Hadits Shahih Al-Bukhari No. 600 – Kitab Adzan

Pecihitam.org – Hadits Shahih Al-Bukhari No. 600 – Kitab Adzan ini, Imam Bukhari memulai hadis ini dengan judul “Bab Perkataan Seseorang, ‘Tidak Tergesa-Gesa Menuju Shalat dan Hendaklah Perlahan-lahan serta Tenang ” Hadis dari Abu Hurairah ini menjelaskan larangan Nabi saw untuk tidak tergesa-gesa menuju shalat. Keterangan hadist dikutip dan diterjemahkan dari Kitab Fathul Bari Jilid 4 Kitab Adzan. Halaman 113-120.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

حَدَّثَنَا آدَمُ قَالَ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ قَالَ حَدَّثَنَا الزُّهْرِيُّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا سَمِعْتُمْ الْإِقَامَةَ فَامْشُوا إِلَى الصَّلَاةِ وَعَلَيْكُمْ بِالسَّكِينَةِ وَالْوَقَارِ وَلَا تُسْرِعُوا فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [Adam] berkata, telah menceritakan kepada kami [Ibnu Abu Dzi’b] berkata, telah menceritakan kepada kami dari [Az Zuhri] dari [Sa’id bin Al Musayyab] dari [Abu Hurairah] dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan dari [Az Zuhri] dari [Abu Salamah] dari [Abu Hurairah] dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jika kalian mendengar iqamat dikumandangkan, maka berjalanlah menuju shalat dan hendaklah kalian berjalan dengan tenang berwibawa dan jangan tergesa-gesa. Apa yang kalian dapatkan dari shalat maka ikutilah, dan apa yang kalian tertinggal maka sempurnakanlah.”

Keterangan Hadis: (Bab tidak tidak tergesa-gesa menuju shalat … dan seterusnya) Judul bab ini tidak disebutkan dalam riwayat Al Ashili dan riwayat Abu Dzar dari selain As-Sarakhsi. Namun keberadaannya lebih tepat karena adanya lafazh “Abu Qatadah meriwayatkannya”, karena kata ganti “nya” kembali kepada apa yang disebutkan pada judul bab. Kalau bukan demikian, niscaya kata ganti tersebut akan kembali kepada matan (materi) hadits yang akan disebutkan sesudahnya. Dengan demikian, penyebutan Abu Qatadah merupakan pengulangan yang tidak berfaidah, sebab hadits Abu Qatadah telah dinukil pula oleh Imam Bukhari.

إِذَا سَمِعْتُمْ الْإِقَامَة (apabila kalian mendengar qamat) Hal ini lebih spesifik daripada perkataannya dalam hadits Abu Qatadah, إِذَا أَتَيْتُمْ الصَّلَاة (Apabila kalian mendatangi shalat). Secara lahiriah hal ini termasuk mafhum muwafaqah, sebab orang yang terburu-buru ketika qamat dikumandangkan, maka ia berharap mendapatkan keutamaan takbir pertama atau yang sepertinya, namun ia tetap dilarang untuk terburu-buru. Maka orang yang tidak dalam keadaan demikian, yakni mereka yang datang sebelum qamat tidak perlu tergesa-gesa, sebab sudah tentu ia akan mendapatkan shalat seluruhnya, sehingga lebih pantas lagi baginya dilarang untuk tidak tergesa-gesa.

Salah seorang ulama telah menganalisa makna lain dari hadits tersebut, dia berkata, “Hikmah dikaitkannya larangan tergesa-gesa dengan mendengar qamat adalah, bahwa orang yang tergesa-gesa menuju shalat bila shalat telah ditegakkan, niscaya ia akan sampai ke tempat shalat dengan nafas terengah-engah. Lalu ia membaca bacaan shalat dalam kondisi demikian, maka dia tidak akan khusyuk dalam menjalankannya. Berbeda dengan orang yang datang sebelum itu.”

