Hadits Shahih Al-Bukhari No. 476-477 – Kitab Shalat

Pecihitam.org – Hadits Shahih Al-Bukhari No. 476-477 – Kitab Shalat ini, Imam Bukhari memulai hadis ini dengan judul “Bab” dan “Shalat Menghadap Hewan Tunggangan, Unta, Pohon dan Kendaraan” Hadis-hadis dari Ibnu Umar ini menjelaskan tentang apa yang dia lakukan jika masuk kedalam Ka’bah. Berikutnya Ibnu Umar menjelaskan bahwa Nabi saw menjadikan hewan tunggangannya sebagai pembatas salat beliau. Keterangan hadist dikutip dan diterjemahkan dari Kitab Fathul Bari Jilid 3 Kitab Shalat. Halaman 282-285.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ الْمُنْذِرِ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو ضَمْرَةَ قَالَ حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ عُقْبَةَ عَنْ نَافِعٍ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ إِذَا دَخَلَ الْكَعْبَةَ مَشَى قِبَلَ وَجْهِهِ حِينَ يَدْخُلُ وَجَعَلَ الْبَابَ قِبَلَ ظَهْرِهِ فَمَشَى حَتَّى يَكُونَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجِدَارِ الَّذِي قِبَلَ وَجْهِهِ قَرِيبًا مِنْ ثَلَاثَةِ أَذْرُعٍ صَلَّى يَتَوَخَّى الْمَكَانَ الَّذِي أَخْبَرَهُ بِهِ بِلَالٌ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى فِيهِ قَالَ وَلَيْسَ عَلَى أَحَدِنَا بَأْسٌ إِنْ صَلَّى فِي أَيِّ نَوَاحِي الْبَيْتِ شَاءَ

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [Ibrahim bin Al Mundzir] berkata, telah menceritakan kepada kami [Abu Dlamrah] berkata, telah menceritakan kepada kami [Musa bin ‘Uqbah] dari [Nafi’] bahwa [‘Abdullah bin ‘Umar], bahwa jika ia masuk ke dalam Ka’bah, ia berjalan ke arah depan sementara pintu Ka’bah di belakangnya. Ia terus berjalah hingga antara dia dan dinding dihadapannya kira-kira tiga hasta, lalu dia shalat di tempat dimana [Bilal] mengabarkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah shalat di posisi itu.” ‘Abdullah bin ‘Umar berkata, “Dan tidak mengapa jika di antara kami shalat di dalam Ka’bah menghadap kemana saja yang dia mau.”

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي بَكْرٍ الْمُقَدَّمِيُّ حَدَّثَنَا مُعْتَمِرٌ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ كَانَ يُعَرِّضُ رَاحِلَتَهُ فَيُصَلِّي إِلَيْهَا قُلْتُ أَفَرَأَيْتَ إِذَا هَبَّتْ الرِّكَابُ قَالَ كَانَ يَأْخُذُ هَذَا الرَّحْلَ فَيُعَدِّلُهُ فَيُصَلِّي إِلَى آخِرَتِهِ أَوْ قَالَ مُؤَخَّرِهِ وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَفْعَلُهُ

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 487-488 – Kitab Shalat

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Abu Bakar Al Muqaddami] telah menceritakan kepada kami [Mu’tamir] dari [‘Ubaidullah bin ‘Umar] dari [Nafi’] dari [Ibnu ‘Umar] dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau pernah menambatkan tunggangannya lalu shalat menghadap ke arahnya.” Aku (Nafi’) berkata, ‘Apakah kamu pernah melihat bahwa tunggangannya itu berjalan pergi? ‘ Ibnu ‘Umar menjawab, ‘Beliau ambil tali pelananya lalu meletakkannya di depannya, kemudian shalat menghadap ke arahnyanya.’ Dan Ibnu ‘Umar juga pernah melakukannya.”

Keterangan Hadis: Demikian yang banyak dinukil para perawi, yakni tanpa judul bab. Ini sama dengan pemisah dengan bab sebelumnya. Seakan-akan Imam Bukhari memisahkan hadits ini dari bab sebelumnya, karena di sini tidak terdapat pernyataan tegas bahwa shalat dilakukan di antara tiang-tiang, akan tetapi yang ada hanyalah keterangan jarak antara orang yang shalat dengan tembok. Lalu dalam riwayat Al Ashili lafazh bab juga tidak dicantumkan.

إِنْ صَلَّى (untuk shalat) Demikian yang terdapat dalam riwayat Al Kasymihani. Adapun dalam riwayat selain beliau dinukil dalam bentuk kata kerja lampau, yakni “telah shalat”.

Adapun maksud Ibnu Umar adalah, bahwa ia tidak mensyaratkan sahnya shalat di Ka’bah apabila berada tepat pada tempat Nabi SAW shalat. Bahkan perbuatan itu hanya suatu keutamaan, dimana maksud shalat telah tercapai dengan melakukannya di tempat selain tempat Nabi SAW shalat di dalam Ka’bah.

(Bab shalat menghadap hewan tunggangan dan unta) Al Jauhari berkata, “Ar-Rahilah (hewan tunggangan) adalah unta betina yang bisa diletakkan pelana di atasnya.” Sementara Al Azhari berkata, “Ar-Rahilah adalah hewan tunggangan yang bagus, baik jantan maupun betina. Adapun Ba’ir (unta) adalah nama unta yang telah memasuki umur lima tahun.”

