidak ada ketegasan mengenai hal itu. Lalu Ibnu Abdil Barr berkata, “Tidak ada perselisihan di kalangan ulama bahwa Malik turut serta dalam perang Badar, dan dialah yang menahan Suhail bin Amr.” Selanjutnya beliau menyebutkan hadits dengan sanad hasan dari Abu Hurairah bahwa Nabi SAW bersabda kepada orang yang rnemperbincangkan Malik, ‘·Bukankah ia turut serta dalam perang Badar?”

Saya (lbnu Hajar) katakan. “Dalam kitab ”Al Maghazi” Ibnu Ishak dikatakan. bahwa Nabi SAW mengutus Malik -yang disebutkan pada hadits di atas- bersama Ma’an bin Adiy. lalu keduanya membakar masjid Dhirar (masjid milik kaum munafikin. Hal ini menunjukkan bahwa beliau terlepas dari tuduhan munafik yang dituduhkan kepadanya, atau ia telah meninggalkan sifat tersebut. Ada kemungkinan kemunafikan yang dituduhkan kepadanya tidaklah berkonsekuensl kekufuran. hanya saja para sahabat rnengingkarinya karena sikapnya yang menunjukkan kasih sayang terhadap kaum musyrikin. Barangkali beliau memiliki alasan tersendiri mengenai hal itu seperti yang terjadi pada diri Hathib.

أَلَا تَرَاهُ قَدْ قَالَ لَا إِلَه إِلَّا اللَّه (tidakkah engkau lihar dia telah mengucapkan kalimat laa ilaaha illallah) Dalam riwayat Ath-Thayalisi dikatakan, “Bukankah ia mengucapkan”. Dalam riwayat Muslim disebutkan, “Bukankah dia bersaksi”. Seakan-akan para sahabat memahami sabda Nabi SAW ini dalam konteks pertanyaan dan bukan suatu penekanan tentang keimanan Malik. Karena apabila tidak demikian, tentu mereka tidak akan menjawab Nabi SAW dengan perkataan, “Sesungguhnya ia mengatakan hal itu namun tidak ada dalam hatinya“, sebagaimana terdapat dalam riwayat Imam Muslim melalui jalur Anas dari Itban.

فَصَدَّقَهُ بِذَلِكَ (ia pun membenarkannya) Ada kemungkinan Al Hushain mendengarnya dari Itban dan mungkin pula ia mendengarnya dari sahabat lain. Dalam riwayat Hushain maupun ltban dalam kitab Shahih Bukhari Muslim tidak disebutkan selain hadits ini. Imam Bukhari telah menyebutkan hadits ltban dalarn bab ini lebih dari sepuluh tempat tanpa meringkasnya. Hadits yang dimaksud telah didengar juga dari ltban oleh Anas bin Malik, seperti dikutip oleh Imam Muslim. Abu Bakar bin Anas bersama bapaknya (Anas) mendengar pula dari Itban seperti dikutip oleh Ath-Thabrani.

Pada bagian “shalat sunah berjamaah” akan disebutkan bahwa Abu Ayyub Al Anshari rnendengar Mahmud bin Rabi’ menceritakan hadits di atas dari Itban, maka Abu Ayyub rnengingkarinya karena lahiriah hadits itu rnenyatakan bahwa neraka diharamkan atas setiap muwahhid (orang yang bertauhid). Sementara hadits-hadits syafaat mengindikasikan bahwa sebagian mereka akan diadzab (disiksa).

Namun para ulama mengemukakan sejumlah jawaban mengenai persoalan ini, di antaranya apa yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ibnu Syihab bahwa beliau berkata setelah menyitir hadits di bab ini, “Setelah itu turunlah kewajiban-kewajiban dan perkara-perkara yang menurut kami persoalannya telah berhenti kepadanya. Maka barangsiapa yang tidak ingin terpedaya, hendaknya tidak memperdaya.” Akan tetapi perkataan ini perlu dianalisa kembali, sebab kewajiban shalat lima waktu secara pasti turun sebelum kejadian di atas. Sementara makna lahiriah hadits menyatakan, bahwa orang yang meninggalkan shalat tidak akan diadzab apabila ia memiliki tauhid (mengesakan Allah).

Ada pendapat yang mengatakan bahwa maksudnya adalah, barangsiapa yang mengucapkan kalimat tersebut dengan ikhlas tanpa meninggalkan hal-hal yang telah diwajibkan kepadanya. Sebab, ikhlas harus dibuktikan dengan melaksanakan kewajiban. Namun perkataan ini dikritik, karena tidak ada konsekuensi antara kedua hal itu.

Pendapat lain mengatakan bahwa yang dimaksud adalah diharamkan memasuki neraka yang disiapkan bagi orang-orang kafir dan bukan neraka yang dipersiapkan bagi pelaku maksiat. Ada pula yang mengatakan bahwa diharamkan masuk neraka dengan syarat diterimanya perbuatan yang baik serta menghindari perbuatan yang buruk. Wallahua’lam.

Pelaiaran yang dapat diambil

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 368-369 – Kitab Shalat

1. Orang buta yang menjadi imam.

2. Seseorang yang menceritakan cacat dirinya bukan karena mengeluh.

3. Keterangan bahwa di Madinah terdapat sejumlah masjid yang digunakan untuk shalat berjamaah selain masjid Nabi SAW.

4. Dibolehkan tidak shalat berjamaah apabila hujan turun atau malam yang gelap gulita dan yang sepertinya.

5. Boleh menjadikan tempat tertentu untuk shalat. Adapun larangan menempati tempat tertentu di masjid telah disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud. Namun hal itu dipahami apabila perbuatan tersebut dilakukan dengan tujuan riya’ atau sepertinya.