Namun hal itu berarti bahwa datang menuju shalat sebelum qamat dengan tergesa-gesa bukanlah termasuk hal yang tidak disukai (tidak makruh). Hal ini bertentangan dengan sabda beliau SAW yang secara tegas menyatakan, “Apabila kalian mendatangi shalaf’ yang mencakup pula mereka yang datang sebelum qamat. Hanya saja pada hadits kedua dikaitkan dengan “mendengar qamat”, karena hal inilah yang umumnya memotivasi seseorang untuk tergesa-gesa.

Catatan: Hikmah larangan tergesa-gesa dapat kita peroleh dari lafazh tambahan yang diriwayatkan oleh Imam Muslim melalui jalur Al Alla’ dari bapaknya, dari Abu Hurairah. Lalu dia menyebutkan seperti hadits di bab ini, dan menyebutkan di bagian akhirnya, “Karena sesungguhnya salah seorang di antara kamu apabila sengaja mendatangi shalat, maka sesungguhnya ia berada dalam shalat”. Yakni sama hukumnya dengan orang yang shalat. Oleh karena itu, selayaknya bagi dia untuk melakukan dan menjauhi apa yang harus dilakukan dan dijauhi oleh orang yang shalat.

Baca Juga:  Macam-macam Hadis Dhaif Menurut Para Ulama Hadis, Bagian 2

وَالْوَقَار (dan tenang) Al Qadhi lyadh dan Al Qurthubi berkata, “Makna “waqar” sama dengan ‘sakinah’, dan disebutkannya di sini hanyalah sebagai penegas.” Sementara An-Nawawi berkata, “Secara lahiriah ada perbedaan di antara keduanya. Karena ‘sakinah’ adalah bersikap pelan dalam gerakan serta menjauhi hal-hal yang tidak berguna, sedangkan ‘waqar’ berlaku dalam penampilan, seperti menjaga pandangan mata, merendahkan suara dan tidak menoleh.”

وَلَا تُسْرِعُوا (dan janganlah terburu-buru) Di sini terdapat tambahan penegasan. Dari sini diperoleh bantahan terhadap mereka yang menakwilkan lafazh hadits Abu Qatadah, “Jangan kalian lakukan”, yakni ketergesaan yang mengakibatkan hilangnya sifat tenang. Adapun ketergesaan yang tidak menghilangkan sifat tersebut, seperti seseorang yang khawatir tidak mendapatkan takbir pertama, maka tidak terlarang. Pandangan demikian diriwayatkan dari Ishaq bin Rahawaih. Telah disebutkan riwayat Al Alla’ yang di dalamnya terdapat lafazh, “Maka ia berada dalam shalat.”

