Hadits Shahih Al-Bukhari No. 48 – Kitab Iman

Pecihitam.org – Hadits Shahih Al-Bukhari No. 48 – Kitab Iman ini, menjelaskan keyakinan dan amal adalah agama, sedangkan apa yang diterangkan oleh Nabi SAW kepada Abdul Qais bahwa Iman adalah Islam. Hal itu dikuatkan dengan penjelasan ayat dan berdasarkan riwayat dari Abu Sufyan yang menyatakan bahwa Islam adalah agama, maka Islam dan Iman adalah satu. Keterangan hadist dikutip dan diterjemahkan dari Kitab Fathul Bari Jilid 1 Kitab Iman. Halaman 208-229.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ قَالَ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ أَخْبَرَنَا أَبُو حَيَّانَ التَّيْمِيُّ عَنْ أَبِي زُرْعَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَارِزًا يَوْمًا لِلنَّاسِ فَأَتَاهُ جِبْرِيلُ فَقَالَ مَا الْإِيمَانُ قَالَ الْإِيمَانُ أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَبِلِقَائِهِ وَرُسُلِهِ وَتُؤْمِنَ بِالْبَعْثِ قَالَ مَا الْإِسْلَامُ قَالَ الْإِسْلَامُ أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ وَلَا تُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَتُقِيمَ الصَّلَاةَ وَتُؤَدِّيَ الزَّكَاةَ الْمَفْرُوضَةَ وَتَصُومَ رَمَضَانَ قَالَ مَا الْإِحْسَانُ قَالَ أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ قَالَ مَتَى السَّاعَةُ قَالَ مَا الْمَسْئُولُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنْ السَّائِلِ وَسَأُخْبِرُكَ عَنْ أَشْرَاطِهَا إِذَا وَلَدَتْ الْأَمَةُ رَبَّهَا وَإِذَا تَطَاوَلَ رُعَاةُ الْإِبِلِ الْبُهْمُ فِي الْبُنْيَانِ فِي خَمْسٍ لَا يَعْلَمُهُنَّ إِلَّا اللَّهُ ثُمَّ تَلَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ { إِنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ } الْآيَةَ ثُمَّ أَدْبَرَ فَقَالَ رُدُّوهُ فَلَمْ يَرَوْا شَيْئًا فَقَالَ هَذَا جِبْرِيلُ جَاءَ يُعَلِّمُ النَّاسَ دِينَهُمْ قَالَ أَبُو عَبْد اللَّهِ جَعَلَ ذَلِك كُلَّهُ مِنْ الْإِيمَانِ

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [Musaddad] berkata, Telah menceritakan kepada kami [Isma’il bin Ibrahim] telah mengabarkan kepada kami [Abu Hayyan At Taimi] dari [Abu Zur’ah] dari [Abu Hurairah] berkata; bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada suatu hari muncul kepada para sahabat, lalu datang Malaikat Jibril ‘Alaihis Salam yang kemudian bertanya: “Apakah iman itu?” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Iman adalah kamu beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, pertemuan dengan-Nya, Rasul-Rasul-Nya, dan kamu beriman kepada hari berbangkit”. (Jibril ‘Alaihis salam) berkata: “Apakah Islam itu?” Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: “Islam adalah kamu menyembah Allah dan tidak menyekutukannya dengan suatu apapun, kamu dirikan shalat, kamu tunaikan zakat yang diwajibkan, dan berpuasa di bulan Ramadlan”. (Jibril ‘Alaihis salam) berkata: “Apakah ihsan itu?” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Kamu menyembah Allah seolah-olah melihat-Nya dan bila kamu tidak melihat-Nya sesungguhnya Dia melihatmu”. (Jibril ‘Alaihis salam) berkata lagi: “Kapan terjadinya hari kiamat?” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Yang ditanya tentang itu tidak lebih tahu dari yang bertanya. Tapi aku akan terangkan tanda-tandanya; (yaitu); jika seorang budak telah melahirkan tuannya, jika para penggembala unta yang berkulit hitam berlomba-lomba membangun gedung-gedung selama lima masa, yang tidak diketahui lamanya kecuali oleh Allah”. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membaca: “Sesungguhnya hanya pada Allah pengetahuan tentang hari kiamat” (QS. Luqman: 34). Setelah itu Jibril ‘Alaihis salam pergi, kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata; “hadapkan dia ke sini.” Tetapi para sahabat tidak melihat sesuatupun, maka Nabi bersabda; “Dia adalah Malaikat Jibril datang kepada manusia untuk mengajarkan agama mereka.” Abu Abdullah berkata: “Semua hal yang diterangkan Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dijadikan sebagai iman.

Keterangan Hadis: Sebelum ini telah disebutkan, bahwa Imam Bukhari menganggap Islam dan Iman adalah satu makna. Secara eksplisit pertanyaan Jibril mengindikasikan adanya perbedaan antara Iman dan Islam dengan menganggap bahwa Iman adalah keyakinan terhadap perkara tertentu, sedangkan Islam adalah menampakkan amalan-amalan khusus.

Penjelasan dalam hadits tersebut, bahwa keyakinan dan amal adalah agama, sedangkan apa yang diterangkan oleh Nabi SAW kepada Abdul Qais bahwa Iman adalah Islam. Hal itu dikuatkan dengan penjelasan ayat dan berdasarkan riwayat dari Abu Sufyan yang menyatakan bahwa Islam adalah agama, maka Islam dan Iman adalah satu.

Abu Awanah Al Isfaraini dalam kitab Shahihnya dari Al Muzani -salah seorang sahabat Imam Syafi’i- mendukung pendapat yang mengatakan bahwa kedua kata tersebut merupakan satu arti, dan dia mendengar hal tersebut dari Imam Syafi’i. Sedangkan Imam Ahmad mendukung pendapat yang mengatakan, bahwa keduanya memiliki arti yang berbeda. Masing-masing pendapat memiliki dalil yang menguatkan.

Al Khaththabi berkata bahwa dalam masalah ini antara dua imam besar -Imam Syafi’i dan Imam Ahmad- masing-masing memberikan dalil, sehingga nampak perbedaan di antara mereka. Perbedaan tersebut antara umum dan khusus, bahwa setiap mukmin pasti muslim, bukan sebaliknya.

Hal tersebut menunjukkan bahwa kata Islam tidak mencakup keyakinan dan amalan sekaligus, sedangkan kata Iman mencakup keduanya. Allah SWT berfirman, “Dan Kuridhai Islam sebagai agamamu.” Kata “Islam” dalam ayat ini mencakup iman dan amal, karena yang mengerjakan tanpa keyakinan maka perbuatannya bukan termasuk perbuatan agama yang diridhai.

Berdasarkan ini, Al Muzani dan Abu Muhammad Al Baghawi mengomentari tentang pertanyaan Jibril, dan Rasulullah SAW menjadikan kata “Islam” di sini sebagai nama setiap perbuatan yang tampak, dan kata “Iman” sebagai nama bagi keyakinan yang tersembunyi di dalam hati. Ini tidak berarti bahwa perbuatan tersebut bukan termasuk bagian iman dan bukan berarti pembenaran hati tidak termasuk bagian dari Islam, akan tetapi sebagai penjelasan bahwa semuanya adalah satu dan penggabungan antara keduanya dinamakan agama.

Rasulullah SAW bersabda, “Dia datang untuk mengajarkan agamamu.”” Allah SWT berfirman, “Dan Kuridhai Islam sebagai agama kalian” (Qs. Al Maa’idah (5): 3) “Barangsiapa yang mencari agamaselain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima agama itu daripadanya” (Qs. Aali Imraan (3); 85) Dengan demikian, agama yang diridhai dan diterima hanyalah yang disertai dengan At-Tashdiq (pembenaran hati).

Yang jelas dari masing-masing dalil mempunyai hakikat syariat dan hakikat bahasa, keduanya tidak terpisahkan dan saling melengkapi. Seperti seseorang yang melakukan suatu perbuatan, dia tidak dapat dikatakan muslim yang sempurna kalau tidak disertai dengan suatu keyakinan; dan orang yang berkeyakinan tidak dapat dikatakan mukmin yang sempurna kalau tidak mengerjakannya. Karena kata iman sering digunakan dalam kata Islam dan sebaliknya, atau salah satu kata dipakai untuk arti keduanya sebagai kiasan, yaitu makna yang dimaksud dapat diketahui lewat konteks kalimat. Artinya, kalau dipakai dua kata tersebut bersamaan dalam kalimat pertanyaan, maka fungsinya sebagai kata sebenarnya. Kalau kedua kata tidak dipakai bersamaan atau dipakai tapi tidak dalam kalimat pertanyaan, maka pemakaiannya boleh sebagai fungsi kata sebenarnya atau kata kiasan sesuai dengan konteks kalimat.

