Hadits Shahih Al-Bukhari No. 46 – Kitab Iman

Pecihitam.org – Hadits Shahih Al-Bukhari No. 46 – Kitab Iman ini, menerangkan bahwa mencela atau menghina seorang Muslim itu adalah kefasikan dan membunuhnya adalah kekafiran. Keterangan hadist dikutip dan diterjemahkan dari Kitab Fathul Bari Jilid 1 Kitab Iman. Halaman 201-204.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَرْعَرَةَ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ زُبَيْدٍ قَالَ سَأَلْتُ أَبَا وَائِلٍ عَنْ الْمُرْجِئَةِ فَقَالَ حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin ‘Ar’arah] berkata, Telah menceritakan kepada kami [Syu’bah] dari [Zubaid] berkata: Aku bertanya kepada [Abu Wa’il] tentang Murji`ah, maka dia menjawab: Telah menceritakan kepadaku [Abdullah] bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “mencerca orang muslim adalah fasiq dan memeranginya adalah kufur”.

Keterangan Hadis: Ibrahim An-Nakha’i berkata, “Perkataan dan perbuatan saya tidak pernah bertentangan, karena saya takut menjadi seorang pembohong.” Ibnu Abi Mulaikah berkata, “Aku mengetahui 30 orang sahabat Rasulullah yang takut akan kemunafikan dirinya. Tidak ada seorang pun diantara mereka yang mengatakan bahwa iman mereka serupa dengan iman Jibril dan Mikail.” Kemudian disebutkan dari Hasan, “Hanya orang yang beriman yang takut akan kemunafikan, dan hanya orang munafik yang selalu dalam kemunafikan.”

Hanya taubat yang dapat mengingatkan orang munafik dari perbuatan maksiat dan kemunafikan. Allah SWT berfirman, “Dan mereka tidak meneruskan perbuatan keji itu sedang mereka mengetahui.” (Qs. Aali Imraan(3): 135)

Bab ini sengaja dibuat sebagai bantahan khusus terhadap aliran Murji’ah walaupun banyak dari bab-bab sebelumnya yang mengandung bantahan terhadap mereka, akan tetapi bantahan tersebut selalu berkaitan dengan bantahan terhadap selain mereka seperti ahli bid’ah, berbeda dengan hadits ini.

Kata Al Murji’ah berasal dari kata irja’ yang berarti menunda atau mengakhirkan. Hal tersebut dikarenakan mereka mengakhirkan amal daripada iman. Mereka berkata, “Iman adalah keyakinan dalam hati saja dan tidak harus diucapkan.” Seseorang yang berbuat maksiat tetap dalam kondisi sempurna imannya, karena mereka beranggapan bahwa perbuatan dosa sama sekali tidak merusak keimanan seseorang. Pertanyaan ini sangat populer dalam kitab-kitab akidah.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 185 – Kitab Wudhu

Hubungan tema ini dengan sebelumnya tentang mengantarkan jenazah, adalah momen untuk memperhatikan atau menyatukan dua perkara. Konteks hadits tersebut mengindikasikan bahwa ganjaran yang dijanjikan akan didapat dengan mengerjakan hal tersebut dengan penuh keikhlasan dan hanya mengharapkan ridha Allah semata, oleh karena Imam Bukhari menyambungnya dengan apa yang mengisyaratkan bahwa bisa saja terpampang di hadapan seseorang apa yang dapat menghalangi niat tulusnya, sehingga dia tidak mendapatkan pahala tanpa merasakan hal tersebut.

Maksud “Amalnya akan hilang” adalah tidak mendapatkan pahala dari amalan yang dikerjakannya, karena pahala akan didapatkan hanya dengan keikhlasan semata. Pernyataan ini menguatkan pendapat aliran Al Ihbathiyah yang mengatakan, “Kejelekan akan membatalkan kebaikan.”

Al Qadhi Abu Bakar bin Arabi membantah dan mengatakan, bahwa pembatalan terbagi menjadi dua. Pertama, membatalkan sesuatu dengan sesuatu yang lain dan membuang seluruhnya seperti batalnya keimanan karena kekafiran dan sebaliknya. Kedua, pembatalan dengan cara menimbang yaitu menjadikan yang jelek di timbangan kiri dan yang baik di timbangan kanan. Barangsiapa yang kuat kebaikannya, maka dia akan sukses. Sedangkan yang kuat kejelekannya, maka dia akan berhenti pada kehendak Allah; bisa jadi diampuni atau diadzab.

Kata berhenti bisa berarti berhenti dalam hal yang bermanfaat saat memerlukannya. Ini merupakan pembatalan, sedangkan berhenti dalam hal yang disiksa juga merupakan pembatalan yang lebih kuat untuk keluar dari neraka.