Imam Nawawi berkata, “Dalam riwayat ini ditegaskan, apabila seseorang tidak mendapatkan shalat sedikitpun, sesungguhnya ia telah memperoleh apa yang menjadi tujuannya, karena ia berada dalam shalat. Sikap tidak tergesa-gesa juga menghasilkan langkah yang banyak dan ini merupakan makna tersendiri yang hendak dicapai.” Sejumlah hadits menyebutkan masalah tersebut, misalnya hadits Jabir yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, أَنَّ بِكُلِّ خُطْوَة دَرَجَةً (Sesungguhnya bagi setiap langkah satu derajat). Dalam riwayat Abu Daud melalui jalur Sa’id bin Al Musayyab, dari seorang laki-laki di kalangan Anshar, dari Nabi SAW, إِذَا تَوَضَّأَ أَحَدُكُمْ فَأَحْسَنَ الْوُضُوء ، ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الْمَسْجِد ، لَمْ يَرْفَع قَدَمَهُ الْيُمْنَى إِلَّا كَتَبَ اللَّه لَهُ حَسَنَةً وَلَمْ يَضَع قَدَمَهُ الْيُسْرَى إِلَّا حَطَّ اللَّه عَنْهُ سَيِّئَةً ، فَإِنْ أَتَى الْمَسْجِد فَصَلَّى فِي جَمَاعَة غُفِرَ لَهُ ، فَإِنْ أَتَى وَقَدْ صَلَّوْا بَعْضًا وَبَقِيَ بَعْضٌ فَصَلَّى مَا أَدْرَكَ وَأَتَمَّ مَا بَقِيَ كَانَ كَذَلِكَ ، وَإِنْ أَتَى الْمَسْجِد وَقَدْ صَلَّوْا فَأَتَمَّ الصَّلَاة كَانَ كَذَلِكَ (Apabila salah seorang di antara kalian wudhu seraya memperbaiki wudhunya, kemudian keluar menuju masjid, maka ia tidak mengangkat kakinya yang kanan melainkan Allah menulis untuknya kebaikan, dan tidaklah ia meletakkan kakinya yang kiri melainkan Allah menghilangkan darinya keburukan. Apabila ia mendatangi masjid lalu shalat berjamaah, maka diampuni untuknya. Apabila ia datang sementara mereka telah menyelesaikan sebagian dari shalat, lalu ia melakukan shalat yang tersisa dan melengkapi yang tertinggal, maka begitu pula ganjarannya. Apabila ia datang sementara mereka telah menyelesaikan shalat, lalu ia shalat maka begitu pula ganjarannya).

فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا (apa yang kamu dapati maka shalatlah) Al Karmani berkata, “Maknanya adalah apabila telah dijelaskan kepada kalian apa yang lebih utama bagi kalian, maka kerjakanlah.” Saya (Ibnu Hajar) katakan, mungkin juga dikatakan bahwa apabila kalian telah melakukan apa yang diperintahkan, yakni tidak tergesa-gesa dan bersikap tenang, maka hendaklah kalian mengerjakan sisa gerakan shalat yang kalian dapati.”

Hadits ini merupakan dalil bahwa keutamaan shalat jamaah diperoleh apabila seseorang sempat mendapatkan sebagian shalat, berdasarkan sabda beliau SAW, فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا (Apa yang kalian dapatkan maka shalatlah) dimana beliau tidak membedakan antara yang banyak dengan yang sedikit, dan inilah pendapat jumhur ulama. Ada pula pendapat yang mengatakan, bahwa seseorang tidak dianggap mendapatkan jamaah apabila amalan shalat yang sempat ia kerjakan bersama imam kurang dari satu rakaat, berdasarkan sabda beliau SAW pada hadits terdahulu, مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنْ الصَّلَاة فَقَدْ أَدْرَكَ (Barangsiapa mendapatkan satu rakaat shalat, maka ia telah mendapatkannya). Selain itu, diqiyaskan pula dengan shalat Jum’at. Jawaban bagi pendapat ini telah kami terangkan, yaitu bahwa hadits ini berhubungan dengan masalah waktu-waktu shalat, sedangkan mengenai shalat Jum’at telah disebutkan hadits yang menerangkan hukumnya secara khusus.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 426 – Kitab Shalat

Hadits ini dijadikan dalil disukainya bagi orang yang terlambat untuk langsung shalat mengikuti imam dalam posisi apa saja yang ia dapati. Dalam hal ini telah dinukil hadits yang lebih tegas, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah melalui jalur Ibnu Abi Syaibah, dari Abdul Aziz bin Rafi’ dari seorang laki-laki di kalangan Anshar, dari Nabi SAW, مَنْ وَجَدَنِي رَاكِعًا أَوْ قَائِمًا أَوْ سَاجِدًا فَلْيَكُنْ مَعِي عَلَى حَالَتِي الَّتِي أَنَا عَلَيْهَا (Barangsiapa yang mendapatiku dalam keadaan rukuk, atau berdiri, atau sujud, maka hendaklah ia ikut serta bersamaku pada posisi di mana aku berada).

وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا (dan apa-apa yang luput dari kalian, maka sempurnakanlah) Yakni lengkapilah. Demikian lafazh yang shahih dalam riwayat Zuhri. Ibnu Uyainah meriwayatkan dari Zuhri dengan lafazh, فَاقْضُوا (maka gantilah). Menanggapi hal ini, Imam Muslim mengatakan bahwa lafazh ini keliru. Padahal beliau telah menukil sanadnya dalam kitabnya (Shahih Muslim), akan tetapi tanpa menyertakan lafazhnya. Imam Ahmad juga meriwayatkan dari Abdurrazzaq, dari Ma’mar, dari Hammam, dari Abu Hurairah, ia berkata, فَاقْضُوا ( maka gantilah).

Sementara Imam Muslim meriwayatkan dari Muhammad bin Rafi’ dari Abdurrazzaq dengan lafazh, فَأَتِمُّوا Begitu pula para u]ama berbeda pendapat tentang hadits Abu Qatadah. Riwayat jumhur (mayoritas) menyebutkan dengan lafazh, فَأَتِمُّوا (maka sempumakanlah). Dalam riwayat Muawiyah bin Hisyam dari Sufyan disebutkan dengan lafazh فَاقْضُوا (maka gantilah), demikian yang disebutkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Muawiyah. Lalu Imam Muslim menyebutkan sanadnya dalam kitab Shahih-nya dari Ibnu Abi Syaibah tanpa menyertakan lafazhnya. Abu Daud menukil pula riwayat yang serupa dari Sa’ad bin Ibrahim, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah, dia berkata, ”Tercantum pula dalam riwayat Abu Rafi’ dari Abu Hurairah.” Lalu para ulama berbeda pendapat mengenai hadits Abu Dzar. Abu Daud berkata, ‘Demikianlah yang diriwayatkan oleh Ibnu Sirin dari Abu Hurairah, yakni dengan lafazh, وَلْيَقْضِ (Hendaklah mengganti).” Saya (Ibnu Hajar) katakan, riwayat Ibnu Sirin yang terdapat dalam Shahih Muslim disebutkan dengan lafazh, صَلِّ مَا أَدْرَكْت ، وَاقْضِ مَا سَبَقَك (Lakukan bagian) shalat yang engkau dapatkan, dan gantilah apa yang telah terlewatkan darimu).

Kesimpulannya, kebanyakan riwayat menyebutkan dengan lafazh, فَأَتِمُّوا (Maka sempurnakanlah), dan sedikit yang menyebutkan dengan lafazh, فَاقْضُوا (Maka gantilah). Dampak perbedaan ini akan tampak apabila kita membedakan antara lafazh “menyempurnakan” dengan lafazh “mengganti”. Akan tetapi apabila hadits tersebut berasal dari sumber yang sama dengan lafazh yang berbeda, namun masih mungkin untuk mengembalikan perbedaan yang ada kepada satu makna, maka yang demikian itu lebih baik. Demikian halnya di tempat ini, karena lafazh qadha (mengganti) meski umumnya digunakan untuk suatu perbuatan yang dilakukan setelah waktunya berlalu, namun bisa pula digunakan untuk perbuatan yang dikerjakan pada waktunya. Terkadang juga bermakna “selesai” seperti firman Allah SWT dalam surah Al Jumu’ah ayat 10, فَإِذَا قُضِيَتْ الصَّلَاة فَانْتَشِرُوا (Apabila shalat telah selesai dikerjakan maka bertebaranlah di muka bumi). Di samping itu digunakan juga untuk menjelaskan makna-makna yang lain. Untuk itu kalimat فَاقْضُوا (Maka gantilah), dipahami dengan makna أَدَاءٌ (menunaikan) atau فَرَاغٌ (menyelesaikan), sehingga tidak bertentangan dengan perkataannya, فَأَتِمُّوا (Maka sempurnakan­lah ).

