Hafshoh binti Umar, Istri Nabi yang Menjadi Pemilik Mushaf Pertama

Hafshoh binti Umar, Istri Nabi yang Menjadi Pemilik Mushaf Pertama

PeciHitam.org Salah satu Ummul Mukminin yang dinikahi oleh Rasulullah SAW adalah Hafshoh binti Umar bin Khattab. Ia adalah Janda syuhada perang Badar yang berkecamuk pada tahun 2 Ramadhan, perang Istimewa dalam sejarah Islam.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Perang ini juga menjadi perang besar pertama yang dimenangkan oleh kaum Muslimin dan menjadikan Islam menjadi punya daya tawar secara militer.

Perjalanan Hafshoh menjadi bagian dari ummul mukminin tidak-lah mudah, karena beliau pernah ditolak para sahabat besar. Beliau dikenal sebagai wanita yang cantik jelita dan memiliki rasa cemburu khas seorang wanita.

Hafshoh binti Umar juga diketahui sebagai pemilik mushaf al-Qur’an pertama dalam Islam. Walaupun beliau menjadi salah satu ummul mukminin, akan tetapi ia tidak termasuk dalam golongan assabiqunal awwalun, karena ayahnya, Umar bin Khattab pada awalnya adalah musuh Islam. Berikut jejak ummul mukminin Hafshoh binti Umar bin Khattab RA.

Daftar Pembahasan:

Hafshoh binti Umar, Janda yang Ditolak Sahabat

Hafshoh binti Umar adalah salah satu putrid Umar bin Khattab, Khalifah kedua Islam, yang masuk Islam tidak lama setalah keislaman ayahnya. Karena Umar pada masa awal dakwah Islam adalah musuh utama Muhammad SAW yang sering mengintimidasi Muslim.

Ketika Umar bin Khattab masuk Islam karena hidayah melalui Fathimah binti Khattab, saudara perempuan Umar, beliau mengajak serta keluarganya untuk masuk Islam.

Kemudian hari, Umar bin Khattab dikenal sebagai pejuang Islam dan Khalifah kedua. Bahkan Hafshoh binti Umar kemudian diambil Istri oleh Rasulullah dan dikenal sebagai Ummul Mukminin.

Hafshoh binti Umar dilahirkan sekitar tahun 15 tahun sebelum Hijiryah dari seorang Ibu bernama Zainab binti Madh’un bin Hubaib bin Wahab. Dan pada tahun 2 Hijriyah ketika berumur 17 tahun, suami beliau wafat dalam perang Badar.

Suami pertama Hafshoh adalah Khunais bin Hudhafah As-Sahimi syahid pada perang yang berkecamuk pada tahun kedua Hijriyah tersebut. Setelah menjadi janda dan tanpa memiliki anak, tanggung jawab Hafshoh kembali kepada ayahnya, Umar.

Baca Juga:  Siasat Dibalik Munculnya Mukjizat Nabi Ibrahim

Maka Umar bin Khattab berinisiatif mencarikan suami bagi putrinya tersebut dengan menawarkan kepada para sahabat Rasul. Umar melamarkan untuk Hafshoh kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq dan beliau menolaknya. Dan kemudian menawarkan kepada Utsman bin Affan yang baru ditinggal istrinya, ternyata juga mendapat penolakan.

Penolakan demi penolakan untuk meminangkan putrinya yang janda menjadian Umar bin Khattab frustasi dan sambat kepada Rasulullah SAW. Ia bercerita tentang keadaan putrinya, Hafshoh yang ditinggal syahid oleh suaminya ditolak oleh para sahabat. Kemudian Rasulullah SAW bersabda;

“Hafshoh akan menikah dengan seseorang yang lebih baik daripada Utsman dan Abu Bakar. Utsman pun akan menikah dengan seseorang yang lebih baik daripada Hafshoh.”

Awalnya Umar tidak paham maksud dari Sabda Rasul SAW, yang mengindikasikan Hafshoh akan dinikahi oleh Rasulullah SAW. Dan diketahui kemudian bahwa Utsman dinikahkan dengan 2 putri Rasulullah SAW.

