Hadits Shahih Al-Bukhari No. 612-614 – Kitab Adzan

Pecihitam.org – Hadits Shahih Al-Bukhari No. 612-614 – Kitab Adzan ini, Imam Bukhari memulai hadis ini dengan judul “Keutamaan Shalat Fajar dengan Berjamaah”. Hadis-hadis ini menjelaskan tentang keutamaan shalat berjamaah. Keterangan hadist dikutip dan diterjemahkan dari Kitab Fathul Bari Jilid 4 Kitab Adzan. Halaman 173-177.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ قَالَ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنِي سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ وَأَبُو سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ تَفْضُلُ صَلَاةُ الْجَمِيعِ صَلَاةَ أَحَدِكُمْ وَحْدَهُ بِخَمْسٍ وَعِشْرِينَ جُزْءًا وَتَجْتَمِعُ مَلَائِكَةُ اللَّيْلِ وَمَلَائِكَةُ النَّهَارِ فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ ثُمَّ يَقُولُ أَبُو هُرَيْرَةَ فَاقْرَءُوا إِنْ شِئْتُمْ { إِنَّ قُرْآنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا } قَالَ شُعَيْبٌ وَحَدَّثَنِي نَافِعٌ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ تَفْضُلُهَا بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [Abu Al Yaman] berkata, telah mengabarkan kepada kami [Syu’aib] dari [Az Zuhri] berkata, telah mengabarkan kepadaku [Sa’id bin Al Musayyab] dan [Abu Salamah bin ‘Abdurrahman] bahwa [Abu Hurairah] berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Shalat berjama’ah lebih utama dibanding shalatnya salah seorang dari kalian dengan sendirian dengan dua puluh lima bagian. Dan Malaikat malam dan Malaikat siang berkumpul pada shalat fajar.” Abu Hurairah kemudian berkata, “Jika mau silahkan baca: ‘(Sesungguhnya shalat fajar disaksikan (oleh para Malaikat) ‘ (Qs. Al Israa: 78). [Syu’aib] berkata; telah menceritakan kepadaku [Nafi’] dari [‘Abdullah bin ‘Umar] ia berkata, “(Shalat berjama’ah) dilebihkan dengan dua puluh tujuh derajat.”

حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ حَفْصٍ قَالَ حَدَّثَنَا أَبِي قَالَ حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ قَالَ سَمِعْتُ سَالِمًا قَالَ سَمِعْتُ أُمَّ الدَّرْدَاءِ تَقُولُ دَخَلَ عَلَيَّ أَبُو الدَّرْدَاءِ وَهُوَ مُغْضَبٌ فَقُلْتُ مَا أَغْضَبَكَ فَقَالَ وَاللَّهِ مَا أَعْرِفُ مِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا إِلَّا أَنَّهُمْ يُصَلُّونَ جَمِيعًا

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [‘Umar bin Hafsh] berkata, telah menceritakan kepada kami [Bapakku] berkata, telah menceritakan kepada kami [Al A’masy] berkata, aku mendengar [Salim] berkata, “Aku mendengar [Ummu Darda’] berkata, ” [Abu Darda’] datang menemui ku dalam keadaan marah. Aku lalu bertanya kepadanya, ‘Apa yang membuat mu marah? ‘ Maka dia menjawab, “Demi Allah, tidak ada yang aku kenal dari umat Muhammad kecuali bahwa mereka selalu shalat berjama’ah.”

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ عَنْ بُرَيْدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ أَبِي مُوسَى قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْظَمُ النَّاسِ أَجْرًا فِي الصَّلَاةِ أَبْعَدُهُمْ فَأَبْعَدُهُمْ مَمْشًى وَالَّذِي يَنْتَظِرُ الصَّلَاةَ حَتَّى يُصَلِّيَهَا مَعَ الْإِمَامِ أَعْظَمُ أَجْرًا مِنْ الَّذِي يُصَلِّي ثُمَّ يَنَامُ

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [Muhammad Ibnul ‘Ala] berkata, telah menceritakan kepada kami [Abu Usmah] dari [Buraid bin ‘Abdullah] dari [Abu Burdah] dari [Abu Musa] berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Orang yang paling banyak mendapatkan pahala dalam shalat adalah mereka yang paling jauh (jarak rumahnya ke masjid), karena paling jauh dalam perjalanannya menuju masjid. Dan orang yang menunggu shalat hingga dia melaksanakan shalat bersama imam lebih besar pahalanya dari orang yang melaksanakan shalat kemudian tidur.”

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 103 – Kitab Ilmu

Keterangan Hadis: Judul bab ini lebih khusus daripada bab sebelumnya. Adapun kesesuaian hadits Abu Hurairah dengan judul bab ini terdapat pada perkataannya, “Malaikat malam dan malaikat siang berkumpul pada shalat Fajar”. Hal ini menunjukkan adanya keistimewaan shalat Fajar dibanding shalat yang lainnya. Ibnu Baththal mengklaim bahwa perkataannya “dan berkumpul” merupakan isyarat tentang dua derajat yang menjadi tambahan atas dua puluh lima derajat yang diambil dari faktor ini. Oleh karena itu, Imam Bukhari mengiringinya dengan riwayat Ibnu Umar yang menyebutkan dua puluh tujuh derajat. Adapun maksud berkumpulnya malaikat telah dibahas pada bab “Keutamaan Shalat Fajar” dalam pembahasan tentang “Al Mawaqit” (waktu-waktu shalat).