Al Ismaili meriwayatkan dari Ahlu Sunnah yang mengatakan bahwa kedua kata itu berbeda sesuai dengan konteks kalimat. Jika dipakai salah satu kata dari keduanya, maka satu kata yang lain masuk ke dalamnya. Pendapat ini sesuai dengan pendapat Muhammad bin Nasr yang diikuti oleh Ibnu Abdul Barr yang menyatakan, bahwa kedua kata tersebut memiliki satu makna seperti yang disebutkan dalam hadits Abdul Qais. Begitu pula dengan apa yang diriwayatkan oleh AI-Lalikai dan Ibnu Sam’ani dan Ahlu Sunnah, bahwa mereka membedakan arti keduanya (Iman dan Islam) berdasarkan hadits Jibril. Wallahu A’lam.

كَانَ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَارِزًا يَوْمًا لِلنَّاسِ (Dan Nabi sedang tampak di hadapan orang-orang). Maksudnya, Rasul benar-benar berada di hadapan mereka tanpa penghalang. Hal tersebut diterangkan dalam riwayat Abu Farwah yang telah kita sebutkan. Awal riwayat tersebut adalah, “Ketika Rasulullah sedang duduk bersama para sahabatnya, datanglah orang asing bergabung bersama mereka.

Rasulullah tidak dapat membedakan dengan yang lain. Akhirnya kami meminta izin kepada Rasulullah untuk membuatkan tempat duduk bagi beliau, agar dapat mengetahui siapa yang datang. Setelah itu kami buatkan untuknya tempat duduk dari tanah.”

Dari riwayat tersebut, Al Qurthubi menyimpulkan tentang disunahkannya bagi orang alim untuk duduk di tempat khusus yang ditinggikan, jika hal tersebut memang dibutuhkan untuk kepentingan mengajar dan semisalnya.

Kemudian datanglah seorang pria, maksudnya malaikat dalam wujud manusia. Imam Bukhari dalam kitab tafsir menyebutkan, bahwa orang tersebut datang dengan berjalan. Sedangkan dalam riwayat Abu Farwah lafazhnya adalah, “Kami sedang duduk bersama beliau ketika datang seorang pria yang tampan, wangi badannya, dan pakaiannya tidak tersentuh debu.”

Dalam riwayat Muslim dari jalur Kahmas tentang hadits Umar, “Ketika kami sedang duduk bersama Rasulullah, datanglah seorang pria yang putih kulitnya dan hitam rambutnya.”

Dalam riwayat Ibnu Hibban disebutkan, “Sangat hitam janggutnya, tidak ada bekas perjalanan dan tidak seorang pun mengetahui siapa dirinya. Kemudian dia duduk di hadapan Rasul dengan mempertemukan lututnya dengan lutut Rasul dan meletakkan tangannya di atas paha Rasulullah.”

Dalam riwayat Sulaiman At-Taimi, “Tidak tampak pada dirinya bekas perjalanan dan dia meletakkan tangannya di atas paha Rasulullah.” Dari riwayat ini dapat disimpulkan, bahwa Dhamir (kata ganti) dalam kalimat “Fakhidzaihi” kembali kepada Rasul. Pendapat ini juga dibenarkan oleh Al Baghawi dan Ibrahim At-Taimi, dan dikuatkan oleh Ath-Thibi dengan mengomentari bahwa riwayat tersebut berlawanan dengan apa yang disetujui oleh An-Nawawi. At-Turbusyti juga sependapat karena dia menafsirkannya dengan, “Dia duduk dalam posisi seorang murid di hadapan guru.”

Walaupun secara eksplisit posisi duduknya dipahami seperti seorang murid, akan tetapi perbuatan meletakkan tangan di paha Rasulullah bertujuan untuk menarik perhatian agar orang-orang mendengarkannya. Disamping itu hadits ini juga mengindikasikan agar seorang yang ditanya tentang suatu permasalahan bersikap rendah diri dan simpatik terhadap penanya.

Secara implisit apa yang dilakukan olehnya (Jibril) bertujuan untuk menyembunyikan jati diri dan memperkuat citra bahwa dirinya berasal dari Arab Badui, hingga dapat menerobos orang-orang ke hadapan Rasulullah. Oleh karena itu para sahabat merasa asing dengan prilakunya, dia bukan penduduk daerah setempat tiba-tiba muncul tanpa meninggalkan bekas telapak kaki.

Jika ada pertanyaan, “Bagaimana Umar mengetahui bahwa dia bukan salah satu dari mereka?” Jawabnya adalah kemungkinan Umar mengetahui hal tersebut dari dugaannya atau berdasarkan pendapat orang yang hadir dalam majelis itu. Menurut saya kemungkinan kedua lebih kuat karena hal yang serupa ditemukan pada riwayat Ustman bin Ghiyats, “Mereka saling berpandangan lalu berkata kami tidak mengetahui orang ini.”

Imam Muslim dalam riwayat Umarah bin Qa’qa’ menjelaskan sebab munculnya hadits ini, bahwa pertama kali Rasulullah SAW berkata, “Bertanyalah kepadaku. ” Akan tetapi mereka segan untuk bertanya kepada beliau, maka datanglah pria tersebut.

Dalam riwayat Yazid bin Zari’ dari Kahmas disebutkan, “Ketika Rasulullah sedang berkhutbah, datanglah seorang pria -agaknya permintaan beliau kepada mereka untuk bertanya kepadanya dilakukan pada saat berkhutbah.” Dari riwayat tersebut jelaslah bahwa pria tersebut datang pada saat beliau sedang berkhutbah terlepas apakah beliau sedang berdiri atau duduk.

(maka berkatalah). Ditambahkan oleh Imam Bukhari dalam kitab Tafsir dengan lafazh, “Ya Rasulullah, Apakah Iman itu?” Jika ada pertanyaan, “Bagaimana mungkin pria tersebut mengajukan pertanyaan sebelum menyampaikan salam?” Jawabnya, kemungkinan hal tersebut dilakukan untuk menyamarkan penampilannya atau untuk menerangkan bahwa hal tersebut bukan suatu yang wajib, atau dia telah menyampaikannya tapi tidak dinukil oleh para perawi.

Menurut saya, jawaban ketiga dapat dijadikan sandaran karena hal yang serupa juga ditemukan dalam riwayat Abu Farwah. Dalam riwayat itu disebutkan setelah perkataan, “Pakaiannya tidak berdebu” sampai kepada kalimat, “Kemudian di sudut karpet dia menyampaikan salam dengan berkata, “Assalamualaika ya Muhammad”, dan dijawab oleh Rasul. Kemudian dia berkata, “Bolehkah aku mendekat ya Muhammad?” “Mendekatlah!” jawab Rasul. Lalu dia mengatakan hal tersebut dan Nabi juga menjawab dengan jawaban yang sama.”

Hadits serupa terdapat dalam riwayat Atha’ dari Ibnu Umar hanya saja lafazhnya, “Assalamualaika ya Rasulullah.” Dalam riwayat Mathar Al Warraq dia berkata, “Ya Rasulullah, bolehkah aku mendekat kepadamu?” “Mendekatlah!” jawab Rasul. Pria itu mendekat tanpa memberikan salam terlebih dulu. Oleh karena itu, terdapat perbedaan riwayat apakah pria tersebut mengatakan, “Ya, Rasulullah” atau “Ya Muhammad”, dan apakah pria tersebut mengucapkan salam atau tidak.

Pendapat yang mengatakan bahwa pria itu mengucapkan salam adalah lebih kuat daripada yang mengatakan tidak. Al Qurthubi berpendapat bahwa pria itu tidak mengucapkan salam dan langsung berkata, “Wahai Muhammad,” maksudnya untuk menutupi jati dirinya dan berbuat seperti layaknya orang badui.

Menurut saya dengan menggabungkan kedua riwayat tersebut, yaitu bahwa pertama kali dia memanggil nama Muhammad lalu bertanya kepadanya dengan memanggil, “Wahai Rasulullah.” Al Qurthubi berpendapat bahwa perkataan pria tersebut berbunyi, “Assalamu alaika ya Muhammad.”

Hadits ini mengindikasikan disunahkan bagi orang yang masuk dalam suatu majelis untuk mengucapkan salam secara umum, setelah itu mengkhususkan siapa yang dituju. Saya menguatkan riwayat yang mengatakan, “Assalamu alaika ya Muhammad.” (Apakah Iman?). Ada yang berpendapat bahwa pertanyaan pertama tentang Iman, karena Iman adalah dasar atau pokok.

