Pecihitam.org – Hadits Shahih Al-Bukhari No. 273 – Kitab Mandi ini, Imam Bukhari memulai hadis ini dengan judul “Apabila Wanita Mimpi Bersenggama” hadis ini menjelaskan tentang pertanyaan Ummu Sulaim kepada Rasulullah saw tentang wanita yang bermimipi sedang bersenggama. Keterangan hadist dikutip dan diterjemahkan dari Kitab Fathul Bari Jilid 2 Kitab Mandi. Halaman 461-466.
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ زَيْنَبَ بِنْتِ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ أَنَّهَا قَالَتْ جَاءَتْ أُمُّ سُلَيْمٍ امْرَأَةُ أَبِي طَلْحَةَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لَا يَسْتَحْيِي مِنْ الْحَقِّ هَلْ عَلَى الْمَرْأَةِ مِنْ غُسْلٍ إِذَا هِيَ احْتَلَمَتْ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَمْ إِذَا رَأَتْ الْمَاءَ
Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [‘Abdullah bin Yusuf] berkata, telah mengabarkan kepada kami [Malik] dari [Hisyam bin ‘Urwah] dari [Bapaknya] dari [Zainab binti Abu Salamah] dari [Ummu Salamah] Ummul Mukminin, bahwa ia berkata, “Ummu Sulaim, isteri Abu Thalhah, datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu dengan kebenaran. Apakah seorang wanita wajib mandi bila bermimpi?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Ya. Jika dia melihat air.”
Keterangan Hadis: Dalam bab ini Imam Bukhari hanya mengkhususkan wanita, padahal hukum ini juga berlaku bagi kaum laki-laki. Hal itu dia lakukan untuk menyesuaikan dengan konteks pertanyaan yang ada dalam hadits. sekaligus menunjukkan bantahan terhadap mereka yang beranggapan bahwa hal seperti itu hanya dialami oleh laki-laki dan tidak dialami oleh wanita, sebagaimana dikutip oleh Ibnu Mundzir dan selain beliau dari Ibrahim An-Nakha’i. Hanya saja, Imam An-Nawawi dalam kitab Syarh Al Muhadzdzab menolak kcbenaran nukilan tersebut dari Ibrahim AnNakha’i. Akan tetapi Ibnu Abi Syaibah telah menukil perkataan tersebut dari Ibrahim An-Nakha’i melalui jalur periwayatan yang akurat.
عَنْ زَيْنَب بِنْت أَبِي سَلَمَة (Dari Zainab binti Abu Salamah). Hadits initelah disebutkan dalam bab “Malu dalam (menuntut) ilmu” melalui jalur periwayatan yang lain, dimana disebutkan Zainab binti Ummi Salamah. Dengan demikian, dalam bab tersebut dia dinisbatkan kepada ibunya, sedangkan di bab ini dinisbatkan kepada bapaknya (Abu Salamah).
Sementara itu, Imam Bukhari dan Imam Muslim telah mcnukil hadits ini melalui beberapa jalur periwayatan dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya dari Zainab binti Abu Salamah. Lalu Imam Muslim meriwayatkan pula dari jalur Az-Zuhri dari Urwah, tapi dikatakan. “Dari Aisyah”. Maka, yang menjadi sumber dalam kisah ini adalah antara Ummu Sulaim dan Aisyah.
Kemudian Al Qadhi Iyadh mengutip dari para ahli hadits bahwa yang menjadi objek kisah ini adalah Ummu Sulaim, bukan Aisyah. Artinya mereka lebih mengedepankan riwayat Hisyam daripada riwayat Az-Zuhri, dan inilah yang nampak dari sikap Imam Bukhari. Akan tetapi, Ibnu Abdil Barr telah menukil dari Az-Dzahili bahwa Imam Bukhari menganggap kedua jalur riwayat ini sama-sama shahih.
Sementara Abu Daud mengisyaratkan bahwa ia cenderung mengedepankan riwayat AzZuhri, karena Nafi’ bin Abdullah juga menukil hadits itu dari Urwah dari Aisyah, dimana riwayat Nafi’ juga dikutip oleh Imam Muslim. Di samping itu, Imam Muslim juga meriwayatkan hadits Anas dengan lafazh, “Ummu Sulaim datang menemui Rasulullah SAW seraya bertanya, sementara Aisyah saat itu ada di dekat beliau SAW … ” Lalu disebutkan hadits yang serupa dengan hadits di atas.
Lalu Imam Ahmad meriwayatkan dari jalur Ishaq bin Abdullah bin Abi Thalhah dari neneknya -Ummu Sulaim- dimana ia tinggal bertetangga dengan Ummu Salamah. Ummu Sulaim berkata, “Wahai Rasulullah … ” Lalu disebutkan kelanjutan haditsnya di dalamnya bahwa Ummu Salamah telah mengisahkan Ummu Sulaim. Hal ini telah menguatkan riwayat Hisyam.