قَالَ شُعَيْب وَحَدَّثَنِي نَافِع (Syu ‘aib berkata, “Nafi’ telah menceritakan kepadaku.”) Yakni sama seperti hadits sebelumnya, hanya saja pada riwayat ini disebutkan dengan lafazh, “Dua puluh tujuh derajat”. Ini sesuai dengan riwayat Imam Malik dan selainnya dari Nafi’ seperti yang disebutkan.

Riwayat Syu’aib ini memiliki sanad yang lengkap (maushul). Adapun sikap Al Karmani yang menyatakan boleh saja riwayat ini tidak memiliki sanad lengkap (mu’allaq), cukup jauh dari yang sebenarnya. Bahkan riwayat ini dikaitkan dengan sanad hadits sebelumnya, yang mana seharusnya Imam Bukhari mengatakan, “Abu Al Yaman telah menceritakan kepada kami, Syu’aib berkata…” dan seterusnya. Riwayat-riwayat ini cukup banyak ditemukan dalam kitab Shahih Bukhari, akan tetapi saya tidak melihat riwayat Syu ‘aib kecuali yang dinukil oleh Imam Bukhari, dimana riwayat ini tidak dikutip oleh Al Ismaili dan tidak pula Abu Nu’aim. Begitu pula Ath­Thabrani tidak menyebutkan dalam Musnad Syamiyin (riwayat-­riwayat ulama Syam) saat menyebutkan biografi Syu’aib.

سَمِعْت سَالِمًا (saya mendengar Salim) Dia adalah Ibnu Abi Al Ja’d. Sedangkan Ummu Darda’ adalah Ummu Darda Ash-Sughra (seorang tabi’in), bukan Ummu Darda’ Al Kubra (seorang sahabat). Karena Ummu Darda’ Al Kubra meninggal pada saat Abu Darda’ masih hidup, sedangkan Ummu Darda’ Ash-Shughra hidup sepeninggal Abu Darda’ dalam waktu yang cukup lama. Sementara Abu Hatim telah menegaskan bahwa Salim tidak sempat hidup sezaman dengan Abu Darda’, oleh karena itu ia tidak hidup sezaman dengan Ummu Darda’ Al Kubra. Namun Al Karmani memberi penjelasan sesuai sifat Ummu Darda’ Al Kubra, akan tetapi ini merupakan kesalahan berdasarkan perkataan Salim, “Aku mendengar Ummu Darda’.” Telah disebutkan di bagian pembukaan bahwa nama Ummu Darda’ Ash-Shugra adalah Hajimah, sedangkan Ummu Darda’ Al Kubra adalah Khairah.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 181 – Kitab Wudhu

مِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ (dari umat Muhammad) Demikian yang terdapat dalam riwayat Abu Dzar dan Karimah. Sementara dalam riwayat perawi lainnya disebutkan, مِنْ مُحَمَّد (dari Muhammad), tanpa menyebut kata أُمَّةِ (umat). Ibnu Baththal serta ulama lainnya melandasi penjelasan mereka terhadap hadits ini berdasarkan lafazh tadi. Dia mengatakan bahwa yang dimaksud syariat Muhammad adalah sesuatu yang belum mengalami perubahan, yaitu shalat jamaah. Untuk itu kata sebelum “Muhammad” sengaja dihapus karena telah diindikasikan oleh kalimat. Lalu tercantum dalam riwayat Abu Al Waqt, مِنْ أَمْر مُحَمَّد (dari urusan Muhammad), begitu pula yang disebutkan oleh Al Humaidi dalam kitabnya Al Jami’. Demikian juga yang terdapat dalam Musnad Imam Ahmad, serta oleh Abu Nu’aim dan Al Ismaili dalam kitab Mustakhraj, keduanya melalui beberapa jalur dari Al A’masy.

Adapun lafazh yang terdapat pada keduanya, مَا أَعْرِفُ فِيهِمْ (Aku tidak mengenal di antara mereka) yakni di antara penduduk negeri dimana beliau tinggal. Seakan-akan ketika lafazh فِيهِمْ (di antara mereka) terhapus dari riwayat Bukhari, maka sebagian penyalin naskah Shahih Bukhari mengganti lafazh أَمْر (urusan) dengan lafazh أُمَّةِ (umat), agar kata ganti “mereka” yang terdapat pada kalimat أَنَّهُمْ (bahwasanya mereka) kembali kepada lafazh أُمَّةِ (umat).