Pertanyaan kedua tentang Islam, karena Islam sebagai tanda keyakinan atas apa yang dinyatakan dan diyakininya. Pertanyaan ketiga tentang Ihsan, karena hal tersebut tergantung kepada Iman dan Islam. Dalam riwayat Umarah bin Qa’qa’ disebutkan bahwa pertanyaan pertama tentang Islam, karena berkaitan dengan perkara lahiriah; dan pertanyaan kedua tentang Iman, karena berkaitan dengan perkara batin.

Baca Juga:  Ilmu Gharib Hadits; Pengertian, Perkembangan dan Contoh dalam Periwayatannya

Pendapat ini dikuatkan oleh At-Thibi. Sebenarnya kisah hadits ini adalah satu, hanya saja para perawi berbeda dalam meriwayatkannya, dan dalam konteks kalimat tidak menunjukkan urutan sebagaimana yang disebutkan dalam hadits di atas. Terbukti dalam riwayat Mathar Al Warraq, hadits ini dimulai dengan Islam, Ihsan, lalu Iman. Adapun urutan pertama dan terakhir hanya dari perawi, wallahu A Jam.

قَالَ الْإِيمَانُ أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَبِلِقَائِهِ وَرُسُلِهِ وَتُؤْمِنَ بِالْبَعْثِ (Iman adalah beriman Iman adalah beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitabkitab-Nya, pertemuan dengan-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari kebangkitan). Jawaban tersebut membuktikan bahwa pria tersebut menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan iman, bukan tentang makna lafazhnya.

Jika tidak maka jawabannya adalah “Iman adalah keyakinan (At-Tashdiq)” Ath-Thibi berkata, “Pendapat ini sepertinya memberikan asumsi pengulangan, padahal tidak. Karena perkataan Rasul (beriman kepada Allah) mencakup pengakuan terhadap Allah.”

Menurut saya, pengulangan kata Iman, karena pentingnya hal itu supaya diperhatikan. Sebagaimana firman Allah, “Katakanlah, siapakah yang menghidupkan (tulang-belulang yang hancur), yaitu yang menciptakan pertama kali, ” sebagai jawaban dari pertanyaan, “Siapa yang menghidupkan tulang yang telah hancur.”

Beriman kepada malaikat berarti meyakini keberadaan mereka, sebagaimana firman Allah SWT bahwa mereka adalah hamba-Nya yang mulia. Kata malaikat disebutkan terlebih dahulu daripada kitab dan rasul.

Hal itu merujuk kepada kronologi kejadiannya, karena Allah mengutus malaikat dengan membawa kitab kepada para rasul-Nya. Iman kepada kitab Allah adalah keyakinan bahwa kitab tersebut adalah kaiamullah, dan apa yang terkandung di dalamnya adalah benar.

Dalam riwayat ini lafazh وَبِلِقَائِهِ, ditemukan diantara kata “Kutub” dan “KusuP’. Demikian pula dengan riwayat Muslim yang berasal dari dua jalur dan tidak ditemukan pada riwayat-riwayat lain. Ada pendapat yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan bangkit adalah bangkit dari kubur, sedangkan yang dimaksud dengan kata tUJ (bertemu) adalah setelah dibangkitkan.

Tetapi ada juga pendapat yang mengatakan bahwa “pertemuan” itu akan terjadi dengan berpindah dari dunia, sedangkan kebangkitan terjadi setelah itu. Pendapat tersebut berdasarkan riwayat Mathar Al Warraq, “Dengan kematian serta kebangkitan setelah kematian.” Demikian pula yang disebutkan dalam hadits Anas dan Ibnu Abbas.

Ada yang berpendapat bahwa maksud dari kata iiqaa’ (bertemu) adalah melihat Allah, pendapat ini disampaikan oleh Al Khaththabi. Akan tetapi dibantah oleh An-Nawawi dengan mengatakan bahwa seseorang tidak dapat begitu saja melihat Allah, karena hal tersebut dikhususkan bagi orang yang meninggal dalam keadaan beriman dan seseorang tidak mengetahui akhir dari hidupnya. Lalu bagaimana hal tersebut menjadi syarat keimanan? Jawabnya, karena hal itu benar-benar akan terjadi. Hal ini merupakan dalil kuat bagi Ahlu Sunnah bahwa melihat Allah pada hari akhir merupakan dasar keimanan.

وَرُسُلِهِ Menurut riwayat Al Ushaili lafazhnya adalah بِرُسُلِهِ Dalam hadits Anas dan Ibnu Abbas menggunakan lafazh وَالْمَلَائِكَة وَالْكِتَاب وَالنَّبِيِّينَ (dan para malaikat, kitab dan para nabi). Kedua teks tersebut terdapat dalam surah Al Baqarah.

Pengungkapan dengan kata “Nabiyiin” mencakup para rasul dan tidak sebaliknya. Keimanan kepada para rasul adalah keyakinan terhadap apa yang disampaikan mereka tentang Allah. Disebutkannya malaikat, kitab dan rasul secara global menunjukkan bahwa beriman terhadap mereka sudah cukup, kecuali ada hal yang dikhususkan. Urutan ini sesuai dengan ayat, “Rasul telah beriman kepada Al Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya” (Qs. Al Baqarah (2): 285)

Kata “Rasul” dalam ayat tersebut disebutkan di muka. Hal itu merupakan kebaikan dan rahmat dari Allah, dan termasuk salah satu rahmat yang paling besar adalah diturunkannya kitab-kitab-Nya kepada semua hamba-Nya. Yang menerimanya adalah para nabi, kemudian mediator diantara mereka adalah malaikat.

وَتُؤْمِنَ بِالْبَعْثِ (Beriman kepada hari kebangkitan). Dalam kitab tafsir ditambahkan kata “Hari akhir”. Dalam riwayat Muslim dari hadits Umar, wal yaumil aakhir (dan hari akhir). Sedangkan kata “Aakhir ” disebutkan sebagai penguat. Ada pendapat yang mengatakan, kata itu disebutkan karena kebangkitan itu terjadi dua kali. Pertama, keluar dari yang tidak ada kepada yang ada, yaitu dari perut ibu ke alam dunia. Kedua, bangkit dari dalam kubur ke tempat yang abadi.

Ada pendapat yang mengatakan bahwa dinamakan yaumul akhir, karena pada saat itu adalah akhir dari hari dunia dan masa yang ditentukan. Maksud beriman kepada hari akhir adalah percaya terhadap apa yang terjadi di hari akhir yang berupa hisab (perhitungan), penimbangan, surga dan neraka. Keempat hal tersebut secara terang-terangan disebutkan setelah kata “Al Ba’tsu” dalam riwayat Sulaiman At-Taimi dan hadits Ibnu Abbas.

Catatan

Al Ismaili dalam kitab Mustakhraj menambahkan kalimat, وَتُؤْمِن بِالْقَدَرِ (Dan beriman kepada qadar). Penambahan tersebut juga dapat dijumpai pada riwayat Abu Farwah dan pada riwayat Muslim dari Umarah bin Qa’qa’, bahkan dia menguatkannya dengan menggunakan kata كُلّه (Semuanya).

Dalam riwayat Kahmas, Sulaiman At-Taimi dan Ibnu Abbas berbunyi, وَتُؤْمِن بِالْقَدَرِ خَيْره وَشَرّه  (Dan beriman kepada qadar yang baik atau yang jelek). Kemudian ditambah dalam riwayat Atha’ dari Ibnu Umar dengan kalimat, وَحُلْوه وَمُرّه مِنْ اللَّه (Yang manis maupun yang pahit berasal dari Allah).

Hikmah pengulangan kata وَتُؤْمِنَ (dan beriman) ketika menyebutkan hari akhir, mengisyaratkan bahwa dia adalah jenis lain yang harus diimani karena hari kebangkitan akan ada pada masa yang akan datang, sedangkan apa yang disebutkan sebelumnya telah ada pada saat ini. Pengulangan tersebut adalah sebagai penekanan, karena banyak orang yang mengingkari akan hari kebangkitan tersebut, oleh sebab itulah Al Qur’an banyak mengulang kata tersebut.

Disebutkannya kata وَتُؤْمِنَ pada saat membahas tentang qadar, seakan-akan mengisyaratkan perbedaan pendapat dalam masalah tersebut. Oleh karena itu, dilakukan pengulangan untuk menarik perhatian. Kemudian disusul dengan kalimat penggantinya, خَيْره وَشَرّه وَحُلْوه وَمُرّه (baik, buruk, manis dan pahit), dan ditambah lagi keterangan dalam riwayat terakhir dengan kalimat مِنْ اللَّه (dari Allah).