An-Nawawi berkata dalam kitab Syarah Muslim, “Ada kemungkinan Aisyah dan Ummu Salamah sama-sama tidak menyetujui sikap Ummu Sulaim, dan ini merupakan Jangkah yang sangat baik dalam memadukan kedua jalur riwayat tersebut, sebab bukan perkara yang mustahil bila Aisyah dan Ummu Salamah sama-sama hadir di majelis beliau SAW. Selanjutnya An-Nawawi berkata dalam Syarah Al Muhadzdzab, “Riwayat-riwayat yang ada dipadukan dengan mengatakan bahwa Anas, Aisyah dan Ummu Salamah semuanya hadir saat kejadian itu berlangsung.”
Akan tetapi yang lebih kuat adalah Anas tidak hadir saat peristiwa berlangsung, ia hanya mendapat berita itu dari ibunya (Ummu Sulaim). Indikasi ke arah ini dapat kita temukan dalam kitab Shahih Muslim darihadits Anas.
Lalu Imam Ahmad meriwayatkan juga hadits seperti ini dari Ibnu Umar, hanya saja Ibnu Umar memperoleh riwayat itu dari Ummu Sulaim atau yang lain.
Masalah ini juga ditanyakan oleh Khaulah binti Hakim sebagaimana dinukil oleh Imam Ahmad, An-Nasa’i dan Ibnu Majah. Di akhimya terdapat lafazh, “Sebagaimana tidak ada kewajiban mandi bagi laki-laki bila bermimpi senggama selama belum keluar air (manz)”. Demikian juga masalah itu pemah ditanyakan oleh Sahlah binti Suhail seperti dalam riwayat Ath-Thabrani dan Bisrah binti Shafwan seperti dikutip oleh Ibnu Abi Syaibah.
إِنَّ اللَّهَ لَايَسْتَحْيِي مِنْ الْحَقِّ (Sesungguhnya Allah tidak malu terhadap kebenaran). Ummu Sulaim sengaja mendahulukan kalimat ini sebagai alasan atas sikapnya yang akan menyebutkan sesuatu yang tabu dibicarakan. Malu yang dimaksud ditinjau dari segi bahasa, karena malu dalam pengertian agama adalah baik.
Sementara disebutkan dalam pembahasan iman bahwasanya malu dari segi bahasa adalah perubahan dan perpecahan, dan hal tersebut mustahil bagi Allah Ta ‘ala. Maka perkataan Ummu Sulaim dapat dipahami bahwa Allah tidak menyuruh bersikap malu dalam kebenaran atau tidak melarang untuk menyatakan kebenaran.
Ada pula yang mengatakan bahwa takwil hanya diperlukan dalam masalah itsbat (menetapkan), bukan pada masalah penafian (peniadaan). Tetapi karena dipahami dari kalimat tersebut bahwa Allah malu terhadap yang bukan hak, maka ini kembali pada masalah itsbat (penetapan) sehingga harus ditakwilkan. Demikian dikatakan oleh Ibnu Daqiq Al ‘Id.
اِحْتَلَمَتْ (Dia bermimpi). Mimpi adalah sesuatu yang dilihat olehseseorang saat tidur, dan yang dimaksud mimpi di sini adalah mimpi yang bersifat khusus, yaitu melakukan hubungan intim. Dalam riwayat Ahmad dari Ummu Sulaim disebutkan bahwa ia berkata, “WahaiRasulullah, apabila seorang wanita bermimpi melihat suaminya bersenggama dengannya, apakah ia harus mandi?”
إِذَا رَأَتْ الْمَاءَ (Jika ia melihat air), maksudnya ia melihat air manisetelah terbangun. Dalam riwayat Al Humaidi dari Sufyan dari Hisyam disebutkan, “Jika salah seorang wanita di antara kamu melihat air, maka hendaklah ia mandi”. Ia menambahkan, “Ummu Salamah berkata, ‘Apakah wanita Uuga) bermimpi (senggama)?”‘ Demikian pula para murid Hisyam, mereka telah meriwayatkan tambahan ini dari beliau (Hisyam) kecuali Imam Malik.
Dalam riwayat Abu Muawiyah dari Hisyam pada bab “malu dalam menuntut ilmu” disebutkan, “Apakah wanita Uuga) bermimpi senggama?” Dalam riwayat tersebut disebutkan pula, “Maka Ummu Salamah menutup wajahnya”. Namun akan disebutkan dalam pembahasan Al A dab dari riwayat Y ahya Al Qaththan dari Hisyam, “Maka Ummu Salamah tertawa”. Kedua riwayat ini dapat disatukan dengan mengatakan, bahwa Ummu Salamah tersenyum karena heran dan menutup wajahnya karena malu.