يُصَلُّونَ جَمِيعًا (mereka melakukan shalat bersama-sama) Yakni berkumpul atau berjamaah. Maksud Abu Darda’, bahwa amalan-­amalan orang-orang itu telah mengalami pengurangan dan perubahan, kecuali berkumpul saat melakukan shalat (jamaah). Ini merupakan perkara relatif, karena manusia pada zaman kenabian keadaannya lebih sempurna dibanding masa sesudahnya. Kemudian manusia pada zaman Syaikhain (Abu Bakar dan Umar. -penerj.) lebih sempurna dibanding masa setelah keduanya. Sepertinya perkataan Abu Darda’ ini diucapkan di masa-masa akhir kehidupannya, yakni pada masa pemerintahan Utsman bin Affan. Apabila masa yang utama itu,sudah seperti yang dikatakan olah Abu Darda·, lalu bagaimana dengan kondisi generasi-generasi sesudah mereka hingga sekarang?

Dalam hadits ini terdapat keterangan tentang bolehnya marah ketika terjadi perubahan dalam masalah agama, boleh mengingkari kemungkaran dengan menampakkan kemarahan apabila tidak ada yang bisa dilakukan selain itu, dan boleh bersumpah atas suatu berita untuk meyakinkan pendengar .

أَبْعَدهمْ فَأَبْعَدهمْ مَمْشًى (paling jauh dan yang paling jauh berjalan) yakni menuju masjid. Pembahasan mengenai hal itu akan dibahas setelah satu bah kemudian.

مَعَ الْإِمَام (bersama imam) Imam Muslim menambahkan, فِي جَمَاعَة (dalam jamaah). Lalu Imam Muslim menjelaskan bahwa tambahan tersebut terdapat dalam riwayat Abu Kuraib (yakni Muhammad bin Al Alla’), perawi yang riwayatnya dinukil oleh Imam Bukhari di tempat ini.

مِنْ الَّذِي يُصَلِّي ثُمَّ يَنَام (daripada yang shalat kemudian tidur) Yakni sama saja apakah ia shalat sendirian atau berjamaah. Dari sini dapat diketahui bahwa nilai jamaah berbeda-beda seperti yang telah diterangkan.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 546 – Kitab Waktu-waktu Shalat

Catatan: Sebagian orang mempertanyakan konteks penyebutan hadits Abu Musa dalam bah ini, hal itu karena tidak disebutkannya shalat Fajar, bahkan bagian akhir hadits itu memberi asumsi bahwa shalat yang dimaksud adalah shalat Isya. Ibnu Manayyar dan ulama lainnya memberi solusi masalah ini dengan mengatakan bahwa hadits Abu Musa memuat keterangan sebab bertambahnya pahala, yaitu adanya kesulitan dalam berjalan menuju (tempat) shalat. Jika demikian halnya, maka berjalan menuju shalat Subuh lebih sulit daripada shalat­-shalat yang lainnya. Karena meski berjalan menuju keduanya (shalat Fajar dan shalat Isya’) sama-sama dilakukan di kegelapan malam, namun shalat fajar setingkat lebih sulit, karena harus meninggalkan tidur yang secara tabiat disukai manusia.

Saya tidak melihat seorang pun di antara para pensyarah Shahih Bukhari yang menjelaskan kesesuaian hadits Abu Darda’ dengan judul bab, kecuali Ibnu Al Manayyar, dimana dia mengatakan bahwa shalat  Fajar masuk dalam cakupan kalimat, يُصَلُّونَ جَمِيعًا (Mereka melakukan shalat bersama-sama) dimana shalat Subuh lebih spesifik daripada shalat-shalat lainnya. Kemudian Ibnu Rasyid mengemukakan perkataan serupa seraya menambahkan bahwa sikap Abu Hurairah yang mendukung pendapatnya dengan firman Allah SWT, “Sesungguhnya shalat Subuh itu disaksikan (malaikat).” (Al Israa ‘(17): 78) mengisyaratkan bahwa perhatian terhadap shalat Subuh lebih ditekankan.

Saya (Ibnu Hajar) katakan, bahwa Imam Bukhari melakukan variasi dengan menyebutkan tiga hadits di bab ini. Sebab kesesuaian dengan Judul bab pada hadits Abu Hurairah dilakukan melalui metode takhsis,[1] sedangkan kesesuaian dengan hadits Abu Darda’ melalui metode ta’mim,[2] dan dengan hadits Abu Musa melalui metode istimbath.[3] Mungkin lafazh pada judul bab memiliki kemungkinan bahwa yang dimaksud adalah keutamaan shalat Subuh dibanding shalat-shalat lainnya, atau mungkin pula untuk menetapkan adanya keutamaan shalat Subuh secara global. Maka hadits Abu Hurairah merupakan dalil bagi yang pertama, hadits Abu Darda’ sebagai dalil bagi yang kedua, sedangkan hadits Abu Musa merupakan dalil bagi keduanya. Wallahu a’lam.


[1] Yakni suatu metode yang didasarkan pada hal-hal yang bersifat umum untuk membuat kesimpulan yang bersifat khusus -penerj.

[2] Kebalikan daripada metode ‘takhshis’ -penerj.

[3] Yakni menyimpulkan suatu hukum dari nash berdasarkan metode-metode tertentu- penerj.

M Resky S