Maksud Al Qadar adalah Allah SWT memiliki pengetahuan tentang nasib sesuatu dan zamannya sebelum terjadi, kemudian dengan ilmu-Nya sesuatu itu diwujudkan. Oleh karena itu semua yang baru berasal dari ilmu-Nya, kekuasaan-Nya dan kehendak-Nya. Inilah yang telah diketahui secara umum dalam agama berdasarkan dalil-dalil yang qath’i (pasti). Pendapat tersebut diambil oleh para ulama salaf dari golongan sahabat dan tabiin yang terpilih hingga munculnya fitnah qadar pada akhir zaman para sahabat.

Imam Muslim meriwayatkan cerita tentang kasus tersebut dari jalur Kahmas dari Abdul Buraidah dari Yahya bin Ya’mar, dia berkata, “Yang pertama kali berbicara tentang qadar di Bashrah adalah Ma’bad Al Juhani, kemudian pergilah aku bersama Humaid Al Humairi.” Kemudian diceritakan bahwa mereka mendatangi Abdullah bin Umar dan menayakan tentang hal tersebut, lalu Ibnu Umar menjawab bahwa dia tidak terlibat dengan orang yang mengatakan demikian, dan Allah tidak akan menerima orang yang tidak benar-benar percaya terhadap qadar.

Beberapa pengarang menceritakan, bahwa beberapa sekte dalam aliran Qadariyah mengingkari bahwa Allah mengetahui apa yang hendak dilakukan oleh hamba-Nya. Al Qurthubi dan lainnya berkata, “Aliran ini telah punah dan kami tidak pernah mengetahui seseorang dari golongan mutaakhirin yang dinisbatkan kepada aliran tersebut.” Kemudian dia melanjutkan, “Aliran Qadariyah pada saat ini mengakui bahwa Allah mengetahui apa yang hendak dilakukan hamba-Nya sebelum terjadi, hanya saja pertentangan mereka dengan golongan salaf terjadi akibat klaim mereka yang mengatakan bahwa perbuatan seorang hamba ditentukan oleh diri mereka sendiri.”

Walaupun aliran ini sesat akan tetapi kadarnya lebih rendah dari aliran sebelumnya. Sedangkan golongan mutaakhirin, mereka mengingkari adanya kaitan antara perbuatan hamba dengan kehendak Ilahi sebagai efek dari pengingkaran mereka terhadap kaitan antara yang baru dengan yang gadiim (abadi).

Mereka adalah kelompok yang dikatakan oleh Imam Syafi’i secara khusus, “Jika orang-orang Qadariyah menerima adanya ilmu Allah, maka mereka dapat dibantah.” Maksudnya mereka bertanya kepada beliau, “Dapatkah terjadi ketidaksesuaian antara ilmu Allah dengan apa yang terjadi dalam wujud ini?” Jika jawabannya tidak, maka jawaban tersebut sesuai dengan Ahlu Sunnah. Sedangkan jika jawabannya dapat, maka berarti telah menisbatkan kebodohan kepada Allah. Maha Suci Allah dari kebodohan.

Perhatian

Secara eksplisit, teks tersebut mengindikasikan bahwa iman seseorang tidak sempurna kecuali ia meyakini seluruh rukun Iman yang telah disebutkan. Sedangkan para fuqaha telah sepakat, bahwa seseorang dapat dikatakan beriman jika ia beriman kepada Allah dan rasul-Nya.

Hal tersebut dikarenakan maksud Iman kepada Rasulullah, adalah meyakini keberadaannya dan apa yang disampaikan dari Tuhannya. Oleh karena itu, semua yang disebutkan tercakup dalam keimanan tersebut.

أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ (Untuk menyembah Allah). An-Nawawi berkata, “Mungkin saja yang dimaksud dengan ibadah adalah mengetahui Allah (ma’rifatullah). Oleh karena itu, dianeksasikannya (athaj) shalat dan yang lain kepada Iman kepada Allah untuk dimasukkannya (selain Islam) ke dalam Islam. Mungkin juga yang dimaksud dengan ibadah adalah ketaatan secara mutlak, maka seluruh kewajiban sudah termasuk di dalamnya.

Berdasarkan ini maka pengathafan antara shalat dan yang lainnya masuk dalam kategori ‘Athaf Al Khas Ila Al ‘Aam” Saya berpendapat bahwa kemungkinan pertama sangat jauh kebenarannya, karena ma’rifah merupakan efek dari Iman sedangkan Islam adalah perbuatan lahir dan batin.

Dalam hadits Umar hal tersebut ditafsirkan sebagai berikut, “Engkau bersaksi Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah,” Hal ini menunjukkan, bahwa yang dimaksud dengan ibadah dalam hadits ini adalah mengucapkan syahadatain. Dengan demikian merupakan bantahan terhadap kemungkinan kedua.

Ketika perawi mengibaratkan ibadah, maka dia harus menjelaskannya dengan kalimat, “tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun” Kalimat tersebut tidak dibutuhkan dalam riwayat Umar, karena kata-kata yang ada di dalamnya telah mencakup hal tersebut.

Jika ada pertanyaan, “Pertanyaan tersebut bersifat umum karena dia bertanya tentang inti keislaman sedangkan jawaban yang diberikan bersifat khusus yaitu menyembah dan bersyahadat kepada Allah.

Demikian pula ketika ditanya tentang iman, maka jawabnya hendaknya kamu beriman; dan juga tentang ihsan, hendaknya kamu menyembah?” Jawabnya, permasalahan tersebut merupakan daerah pemisah antara mashdar (gerund) dengan kata أَنْ dan fi’il (kata kerja), karena kalimat أَنْ تَفْعَل; mengindikasikan istiqbaal (waktu yang akan datang) sedangkan mashdar tidak mengindikasikan waktu atau zaman. Hanya saja, beberapa perawi meriwayatkannya dengan menggunakan bentuk mashdar.

Dalam riwayat Utsman bin Ghayyats lafazhnya adalah, شَهَادَة أَنْ لَا إِلَه إِلَّا اللَّه  (Kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah) dan lafazh tersebut juga dapat ditemukan dalam hadits Anas. Hal ini bukan berarti bahwa dengan menggunakan pola tunggal (singular) dalam berbicara berfungsi untuk mengkhususkan pembahasan kepada hal tersebut, akan tetapi maksudnya adalah mengajarkan kepada pendengar tentang hukum agama yang masuk dalam kategori mukallaf. Hal tersebut telah diterangkan pada akhir hadits tersebut yaitu, “mengajarkan kepada manusia tentang agama-Nya.”

Apabila ada pertanyaan, “Mengapa haji tidak disebutkan?” Sebagian ulama menjawab, bahwa hal tersebut tidak masuk dalam kategori fardhu. Jawaban ini tidak dapat diterima berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Mandah dalam kitab Al Iman dengan sanadnya yang menggunakan syarat Muslim dari jalur Sulaiman At-Taimi pada awal hadits Umar, “Datanglah seorang pria pada akhir hayat Rasulullah” kemudian ia menyebutkan hadits tersebut.

Kemungkinan yang dimaksud dengan kalimat “Akhir umur Rasulullah” adalah setelah beliau menunaikan haji wada’, karena ibadah tersebut merupakan perjalanannya yang terakhir. Kemudian beliau wafat kurang dari 3 bulan setelah melaksanakannya, seakan-akan hadits tersebut datang setelah semua hukum diturunkan dan untuk menyatukan perkara-perkara agama yang terpisah-pisah dalam satu majelis agar lebih teratur.

Dari kasus tersebut dapat diambil kesimpulan, bahwa bertanya kepada orang alim tentang suatu perkara yang telah diketahui, dengan tujuan agar orang lain mengetahuinya adalah diperbolehkan. Sedangkan masalah haji telah disebutkan, hanya saja mungkin beberapa perawinya sengaja tidak menuliskan atau lupa menuliskannya.

Argumentasi atas pendapat tersebut adalah adanya polemik diantara mereka tentang disebutkannya sebagian amalan tanpa sebagian yang lain, bahkan dalam riwayat Kahmas dan dalam hadits Anas disebutkan, “Dan melaksanakan ibadah haji jika mampu.”

Dalam riwayat Atha’ Al Khurasani tidak disebutkan puasa, dan dalam hadits Amir yang disebutkan hanya shalat dan zakat, bahkan dalam hadits Ibnu Abbas yang disebutkan hanyalah syahadatain. Yang menyebutkan semuanya adalah riwayat Sulaiman At-Taimi, dan dia menambahkan setelah perkataan وَتَحُجّ dengan kalimat وَتَعْتَمِر وَتَغْتَسِل مِنْ الْجَنَابَة وَتُتَمِّم الْوُضُوء  (Berumrah dan mandi dari junub serta menyempurnakan wudhu).

Mathar Al Warraq berkata, وَتُقِيم الصَّلَاة وَتُؤْتِي الزَّكَاة (Mendirikan shalat dan menunaikan zakat), kemudian dia menyebutkan Islam saja. Dari apa yang kita sebutkan jelaslah bahwa sebagian perawi menyebutkan apa yang tidak disebutkan oleh perawi yang lain.