Pada kedua pembatalan relatif ini dipakai istilah “ihbath” secara kiasan, bukan arti yang sebenarnya; karena kalau seseorang telah keluar dari neraka dan masuk ke surga, maka pahala dari amalnya telah diterima. Pendapat ini berseberangan dengan madzhab Ihbathiyah yang menyamakan hukum seorang yang berbuat maksiat dengan hukum orang kafir, dan mayoritas mereka adalah aliran Qadariyah. Wallahu A ‘lam

Tidak ada seorang pun diantara mereka yang mengatakan kadar keimanannya sama dengan Jibril dan Mikail, artinya tidak seorang pun dari mereka yakin bahwa mereka tidak disentuh oleh kemunafikan seperti keimanan Jibril. Hal ini menunjukkan bahwa mereka adalah golongan yang berpendapat adanya tingkatan keimanan dalam diri seorang mukmin, berlawanan dengan golongan Murji’ah yang berpendapat bahwa iman para shiddiqin dan yang lainnya berada pada satu level.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 324 – Kitab Tayammum

Telah diriwayatkan hadits dalam marfu’ dari Aisyah dengan makna senada dengan hadits Ibnu Mulaikah yang diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam kitab Al-Ausath, hanya saja rangkaian sanadnya lemah.

Ibrahim Al Harbi berkata, bahwa سِبَاب (Memaki) lebih kasar daripada السِّبَاب (Mencela).

الْمُسْلِم (seorang muslim). Kata tersebut dipakai dalam mayoritas riwayat. Akan tetapi riwayat Ahmad dari Ghandar dari Syu’bah, kata yang dipergunakan adalah الْمُؤْمِن dimana agaknya beliau meriwayatkan hadits dengan maknanya.

Secara etimologi, فُسُوق berarti Al Khuruuj (Keluar). Secara terminologi berarti keluar dari taat kepada Allah dan rasul-Nya. Kata “fasik” dalam syariat lebih tinggi tingkatannya daripada kata maksiat. Allah SWT berfirman, “…dan menjadikan kamu kepada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan (kemaksiatan)” (Qs. Al Hujuraat (49)1. 7)

Dalam hadits ini menunjukkan penghormatan hak seorang muslim. Apabila seseorang memakinya tanpa bukti, maka hukumannya adalah kefasikan.

وَقِتَاله كُفْر (Dan membunuhnya adalah kekufuran). Jika ada pertanyaan, “Kalimat ini meskipun mengandung bantahan terhadap golongan Murji’ah, akan tetapi secara lahiriah menguatkan aliran Khawarij yang mengafirkan orang yang berbuat maksiat.” Jawabnya, kalimat itu memang mengandung penolakan terhadap pelaku bid’ah, maka bukan hanya Khawarij yang dimaksud dari zhahir hadits. Akan tetapi ketika membunuh lebih keras daripada memaki -karena perbuatan tersebut mengakibatkan kematian Rasul mengekspresikannya dengan lafazh yang lebih keras daripada lafazh fasik, yaitu kufur.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 308-309 – Kitab Haid

Pemakaian kata kufur di atas bukan berarti kufur yang sebenarnya, yaitu keluar dari agama, tetapi hanya sebagai peringatan akan perbuatan tersebut. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni orang yang menyekutukan-Nya dan mengampuni selain itu terhadap orang yang dikehendaki-Nya” (Qs. An-Nisaa'(4): 48) Atau dipakainya kata kufur dalam hadits tersebut karena adanya kemiripan antara keduanya, yaitu membunuh orang mukmin adalah perbuatan orang kafir.

Pendapat lain mengatakan, pemakaian kata “kufur” di sini adalah kufur secara bahasa saja yang berarti menutupi, karena hak seorang muslim dengan muslim yang lain adaiah menolong dan tidak menyakitinya. Ketika dia membunuhnya seakan-akan tertutup baginya kebenaran tersebut. Kedua alasan tersebut lebih cocok dengan yang dimaksud oleh Bukhari.

Yang serupa dengan hadits ini adalah sabda Rasulullah SAW, “Janganlah kalian kembali menjadi kafir dengan saling memenggal. “ Allah SWT berfirman, “Apakah kamu beriman kepada sebagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebagian yang lain” setelah firman-Nya, “Kemudian kamu (bani Israil) membunuh dirimu (saudaramu sebangsa) dan mengusir segolongan daripada kamu dari kampung halamannya.” (Qs. Al Baqarah(2): 85)

Ayat tersebut mengindikasikan, bahwa beberapa amal disebut sebagai kekufuran karena kekerasannya. Sedangkan sabda Rasulullah SAW dalam riwayat Muslim “Melaknat orang muslim seperti membunuhnya” tidak bertentangan dengan hadits ini, karena persamaan keduanya sangat jelas, yang pertama dalam kehormatan dan yang kedua dalam nyawa. Wallahu ‘Alam. Sebab disebutkan matan (redaksi) ini akan dijumpai pada awal “kitab Al Fitan” di akhir kitab Shahih Bukhari.

M Resky S