(Pohon dan kendaraan) Yang tersebut dalam hadits pada bab ini adalah “rahilah” dan “rahl”, seakan-akan Imam Bukhari menggabungkan ba ‘ir (unta) dengan “rahilah” (hewan tunggangan) karena adanya makna yang dapat menyatukan keduanya. Namun, ada pula kemungkinan beliau ingin mengisyaratkan pada lafazh yang terdapat pada sebagian jalur periwayatan hadits ini. Abu Khalid Al Ahmar telah meriwayatkan dari Ubaidillah bin Umar dari Nafi’ dengan lafazh, “Beliau biasa shalat menghadap untanya (ba’ir )”.

Baca Juga:  Macam-macam Hadis Dhaif Menurut Para Ulama Hadis, Bagian 2

Apabila riwayat ini adalah hadits lain, maka selesailah persoalannya. Namun jika ia hanyalah ringkasan dari hadits di atas (seakan-akan yang dimaksud adalah shalat menghadap bagian belakang pelana untanya), maka kemungkinan pertama lebih mempunyai dasar. Sementara kemungkinan yang kedua didukung oleh riwayat yang dinukil oleh Abdurrazzaq, bahwa Ibnu Umar tidak menyukai shalat menghadap unta (ba’ir) kecuali ada pelana di atasnya.

Kemudian Imam Bukhari mengikutkan pohon pada pelana ditinjau dari sisi “lebih pantas” (aulawiyah). Akan tetapi ada kemungkinan bahwa hal ini sebagai isyarat terhadap hadits Ali, “Sungguh kamu telah melihat kami pada hari Badar, dan tidak ada di antara kami seorang pun melainkan tertidur kecuali Rasulullah SAW, dimana ia shalat menghadap pohon sambil berdoa hingga subuh.” (Diriwayatkan oleh An-Nasa’i dengan sanad hasan).

قُلْتُ أَفَرَأَيْتَ (Aku katakan, “bagaimana pendapatmu”) Secara lahiriah ini adalah ucapan Nafi’ dan yang ditanya adalah Ibnu Umar. Akan tetapi Al Ismaili menjelaskan melalui jalur Ubaidah bin Hamid dari Ubaidillah bin Umar, bahwa ucapan tersebut adalah perkataan Ubaidillah dan yang ditanya adalah Nafi’. Atas dasar ini riwayat tersebut masuk kategori mursal (tidak menyebut perawi yang menerima langsung dari Nabi SAW), sebab pelaku pada kata kerja “mengambil” adalah Nabi SAW, sementara Nafi’ tidak bertemu dengannya.

هَبَّتْ الرِّكَابُ (takut oleh rikab) yakni bergerak ketakutan. Adapun yang dimaksud dengan “rikab” adalah unta yang tidak ditunggangi. Maksud kalimat ini adalah apabila unta bergerak tak beraturan akan menimbulkan rasa was-was bagi orang yang shalat, maka unta tersebut ditarik kembali ke tempatnya untuk dijadikan sutrah (pembatas).

Al Qurthubi berkata, “Dalam hadits ini terdapat dalil tentang bolehnya menjadikan hewan yang dapat berdiri lama dengan tenang sebagai pembatas. Hal ini tidak bertentangan dengan larangan untuk shalat di tern pat berkumpul (ma’athin) unta, sebab ma’athin adalah tempat berkumpulnya unta di tepi air. Makruhnya shalat di tempat tersebut bisa saja karena baunya yang busuk atau karena unta-unta tersebut menghalangi orang yang shalat serta menutupinya.”

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 523-525 – Kitab Waktu-waktu Shalat

Ulama lainnya berkata, “Sebab yang menjadi alasan larangan tersebut adalah karena unta diciptakan dari syetan, dan hal ini telah disebutkan. Maka, kebolehan untuk shalat menghadapnya saat safar hanya karena kondisi darurat. Sama seperti ini shalat beliau SAW menghadap tempat tidur yang ada wanita sedang tidur, karena kondisi rumah yang sempit. Atas dasar ini maka perkataan Imam Syafi’ i dalam kitab Al Buwaithi, “Tidak boleh menggunakan sutrah wanita maupun hewan”, yakni bila kondisi tidak mendesak. Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dari Ibnu Uyainah, dari Abdullah bin Dinar, bahwasanya Ibnu Umar biasanya tidak suka shalat menghadap unta melainkan jika ada pelananya. Mungkin hikmah itu adalah bahwa pada saat unta dipasang pelananya, akan lebih mudah untuk tenang daripada tanpa pelana.

Catatan: Para fuqaha (ahli fikih) telah menjadikan pelana unta sebagai batas minimal tinggi sutrah (pembatas), lalu mereka berbeda pendapat dalam menentukan tinggi pelana itu. Sebagian mengatakan bahwa tingginya adalah satu hasta, ada pula yang mengatakan dua pertiga hasta, yang merupakan pendapat paling masyhur. Tetapi dalam Mushannaf Abdurrazzaq dari Nafi’ dikatakan, bahwa tinggi pelana unta Ibnu Umar adalah satu hasta.

M Resky S