Baca Juga:  Bagaimana Hukum Mengamalkan Hadits Dhaif yang Masih Diragukan Sanadnya?

وَتُقِيم الصَّلَاة (Dan mendirikan shalat). Imam Muslim menambahkan kata الْمَكْتُوبَة (yang diwajibkan). Penggunaan tersebut hanya sebagai penghias dalam gaya bahasa. Hal tersebut karena beliau juga merangkai kata الزَّكَاة (yang diwajibkan). Juga karena beliau meniru gaya bahasa firman Allah, إِنَّ الصَّلَاة كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا “Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. “(Qs. An-Nisa'(4): 103)

وَتَصُوم رَمَضَان (Dan berpuasa pada bulan Ramadhan). Kalimat ini dijadikan sebagai dalil kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan, meskipun dalam kalimat itu tidak disebutkan bulannya. Ihsan di sini adalah ihsan dalam ibadah, sedangkan bentuk ihsan dalam ibadah adalah ikhlas, khusu’ dan berkonsentrasi penuh pada saat melaksanakannya, dan selalu dimonitor oleh Yang disembah.

Jawaban tersebut mengisyaratkan dua hal, yang paling tinggi diantara keduanya adalah ketika seseorang didominasi oleh Musyahadah Al Haq dengan batinnya sampai seakan-akan dia melihat-Nya dengan kedua matanya berdasarkan kalimat, “Seakan-akan kamu melihatnya”. Yang kedua untuk selalu diingat bahwa Allah selalu melihat setiap perbuatan yang dilakukan, ini yang dimaksud dengan kalimat, “Sesungguhnya Dia melihatmu”. Kedua hal ini melahirkan ma’rifatullah (pengetahuan tentang Allah) dan kekhusyuan.

Dalam riwayat Umarah bin Qa’qa’, juga dalam hadits Anas diriwayatkan dengan lafazh, أَنْ تَخْشَى اللَّه كَأَنَّك تَرَاهُ (Hendaklah kamu takut kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya). An-Nawawi berkata, “Artinya anda akan selalu menjaga etika jika merasa bahwa Dia selalu melihat anda dan anda selalu melihat-Nya.

Dalam kondisi Dia melihat anda, anda tidak dapat melihat-Nya; dan seseorang harus selalu memperbaiki ibadahnya karena Dia selalu melihat anda. Oleh karena itu, maka pengertian hadits tersebut adalah jika engkau tidak dapat melihatNya teruslah beribadah, karena Dia selalu melihatmu.”

Kemudian dia melanjutkan, “Pengertian ini adalah prinsip penting dalam prinsip-prinsip teologi Islam dan merupakan dasar yang sangat penting bagi kaum muslimin. Prinsip tersebut merupakan rangkuman dari seluruh perkataan Rasulullah.

Jika Ahlu Tahqiiq mensunahkan kita untuk menghadiri majelis para ulama karena hal itu dapat mencegah kita untuk melakukan sesuatu yang kurang sopan karena rasa hormat dan malu kita kepada mereka, lalu bagaimana dengan orang yang selalu merasakan kehadiran Allah pada segala perbuatannya baik yang tersembunyi maupun yang terangterangan? Prinsip ini telah dikomentari sebelumnya oleh Qadhi Iyadh dan insya Allah akan kita bahas lebih lanjut dalam tafsir Luqman.

Perhatian

Konteks hadits tersebut mengindikasikan bahwa melihat Allah di dunia dengan mata telanjang tidak mungkin terjadi. Sedangkan penglihatan Nabi, adalah karena adanya dalil yang menjelaskan tentang hal itu. Imam Muslim menerangkan hal tersebut dalam riwayatnya dari Abu Umamah, bahwa Rasulullah bersabda, “Kalian tidak akan melihat Tuhan kalian hingga kalian meninggal dunia.”

Beberapa orang sufi yang berlebihan menakwilkan hadits tersebut tanpa ilmu pengetahuan yang dapat dijadikan sandaran akan kebenarannya, mereka berkata, “Dalam hadits tersebut terdapat isyarat kepada maqam mahwi dan fana. Maka pengertiannya, jika kamu tidak dapat menjadi sesuatu dan kamu telah fana dari dirimu atau seakan-akan kamu tidak ada, maka pada saat itu kamu akan melihat-Nya.”

Pengertian seperti itu menunjukkan bahwa mereka tidak menguasai bahasa Arab. Takwil mereka dapat dibantah oleh riwayat Kahmas dan Sulaiman At-Taimi yang berbunyi, “Fainnaka In Laa Taraahu Fainnahu Yaraaka” (kalaupun kamu tidak melihatnya, maka Dia selalu melihatmu). Dalam riwayat Abu Farwah, “Jika engkau tidak melihat-Nya, maka Dia melihatmu,” dan yang serupa lafazhnya ditemukan dalam hadits Anas dan Ibnu Abbas. Semua ini membantah takwil tersebut. Wallahu ‘Alam.

Catatan

Imam Muslim menambahkan dalam riwayat Umarah bin Qa’qa’ dengan kata “Shadaqta” (engkau benar) setelah Nabi menyebutkan ketiga jawaban yang ditanyakan. Abu Farwah dalam riwayatnya menambahkan kalimat, “Ketika kami mendengar perkataan ‘Engkau benar’ dari orang tersebut, kami pun membantahnya.” Sedangkan riwayat Kahmas menyebutkan, “Maka kami pun terheran-heran dengan kelakuannya yang bertanya sekaligus membenarkan.”

Dalam riwayat Al Mathar, “Lihatlah kepadanya bagaimana ia bertanya dan membenarkan jawaban Rasul.” Dalam hadits Anas, “Lihatlah dia bertanya dan membenarkan seakan-akan dia yang lebih mengetahuinya.” Dalam riwayat Sulaiman Al Buraidah, “Orang-orang berkata, Kami tidak pernah melihat ada pria seperti ini, seakan-akan dia yang mengajari Rasulullah dan berkata kepadanya, “Engkau benar, engkau benar.”

Al Qurthubi berkata, “Mereka terheran-heran karena mereka tidak mengetahui siapa yang bertanya kecuali Nabi, dan penanya ini bukanlah orang yang biasa bertemu dengan Rasulullah dan mendengarkannya. Tetapi kemudian dia bertanya tentang sesuatu yang telah diketahuinya, karena setelah bertanya dia membenarkan jawaban Rasulullah. Oleh karena itu, para sahabat yang hadir menyaksikan kejadian itu merasa terheran-heran.”

Pertanyaan, kapankah hari kiamat? Maksudnya kapan hari kiamat akan terjadi? Hal ini telah dijelaskan dalam riwayat Umarah bin Qa’qa’. مَا الْمَسْئُولُ عَنْهَا (Bukanlah orang yang ditanya) huruf مَا dalam kalimat tersebut berfungsi sebagai nafyi (penafian).

Dalam riwayat Abu Farwah ditambahkan, “Kemudian Rasul menundukkan kepalanya dan tidak menjawabnya. Orang itu pun kembali bertanya dan tidak dijawab oleh Rasul hingga berulang tiga kali. Kemudian Rasul berkata, مَا الْمَسْئُولُ (bukanlah yang ditanya).”

بِأَعْلَمَ (lebih mengetahui). Huruf ba’ dalam kalimat tersebut berfungsi sebagai penguat penafian (Ta’kid nafyi). Meskipun pernyataan tersebut mengindikasikan adanya kesamaan dalam ilmu (mengetahui tentang hal yang ditanyakan), akan tetapi maksud persamaan di sini adalah hanya Allah yang mengetahui tentang apa yang ditanyakan oleh malaikat Jibril kepada Rasulullah, berdasarkan sabda beliau, “Lima perkara yang hanya diketahui oleh Allah.” Hal yang serupa akan ditemui pada akhir hadits ini,  مَا كُنْت بِأَعْلَم بِهِ مِنْ رَجُل مِنْكُمmaksudnya adalah, sama-sama tidak mengetahui (jawaban apa yang ditanyakan kepadanya). Dalam hadits Ibnu Abbas dikatakan, “Subhanaliah, lima perkara ghaib yang hanya diketahui oleh Allah” kemudian ia membacakan surah Luqman ayat 34.

An-Nawawi berkata, “Dapat disimpulkan dari hadits tersebut bahwa jika seorang alim yang tidak mengetahui apa yang ditanyakan kepadanya maka dia harus berterus-terang bahwa dia tidak mengetahui hal tersebut. Karena hal itu tidak menurunkan derajatnya, bahkan pengakuan tersebut menjadi tanda ketakwaannya.