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 261 – Kitab Mandi

Dengan demikian ia tidak dapat dijadikan hujjah oleh mereka yang berpatokan pada lafazh “maka gantilah” untuk menyatakan bahwa shalat yang didapati oleh makmum adalah bagian akhir shalatnya. Untuk itu, mereka mengatakan disukainya mengeraskan bacaan pada dua rakaat yang terakhir serta membaca surah dan tidak membaca qunut. Bahkan sebenarnya apa yang didapat makmum yang terlambat adalah awal shalatnya, meskipun ia merupakan akhir shalat Imam, karena tidaklah dikatakan ‘akhir’ kecuali telah didahului oleh sesuatu. Adapun dalil paling jelas mengenai hal itu bahwa bagi makmum yang terlambat harus melakukan tasyahud di akhir shalatnya, bagaimanapun kondisi keterlambatannya. Apabila shalat yang ia dapati bersama imam merupakan akhir shalatnya tentu ia tidak perlu mengulangi tasyahud. Sedangkan perkataan Ibnu Baththal bahwa tasyahud tersebut dilakukan untuk salam, dimana salam harus didahului tasyahud, sungguh bukan merupakan jawaban yang dapat dijadikan pegangan untuk menolak tanggapan tadi. Ibnu Mundzir mendukung pendapat pertama’ dengan mengemukakan dalil bahwa para ulama telah sepakat jika takbiratul ihram hanya untuk rakaat yang pertama.

Jumhur ulama dalam masalah ini menempuh pendapat yang dapat mengumpulkan indikasi dari kedua lafazh yang ada. Mereka berkata, “Shalat yang didapati oleh makmum (yang terlambat) merupakan awal shalat yang ia kerjakan, akan tetapi ia harus meneruskan shalatnya sama seperti apa yang telah luput darinya, berupa bacaan surah beserta Ummul Qur’an (Al Faatihah) pada shalat empat rakaat. Akan tetapi mereka menyatakan tidak disukainya mengeraskan suara pada dua rakaat yang tersisa. Sepertinya hujjah dalam hal ini adalah sabda beliau SAW, (Apa yang engkau dapati bersama imam maka ia adalah awal daripada shalatmu, maka lengkapilah apa yang telah luput daripada shalatmu berupa Al Qur’an).” Hadits ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi. Lalu diriwayatkan dari Ishaq serta Al Muzanni bahwa yang dibaca hanya Ummul Qur’an (Al Faatihah) saja. Adapun pandangan ini berdasarkan qiyas ( analogi).

Kemudian hadits ini dijadikan dalil untuk menyatakan bahwa barangsiapa yang mendapati imam sedang rukuk, maka rakaat tersebut tidak dihitung sebagai satu rakaat baginya berdasarkan sabda Rasulullah SAW yang memerintahkan untuk menyempurnakan (melengkapi) apa yang telah luput. Karena, dalam hal ini telah luput darinya berdiri serta bacaan yang ada padanya. Ini adalah pandangan Abu Hurairah serta sejumlah ulama. Bahkan Imam Bukhari dalam pembahasan tentang Al Qira’ah Khalfal Imam menyatakan bahwa pendapat demikian merupakan pandangan semua ulama yang menyatakan wajibnya membaca di belakang imam. Pendapat demikian dipilih oleh Ibnu Khuzaimah, Adh-Dhab’i, dan para ahli hadits madzhab Syafi’i. Demikianjuga Syaikh Taqiyuddin As-Subki, ulama generasi muta’akhirin.

Sedangkan hujjah jumhur -untuk menyatakan bahwa rakaat tersebut dianggap satu rakaat baginya- adalah hadits Abu Bakrah yang rukuk sebelum sampai ke shaf. Maka Nabi SAW bersabda kepadanya, (Semoga Allah menambah antusiasmu dan jangan ulangi lagi). Namun beliau SAW tidak memerintahnya untuk mengulangi rakaat tersebut. Penjelasan yang lebih mendalam akan diterangkan dalam pembahasan tentang sifat shalat, insya Allah.

M Resky S