6. Keharusan meluruskan shaf, dan keumuman larangan agar tamu tidak shalat mengimami tuan rumah. Ini tidak berlaku apabila tamu tersebut adalah imam kaum muslimin, dan juga tidak dianggap makruh. Demikian pula halnya apabila tamu tersebut diberi izin oleh tuan rumah.

7. Boleh tabarruk (mencari berkah) pada tempat-tempat shalat Nabi SAW, atau tempat yang pernah dipijaknya.

8. Orang-orang shalih yang diundang untuk diambil berkahnya harus memenuhi undangan itu selama tidak menimbulkan fitnah[1]. Namun ada kemungkinan Itban melakukan hal itu hanya untuk memastikan arah kiblat.

9. Orang yang lebih utama atau memiliki kedudukan yang lebih tinggi boleh memenuhi undangan orang yang lebih rendah darinya.

10. Melakukan tabarruk (mencari berkah) dengan masyi’ah (kehendak Allah Ta ‘ala).

11. Memenuhi janji adalah wajib hukumnya.

12. Seorang tamu boleh membavva orang lain selama dia mengetahui bahwa orang yang mengundang tidak membenci hal tersebut.

13. Harus meminta izin masuk kepada orang yang mengundang meskipun ada undangan sebelumnya.

14. Membuat masjid di rumah tidak berkonsekuensi bahwa tempat tersebut telah diwakafkan meskipun dinamakan masjid.

15. Berkumpul di hadapan imam apabila ia mendatangi rumah salah seorang di antara mereka. untuk mengambil manfaat serta mendapatkan berkah darinya.[2]

16. Menyebutkan orang yang diduga terjerumus dalam kerusakan di hadapan imam (pemimpin) dengan tujuan memberi nasihat. Hal ini tidak termasuk ghihah (menceritakan kejelekan orang lain- penerj.).

17. Seorang imam atau pemimpin harus meneliti terlcbih dahulu peristiwa atau permasalahan yang ada.

18. Menanyakan jamaah yang tidak hadir tan pa alasan.

19. Iman bukan sekedar ucapan tanpa disertai keyakinan, dan orang yang meninggal dengan membawa tauhid tidak kekal dalam neraka. Persoalan ini telah dijadikan judul bab tersendiri oleh Imam Bukhari, selain judul bab ini dan yang sebelumnya.

20. Adanya keringanan (rukhsah) untuk shalat di tempat tinggal (rumah) pada saat turun hujan.

21. Bolehnya shalat sunah dengan berjamaah.

22. Makmum salam ketika imam salam. dan tidak wajib menjawab salam imam.

23. Apabila imam mengunjungi suatu kaum. maka ia shalat mengimami mereka.

24. Keterangan bahwa ltban telah mengikuti perang Badar.

25. Bolehnya memakan khccirah (sejenis makanan yang terbuat dari daging).

26. Perbuatan yang dilakukan untuk mencari keridhaan Allah akan menyelamatkan pelakunya dari neraka.

27. Menisbatkan seseorang kepada kemunafikan atau sepertinya karena faktor-faktor tertentu, maka tidak dianggap kafir ataupun fasik, bahkan alasannya diterima atas dasar takwil (interpretasi).

Hadits Shahih Al-Bukhari No. 408

حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ الْأَشْعَثِ بْنِ سُلَيْمٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ مَسْرُوقٍ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحِبُّ التَّيَمُّنَ مَا اسْتَطَاعَ فِي شَأْنِهِ كُلِّهِ فِي طُهُورِهِ وَتَرَجُّلِهِ وَتَنَعُّلِهِ

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [Sulaiman bin Harb] berkata, telah menceritakan kepada kami [Syu’bah] dari [Al Asy’ats bin Sulaim] dari [ayahnya] dari [Masruq] dari [‘Aisyah] berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam suka mendahulukan yang kanan dalam setiap perbuatannya. Seperti dalam bersuci, menaiki kendaraan dan memakai sandal.”

Keterangan Hadis: Aisyah mengetahui kesukaan beliau SAW untuk mendahulukan yang kanan. Hal itu bisa jadi karena Rasulullah telah memberitahukan kepadanya secara langsung. atau Aisyah mengetahuinya melalui faktor­faktor yang mendukungnya. Adapun sisa pcmbicaraan tentang hadits Aisyah ini telah disebutkan dalam bab .. Mendahulukan yang Kanan dalam Berwudhu dan Mandi'”.


[1] Pernyataan ini perlu ditinjau kembali. Yang benar bahwa ha! ini khusus bagi diri Nabi SAW, karena Allah SWT menjadikan keberkahan pada dirinya. Adapun selain beliau tidak bisa disamakan dengannya, karena adanya perbedaan yang sangat besar. Di samping itu, membuka pintu ini dapat menyeret kepada perbuatan ghuluw (berlebih-lebihan) dan syirik, sebagaimana yang terjadi pada sebagian manusia.

[2] Ini merupakan kesalahan. adapun yang benar bahwa hal itu terlarang –sebagaimana terdahulu- pada selain diri Nabi SAW demi untuk menutup jalan kesyirikan.

M Resky S