Al Qurthubi berkata, “Maksud dari pertanyaan ini adalah agar orang-orang tidak menanyakan tentang hal tersebut, karena mereka sering bertanya tentang hal itu seperti yang diceritakan dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah. Ketika keluar jawaban atas persoalan tersebut, maka timbul keputusasaan untuk mengetahuinya lebih lanjut.

Berbeda dengan pertanyaan sebelumnya yang bermaksud memancing jawaban untuk mengajari orang yang mendengar dan memperingatkan mereka dengan pertanyaan ini secara detail mana yang dapat mereka ketahui dan mana yang tidak.”

مِنْ السَّائِلِ (Daripada yang bertanya). Rasulullah mengubah kalimat “Aku tidak lebih mengetahui daripada engkau” dengan kalimat yang lebih umum, untuk memberi isyarat kepada para sahabat yang mendengarkan pada waktu itu, artinya yang bertanya dan yang ditanya sama (tidak mengetahui) dalam hal ini.

Tanya jawab ini juga terjadi antara Isa bin Maryam dengan Jibril, hanya saja pada saat itu yang bertanya adalah Isa dan yang menjawab Jibril. Al Humaidi berkata dalam kitab Nawadir, “Sufyan telah menceritakan kepada kami, Malik bin Mughawil dari Ismail bin Raja’ dari Syu’bi, dia berkata, “Isa bin maryam bertanya kepada Jibril tentang hari kiamat, maka berkatalah Jibril, “Yang ditanya tidak lebih mengetahui dari yang bertanya.”

وَسَأُخْبِرُكَ عَنْ أَشْرَاطِهَا (Akan kuberitahukan kepadamu tandatandanya). Dalam riwayat Abu Farwah disebutkan, “Akan tetapi hari tersebut memiliki tanda-tanda yang dapat diketahui dari tanda-tanda tersebut.” dan dalam riwayat Kahmas, “Kemudian orang tersebut berkata, “Jika demikian beritaku aku tanda-tandanya, kemudian dia memberitahukan kepadanya sehingga kamu menjadi ragu-ragu” Apakah munculnya keraguan tersebut karena disebutkan tanda-tanda (hari kiamat) atau penanya bertanya tentang tanda-tanda tersebut? Kedua riwayat tersebut dapat disatukan bahwa hadits tersebut dimulai dengan kalimat “Fa akhbartuka” (aku beritahukan kepadamu) kemudian si penanya pun berkata, “Jika demikian maka beritahu aku.”

Yang memperkuat pendapat tersebut adalah riwayat Sulaiman AtTaimi yang berbunyi, “…akan tetapi jika engkau mau akan kuberitahukan kepadamu tanda-tandanya.” Orang tersebut menjawab, “Ya…. ” Kalimat yang sama dapat ditemukan pada hadits Ibnu Abbas dengan penambahan kalimat, “HaddatsanF (telah menceritakan kepadaku).

Penjelasan secara mendetail tentang tanda-tanda hari kiamat tersebut dapat ditemukan dalam riwayat lain. Al Qurthubi berkata, “Tanda-tanda kiamat terbagi menjadi dua, yaitu tanda-tanda sudah biasa terjadi dan tanda-tanda yang tidak biasa terjadi. Adapun tanda-tanda yang disebutkan termasuk tanda-tanda yang pertama, sedangkan yang termasuk dalam kelompok kedua seperti munculnya matahari dari arah barat. Wallahu A’lam.

إِذَا وَلَدَتْ (Jika melahirkan). Penggunaan kata “idza” dalam kalimat tersebut berfungsi untuk menunjukkan bahwa peristiwa tersebut pasti akan terjadi. Kalimat ini merupakan keterangan tanda-tanda tersebut apabila dilihat dari segi maknanya.

إِذَا وَلَدَتْ الْأَمَةُ رَبَّهَا (Apabila budak melahirkan tuannya). Dalam tafsir diriwayatkan dengan “Rabbataha”, begitu pula dalam hadits Umar dan Muhammad bin Bisyr. Kemudian ditambah dengan “Ya ‘ni As-Sarari.”

Dalam riwayat Umarah bin Qa’qa’disebutkan, “Apabila kamu melihat perempuan melahirkan tuannya.” Lafazh yang serupa ditemukan dalam riwayat Abu Farwah dan riwayat Utsman bin Ghayyats, “Budak perempuan (melahirkan) tuan-tuan mereka” dengan menggunakan pola plural.

Arti dari kata “Ar-Rabb” adalah tuan. Para ulama, baik sekarang ataupun dahulu telah berbeda pendapat tentang hal tersebut, bahkan perbedaan tersebut mencapai 7 pendapat menurut Ibnu At-Tin. Akan tetapi saya meringkasnya menjadi 4 pendapat. Pertama, adalah apa yang dikatakan oleh Khaththabi, yaitu makin meluasnya negara Islam dan ditaklukkannya negara-negara musyrik kemudian menahan tawanan mereka, sehingga para tuan memiliki budak perempuan yang melahirkan anaknya.

Maka anak yang berasal dari budak itu sama dengan posisi tuannya, karena dia adalah anak tuannya. Kemudian An-Nawawi dan yang lainnya berpendapat, “Pendapat tersebut merupakan pendapat mayoritas.” Saya berpendapat untuk menjadikan pendapat tersebut sebagai interpretasi maksud dari hadits harus diteliti terlebih dahulu, karena penguasaan hamba sahaya telah ada pada saat hadits ini dikeluarkan.

Bahkan penaklukan negara-negara musyrik dan penahanan tawanan perang banyak terjadi pada masa permulaan Islam. Konteks kalimat tersebut mengindikasikan, bahwa peristiwa yang akan terjadi pada saat hari kiamat sudah dekat.

Waqi’ dalam riwayat Ibnu Majah telah menafsirkannya lebih khusus dengan mengatakan, “Orang asing (ajam) akan melahirkan orang Arab.” Sebagian dari mereka berpendapat bahwa budak-budak perempuan tersebut melahirkan tuan atau raja dan seorang ibu menjadi bagian dari rakyat, sedangkan raja adalah pemimpin rakyatnya. Inilah pendapat Ibrahim Al Harbi. Kemudian dia berusaha mendekatkannya dengan fakta bahwa para pemimpin pada masa permulaan Islam enggan untuk menggauli para budak perempuannya, bahkan mereka bersaing untuk mendapatkan wanita yang merdeka. Hanya saja kondisi tersebut berbalik hingga pada masa bani Abbasiyah. Riwayat yang menggunakan ta’ ta ‘nits (rabbataha) tidak dapat menguatkan pendapat tersebut.

Sebagian yang lain berpendapat, bahwa penggunaan kata رَبَّتهَا (tuan) untuk menunjukkan anaknya adalah merupakan bentuk majaz (kiasan), karena ketika bayi itu menjadi sebab merdekanya budak tersebut akibat ditinggal mati bapaknya, maka pembatasan seperti itu diperbolehkan.

Kemudian sebagian yang lain lebih mengkhususkannya, bahwa perbudakan jika meluas dapat menjadikan anak sebagai budak. Kemudian ia dibebaskan pada saat dewasa dan menjadi tuan atau pemimpin lalu dia memperbudak ibunya dengan cara membelinya karena dia telah mengetahui hal tersebut atau tidak mengetahui. Selanjutnya dia menjadikan wanita tersebut sebagai budaknya dan menyetubuhinya, atau dia memerdekakan dan mengawininya.

Pada beberapa riwayat ditemukan, “budak perempuan akan melahirkan suaminya.” Salah saru dari riwayat tersebut adalah riwayat Imam Muslim. Ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan suami dalam riwayat tersebut adalah tuannya, dan pendapat ini yang lebih sesuai dengan riwayat yang ada.

Kedua, para tuan tersebut menjual para budak perempuan (ibu dan anak) mereka. Karena terlalu banyaknya, sehingga dia tidak tahu bahwa yang membelinya adalah anaknya. Berdasarkan penafsiran ini, yang dimaksudkan dengan tanda-tanda hari kiamat adalah mendominasinya sikap meremehkan hukum syariat.

Jika ada yang berpendapat bahwa dalam masalah ini ada perbedaan sehingga tidak dapat dipahami seperti di atas, karena tidak ada kebodohan dan kehinaan bagi orang yang membolehkannya. Menurut kita masalah tersebut masih dapat dipahami sesuai dengan apa yang disepakati oleh konsensus ulama, seperti haram menjualnya pada saat hamil.