Dalam riwayat Muslim dari Waqi’ dari Hisyam dikatakan, “Umu Salamah berkata, ‘Wahai Ummu Sulaim, engkau telah membuka rahasia wanita. “‘ Lafazh seperti ini disebutkan pula dalam riwayat Imam Ahmad dari Ummu Sulaim.
Ini menunjukan bahwa menyembunyikan hal-hal seperti itu sudah menjadi tabiat kaum wanita, dan hal itu menunjukkan besamya syahwat mereka terhadap laki-laki.
Ibnu Baththal berkata, “Ini merupakan dalil bahwa setiap wanita mengalami mimpi (senggama).” Sementara selain beliau justeru memahami sebaliknya, seraya mengatakan, “Ini merupakan dalil bahwa sebagian wanita tidak mengalami mimpi (senggama)”. Makna lahiriah ucapan lbnu Baththal adalah, bahwa hal seperti itu bisa saja terjadi dan bukan harus terjadi. Artinya, pada diri wanita ada kecenderungan ke arah itu.
Kita mendapatkan dalam hadits ini dalil wajibnya mandi bagi wanita jika mengeluarkan mani. lbnu Baththal menafikan adanya perbedaan pendapat dalam masalah ini, sementara telah kami sebutkan sebelumnya adanya perbedaan pendapat dalam masalah ini dari AnN akha’ i. Seolah-olah Ummu Sulaim belum mendengar hadits Nabi SAWyang berbunyi, الْمَاءُمِنْالْمَاءِ (mandi wajib) dikarenakan oleh air(keluarnya mani)”. Atau ia telah mendengar sabda itu, namun timbul dalam pikirannya perkara yang menurutnya dapat menyebabkan wanita tidak termasuk dalam hadits tersebut, karena keluamya mani jarang dialami wanita.
Imam Ahmad telah meriwayatkan dari Ummu Sulaim dalam kisah ini, bahwa Ummu Salamah berkata, “Wahai Rasulullah, apakah wanita juga punya air (mani)?” Rasulullah SAW bersabda, “Mereka adalah saudara kandung laki-laki (mereka sama).“
Dalam riwayat Abdurrazzak tentang kisah ini dikatakan, “Jika salah seorang wanita di antara kalian telah melihat air (mani) sebagaimana laki-laki melihatnya.”
Demikian pula Imam Ahmad meriwayatkan dari Khaulah binti Hakim, “Tidak wajib atasnya mandi hingga keluar air (mani) sebagai mana laki-laki.” Lafazh ini merupakan bantahan terhadap orang yang mengatakan bahwa mani wanita tidak keluar, namun keluamya mani wanita itu dapat diketahui dari syahwatnya.
Lalu mereka memahami sabda Nabi SAW, “Jika ia melihat air”, yakni apabila ia mengetahuinya. Namun pandangan ini kurang tepat, karena untuk mengetahui keluamya mani dalam kondisi ini sangat sulit. Sebab kalau ia mengetahui hal tersebut dalam mimpi saja, maka tidak memiliki konsekuensi hukum. Karena jika laki-laki mimpi bersetubuh dan ia melihat mengeluarkan mani dalam mimpi itu, lalu terbangun dan tidak melihat tanda bahwa air maninya telah keluar, maka tidak wajib baginya untuk mandi menurut kesepakatan ulama, demikian juga halnya dengan wanita.
Apabila yang dimaksud “mengetahui “di sini adalah setelah wanita itu terbangun, maka tidak dapat dibenarkan sebab yang terjadi dalam mimpi tidak berkelanjutan setelah bangun kecuali jika terlihat (tanda keluamya mani tersebut). Untuk itu, memahami kata bermimpi di sini sebagaimana maknanya secara lahiriah merupakan pandangan yang benar.
Dalam hadits ini juga terdapat dalil bahwa wanita boleh langsung meminta fatwa, dan menjelaskan gambaran keadaan yang berhubungan dcngan kejadian syar’i karena adanya faidah yang bisa diambil dari hal tersebut.
Di samping itu, hadits ini merupakan dalil bolehnya tersenyum dalam hal-hal yang menakjubkan. Adapun pembahasan mengenai sabda beliau, “Lalu dengan sebab apa anaknya memiliki kemiripan dengannya” akan diterangkan pada pembahasan mengenai awal mula penciptaan, insya Allah.
- Hadits Shahih Al-Bukhari No. 663-664 – Kitab Adzan - 30/08/2020
- Hadits Shahih Al-Bukhari No. 662 – Kitab Adzan - 30/08/2020
- Hadits Shahih Al-Bukhari No. 661 – Kitab Adzan - 30/08/2020