Ketiga, mengikuti model yang sebelumnya. An-Nawawi berkata, “Hadits tersebut tidak dikhususkan kepada anak yang membeli ibunya, akan tetapi hadits tersebut memiliki gambaran lain, yaitu seorang budak melahirkan seorang anak dari orang yang merdeka dengan watha’ syubhah (hubungan yang tidak jelas) atau dengan sesama budak baik dengan nikah maupun zina. Kemudian budak tersebut diperjualbelikan dan terus berputar kepemilikannya sampai akhirnya dia dibeli oleh anaknya.”

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 105-107 – Kitab Ilmu

Muhammad bin Bisyr tidak menyetujui pendapat ini, karena menurutnya pengkhususan tersebut tidak mempunyai dasar yang kuat.

Keempat, adalah karena banyaknya kedurhakaan terhadap orang tua hingga sang anak memperlakukan orang tuanya seperti budak dengan memaki, memukul dan mempekerjakannya. Sehingga kata “tuannya” diqiyaskan kepada anak tersebut atas perlakuannya terhadap orang tua. Atau bisa jadi yang dimaksud dengan kata “Ar-Rab” adalah pengawas, maka maknanya menjadi hakikat bukan kiasan.

Inilah pendapat-pendapat mengenai kasus tersebut. Menurut saya, berdasarkan keumumannya hadits tersebut menunjukkan ke kondisi kerusakan pada masa yang tidak diketahui. Intinya isyarat tersebut menunjukkan dekatnya hari kiamat dimana semuanya menjadi berbalik, yaitu yang seharusnya diawasi menjadi yang mengawasi dan yang buruk menjadi yang terhormat.

Perhatian

Pertama, An-Nawawi berkata, “Hadits ini tidak dapat dijadikan dalil untuk melarang atau membolehkan menjual budak yang menjadi ibu, maka orang yang mempergunakannya sebagai argumen pada salah satu dari dua kasus di atas adalah salah. Hal tersebut dikarenakan jika sesuatu dijadikan sebagai tanda untuk sesuatu yang lain, maka sesuatu itu tidak menunjukkan kepada pembolehan atau pelarangan.

Kedua, apa yang disebutkan dalam hadits ini yaitu mengartikan kata “Ar-Rab” dengan kata “As-Sayid” (tuan) dapat digabungkan dengan apa yang ada dalam hadits lain yang terdapat dalam kitab Shahih, yaitu:

لَا يَقُلْ أَحَدكُمْ أَطْعِمْ رَبّك ، وَضِّئْ رَبّك ، اِسْقِ رَبّك ، وَلْيَقُلْ سَيِّدِي وَمَوْلَايَ

تَطَاوَلَ artinya bangga dalam meninggikan dan memperbanyak bangunan.

رُعَاةُ الْإِبِلِ (Penggembala unta). Ada yang berpendapat bahwa kata “Al Buhmu” berarti warna yang tidak disukai oleh mereka, karena warna yang disukai mereka adalah warna kemerah-merahan yang dipakai sebagai kiasan dalam kalimat, خَيْر مِنْ حُمْر النَّعَم. Disifatinya gembala unta dengan kata, “Al Buhmu”, karena mereka tidak memiliki nasab yang jelas.

Al Qurthubi berkata, “Interpretasi yang paling baik adalah kata tersebut bermakna bahwa mereka berkulit hitam, karena warna tersebut mendominasi kulit mereka. Ada juga yang berpendapat bahwa makna kata itu adalah mereka tidak memiliki sesuatu seperti sabda Rasulullah saw, يُحْشَر النَّاس حُفَاة عُرَاة بُهْمًا

Al Qurthubi berpendapat bahwa ada yang harus diperhatikan dalam interpretasi di atas karena unta-unta telah dinisbatkan kepada mereka, lalu bagaimana mereka tidak memiliki apa-apa? Menurut saya, penisbatan tersebut dapat diartikan sebagai penggabungan (aneksasi) yang menunjukkan kekhususan, bukan kepemilikan. Kondisi yang biasa terjadi yaitu seorang penggembala menggembalakan hewan milik orang lain dengan menerima upah, jarang sekali yang memiliki ternak turun tangan menggembalakan miliknya.

Perkataan Iman Bukhari dalam kitab tafsir الْحُفَاة الْعُرَاة, ditambahkan oleh Ismaili dalam riwayatnya dengan الصُّمّ الْبُكْم (Tuh dan bisu). Ada yang berpendapat bahwa hal tersebut menunjukkan kebodohan yang sangat, artinya mereka tidak mempergunakan pendengaran dan penglihatan mereka untuk urusan agama walaupun panca indera mereka sehat.

رُءُوس النَّاس para penguasa dunia. Pengertian tersebut disebutkan oleh Ismaili dan juga dalam riwayat Abi Farwah. Maksudnya orang-orang Badui seperti yang diterangkan dalam riwayat Sulaiman At Taimi dan yang lainnya.

Ada yang bertanya apa artinya الْحُفَاة الْعُرَاة ? Dalam riwayat AthThabrani dari jalur Abi Hamzah dari Ibnu Abbas, مِنْ اِنْقِلَاب الدِّين تَفَصُّح النَّبَط وَاِتِّخَاذهمْ الْقُصُور فِي الْأَمْصَار berkata, “Maksudnya adalah berubahnya kondisi, yaitu orang-orang badui menguasai negeri-negeri dengan kekerasan sehingga harta mereka bertambah banyak. Kemudian perhatian mereka bergeser kepada pembangunan istana dan mereka membanggakannya, hal tersebut telah kita saksikan pada saat ini.”

Pendapat ini dikuatkan oleh hadits lain yang berbunyi, “Tidak akan datang hari kiamat hingga orang yang paling bahagia di dunia menjadi orang yang paling hina” dan hadits lain, “jika suatu perkara diserahkan kepada yang bukan ahlinya maka tunggu saja waktu (kehancuran) nya. ” Kedua hadits tersebut ada dalam kitab Shahih.

فِي خَمْسٍ (Dala m lima perkara) artinya pengetahuan tentang waktu kiamat masuk dalam lima perkara. Penghapusan kaitan huruf jar diperbolehkan sebagaimana firman Allah, فِي تِسْع آيَات pergilah kepada fir’aun dengan salah satu bukti dari sembilan bukti yang ada.

Dalam riwayat Atha’ Al Khurasani disebutkan, “Dia bertanya, ‘Kapankah kiamat terjadi?’ Rasul pun menjawab, “Perkara itu termasuk dalam 5 perkara ghaib yang hanya diketahui oleh Allah. “Al Qurthubi berkata, “Dengan adanya hadits ini tidak seorang pun yang berambisi untuk mengetahui 5 perkara ghaib.”

Rasulullah telah menafsirkan firman Allah, وَعِنْده مَفَاتِح الْغَيْب لَا يَعْلَمهَا إِلَّا هُوَ dengan lima perkara yang terdapat dalam kitab Shahih ini. Dia berkata, “Barangsiapa yang mengklaim mengetahui sesuatu dari 5 perkara tersebut tanpa menyandarkannya kepada Rasulullah, maka ia telah berdusta. Sedangkan dugaan akan perkara ghaib yang menyangkut hal-hal biasa, bisa saja didapat dari para peramal atau yang lainnya, dan dugaan tersebut tidak masuk dalam kategori mengetahui sebagaimana dalam firman Allah tersebut.

Ibnu Abdul Barr telah menukilkan ijma’ ulama tentang larangan mengambil upah, hadiah dan memberikan sesuatu untuk hal tersebut. Dalam riwayat dari Ibnu Mas’ud disebutkan, “Seluruh ilmu diberikan kepada Rasulullah SAW kecuali 5 perkara ini.”

Dari Ibnu Umar secara marfu’ diriwayatkan pula oleh Ahmad, Humaid bin Zanjawiyah dari beberapa sahabat, bahwa Rasulullah diberitahukan tentang waktu sebelum terjadinya gerhana, kemudian Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya perkara ghaib itu ada lima, kemudian beliau membacakan ayat tersebut perkara ghaib selain itu dapat diketahui oleh suatu golongan dan tidak diketahui oleh golongan yang lain. “

Jawaban di atas melebihi apa yang ditanyakan, hal itu agar umat memperhatikannya dan menjadi petunjuk bahwa mengetahui hal tersebut dapat mendatangkan manfaat. Jika ada yang mengatakan, “

Dalam ayat tersebut tidak ditemukan adatul hashr (kalimat yang menunjukkan pengkhususan atau pembatasan) seperti dalam hadits,” maka Ath-Thibi berkata, bahwa suatu perbuatan yang mengindikasikan perkara yang sangat penting, maka kita dapat memahami adanya pembatasan (hashr) secara kinayah (kiasan).

Apalagi jika kita memperhatikan sebab turunnya ayat tersebut, yaitu bangsa Arab mengaku mengetahui turunnya hujan, sehingga ayat tersebut turun menjelaskan bahwa mereka tidak mengetahui hal itu dan hanya Allah yang mengetahuinya.

الْآيَةَ maksudnya Rasulullah membaca ayat tersebut hingga akhir surah. Hal tersebut secara jelas disebutkan oleh Ismaili, begitu pula dalam riwayat Umarah. Sedangkan dalam riwayat Muslim sampai kepada firman-Nya, خَبِير (Maha Mengetahui), begitu pula dalam riwayat Abi Farwah. Sedangkan apa yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab tafsir hingga firman-Nya, الْأَرْحَام ringkasan dari beberapa perawi, dan konteks hadits menunjukkan bahwa Rasulullah membaca seluruh ayat tersebut.

ثُمَّ أَدْبَرَ فَقَالَ : رُدُّوهُ (Kemudian Nabi berbalik dan berkata, “Panggil kembali orang tersebut. “). Dalam kitab tafsir ditambahkan, “Merekapun memanggilnya kembali dan tidak melihat sesuatu.” Dalam hadits tersebut terdapat dalil bahwa malaikat dapat menyerupai seseorang selain Rasulullah yang dapat dilihat dan berbicara di hadapannya dan Rasul mendengarnya. Dalam riwayat Imran bin Hushain dijelaskan, bahwa Nabi mendengar perkataan malaikat. Wallahu a’lam.

جَاءَ يُعَلِّم النَّاس (Datang untuk mengajarkan kepada manusia). Dalam kitab tafsir disebutkan ?—liJj, begitupula dalam riwayat Ismaili dan Umarah, “Dia ingin agar kalian mengetahui walaupun kalian tidak bertanya.” Dalam riwayat Abi Farwah, “Demi Yang mengutus Muhammad dengan kebenaran! Hanya aku yang paling mengetahui siapa orang itu, dia adalah Jibril.”

Dalam hadits Abu Amir, “Kemudian dia pergi. Ketika kami tidak melihat jejaknya bersabdalah Rasulullah, “Subhanallah, ini Jibril yang datang mengajarkan kepada manusia agama-Nya. Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, tak sekalipun dia datang kecuali aku mengetahuinya kecuali pada saat ini.”

Dalam riwayat At-Taimi disebutkan, “Kemudian pria tersebut bangkit dan pergi. Lalu Rasulullah berkata, ‘Panggil pria tersebuti’ Kemudian kami mengejar tapi kami tidak mendapatkannya. Rasulullah pun bersabda, “Tahukah kalian siapa orang tersebut, dia adalah Jibril yang datang mengajarkan agama kalian, ambillah darinya. Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, tak pernah dia menyerupai orang sebelum ini, dan aku tidak mengetahuinya sampai dia pergi.”

Ibnu Hibban mengatakan, bahwa hanya Sulaiman At-Taimi yang meriwayatkan kalimat “ambil darinya.” Menurut saya, dia adalah salah seorang yang paling tsiaah (terpercaya). Dalam sabdanya “Datang mengajarkan manusia agama-Nya”, mengisyaratkan bahwa dinisbatkannya pengajaran kepada Jibril merupakan bentuk majaz, karena dia merupakan sebab dalam jawaban itu. Untuk itu, Rasulullah menyuruh untuk mengambil darinya.

Riwayat-riwayat ini sepakat bahwa Rasulullah memberitahu para sahabat tentang hal ini setelah mereka mengejar dan tidak mendapatkannya. Sedangkan hadits Umar dalam riwayat Muslim dari Kahmas, “Kemudian dia pergi. ” Umar berkata, “Aku tetap berada di tempat. ” Rasulullah bersabda kepadaku, “Wahai Umar, tahukah engkau siapa yang bertanya? Aku menjawab, “Allah dan rasul-Nya lebih mengetahui. Rasul pun bersabda, ‘Dia adalah Jibril. “

Beberapa pensyarah hadits menggabungkan kedua riwayat tersebut dengan mengatakan bahwa perkataan, “Aku tetap berada di tempat” alias beberapa waktu setelah kepergiannya, seakan-akan Rasulullah menerangkan hal tersebut kepadanya beberapa waktu setelah orang tersebut pergi, hanya saja dia tetap berada di majelis tersebut. Akan tetapi penggabungan tersebut bertentangan dengan perkataannya dalam hadits An-Nasa’i dan Tirmidzi, “Aku diam 3 saat.”

Akan tetapi sebagian ahli hadits berpendapat adanya kesalahan dalam penulisan kata ثَلَاثًا, karena kata tersebut ditulis tanpa alif. Klaim tersebut dibantah karena dalam riwayat Abi Awanah disebutkan, بَعْد ثَلَاث “Kemudian kami mendiamkannya beberapa malam dan Rasulullah mendatangi kami pada malam ketiganya.” Dalam riwayat Ibnu Hibban بَعْد ثَالِثَة, sedangkan menurut Ibnu Manduh بَعْد ثَلَاثَة أَيَّام

An-Nawawi menyatukan 2 hadits tersebut dengan mengatakan bahwa Umar tidak hadir pada waktu Rasulullah berbicara dalam majelis. Akan tetapi dia termasuk kelompok yang mengejar orang tersebut dan tidak kembali lagi.

Kemudian Rasulullah memberitahukan kepada yang hadir saat itu dan Umar tidak memastikan berita tersebut kecuali setelah 3 hari berdasarkan perkataannya, “Kemudian beliau menemuiku” dan perkataannya, “Kemudian Rasulullah berkata kepadaku, wahai Umar” hanya ditujukan kepadanya secara khusus, berlawanan dengan khabar yang pertama. Ini adalah penggabungan yang baik.

Catatan

Pertama, riwayat-riwayat tersebut menunjukkan bahwa Rasulullah SAW tidak mengetahui bahwa yang ada di hadapannya adalah Jibril sampai terakhir. Jibril mendatangi mereka dalam bentuk seorang laki-laki yang berperawakan gagah dan tidak dikenal oleh mereka. Kemudian yang ditemukan dalam hadits Nasa’i dari jalur Abi Farwah pada akhir haditsnya menyebutkan, “Dia adalah Jibril yang turun dalam rupa Dihyah Al Kalbi.”

Ungkapan “Dalam rupa Dihyah Al Kalbi” mengandung ketidakjelasan, karena Dihyah Al Kalbi adalah orang yang mereka kenal, sedangkan Umar berkata, “Tidak seorang pun yang mengetahuinya.” Muhammd bin Nasar Al Marwazi meriwayatkan dalam kitabnya Al Iman melalui jalur yang sama dengan riwayat An-Nasa’i, dimana pada akhir hadits disebutkan, “Dia adalah Jibril yang datang mengajarkan agamamu.” Riwayat inilah yang dapat dijadikan pegangan karena sesuai dengan riwayat yang lain.

Kedua, Ibnu Munir berkata bahwa dalam sabda Rasul, “Mengajarkan kepada kalian agama kalian” merupakan dalil bahwa pertanyaan yang baik dapat dinamakan ilmu dan pengajaran, karena yang keluar dari Jibril hanyalah pertanyaan, meskipun demikian dia disebut sebagai pengajar. Hal itu sebagaimana pepatah masyhur mengatakan, “Pertanyaan yang baik adalah setengah dari ilmu,” Pepatah tersebut dapat diterapkan dalam hadits ini, dimana kita dapat mengambil faidahnya dari tanya jawab (antara Jibril dan Nabi).

Ketiga, Al Qurthubi berkata, “Hadits ini dapat disebut sebagai ummu sunnah (induk sunnah) karena mengandung ilmu sunnah secara global.” Ath-Thibi berkata, “Berdasarkan hal inilah maka Al Baghawi mengawali kitabnya Al Mashabih dan Syarh As-Sunnah dengan hadits tersebut, sebagaimana Al Qur’an dimulai dengan Al Faatihah karena surah tersebut mengandung ilmu Al Qur’an secara global.”

Qadhi Iyadh berkata, “Seluruh hadits ini mencakup seluruh kewajiban ibadah secara lahir dan batin mulai dari iman, waktu, harta, perbuatan anggota tubuh, ikhlas dan konsisten untuk melaksanakan amalan sampai-sampai seluruh ilmu syariat merujuk kepadanya dan menjadi cabangnya.

Menurut saya, dengan ini saya telah puas membahasnya, karena apa yang saya sebutkan walaupun banyak akan tetapi masih sedikit jika dibandingkan dengan apa yang dikandung oleh hadits tersebut, oleh karena itu saya tidak menentang metode peringkasan.

قَالَ أَبُو عَبْد اللَّهِ (Abu Abdullah berkata). Yang dimaksud adalah Imam Bukhari yang menyatakan “Semua itu merupakan sebagian dari Iman”, yaitu Iman yang sempurna yang mencakup seluruh perkara ini.

M Resky S