Penolakan Abu Bakar untuk menjadi menantu Umar ternyata memiliki alasan kuat sebagaimana dalam riwayat setelah Rasul menikahi Hafshoh;

إنه لم يمنعني أن أرجع إليك فيما عرضت علي إلا أني كنت علمت أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قد ذكرها فلم أكن لأفشي سر رسول الله صلى الله عليه وسلم ولو تركها رسول الله صلى الله عليه وسلم قبلتها

Artinya; “Tidak ada sebab yang membuat saya (Abu Bakar RA) menolak tawaranmu (untuk menikahi Hafshoh RA), selain karena saya mendengar Rasulullah SAW menyebut-nyebur Hafshoh. Saya tidak akan membuka Rahasia Rasul, jika beliau tidak berkeinginan menikahi Hafshoh, maka aku akan menerima Hafshoh sebagai Istriku” (HR. Bukhari)

Dan memang kemudian Rasul SAW menikahi Hafshoh binti Umar. Hafshoh meninggal dunia pada tahun 40 Hijriyah dalam usia 60 tahun.

Hafshoh dan Kecemburuan dalam Islam

Kedudukan Hafshoh sebagai Ummul Mukminin tidak serta merta menghilangkan rasa cemburu dalam dirinya. Karena memang kecemburuan dalam Islam dibenarkan asal tidak membawa dendam dan kebinasaan.

Baca Juga:  Mukjizat Nabi Isa: Kisah Turunnya Hidangan dari Langit dalam Al-Quran

Sebagaimana umumnya wanita, hafshoh binti Umar pernah terbakar api cemburu kepada Maria al-Qibtiyah, bekas budak Mesir yang diperistri Rasulullah.

Ia merasa cemburu karena Maria karena dirasakan lebih cantik dan mendapat perhatian lebih dari Rasulullah SAW. Hafshoh bersumpah tidak akan menemui Maria dalam waktu tertentu dan kemudian dibatalkan dalam ayat;

قَدْ فَرَضَ اللَّهُ لَكُمْ تَحِلَّةَ أَيْمَانِكُمْ وَاللَّهُ مَوْلاكُمْ وَهُوَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ (٢

Artinya; “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepadamu sekalian membebaskan diri dari sumpahmu dan Allah adalah Pelindungmu dan Dia Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana” (Qs. At-Tahrim: 2)

Kecemburuan Hafshoh juga terjadi kepada Aisyah RA yang mana memang memiliki umur sebaya dengannya. Kejadian saling cemburu diantara Istri Rasulullah SAW merupakan hal wajar  yang terjadi dalam sebuah rumah tangga. Karena memang sudah sunnatullah untuk demikian.

Akan tetapi catatan khusus harus diberikan kepada sikap yang dilakukan oleh Rasulullah SAW untuk mendamaikan hati istri-istri beliau. Lewat konflik intern dalam rumah tangga inilah, hukum-hukum Islam terkait rumah tangga bermunculan.

Bahkan Hafshoh dan Istri Rasul lainnya pernah menuntut Rasulullah untuk meminta jatah nafkah dinaikan. Akan tetapi Hafshoh diperingatkan dengan keras oleh ayahnya jangan meminta demikian karena Rasulullah SAW sendiri bukan orang kaya raya, karena hartanya habis untuk perjuangan Islam. Sampai-sampai turun ayat;

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأزْوَاجِكَ إِنْ كُنْتُنَّ تُرِدْنَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا فَتَعَالَيْنَ أُمَتِّعْكُنَّ وَأُسَرِّحْكُنَّ سَرَاحًا جَمِيلا (٢٨

Artinya; “Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu: “Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, Maka Marilah supaya kuberikan kepadamu mut’ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik” (Qs. Al-Ahzab: 28)

Fitnah prahara yang terjadi dirumah tangga Rasul tentang Isu akan diceraikannya Istri-istri beliau kemudian reda setelah sebulan penuh menjaga jarak kepada mereka.

Baca Juga:  Dihidupkan Lagi setelah 100 Tahun Wafat, Inilah Kisah Uzair dalam AlQuran

Akhirnya Umar tampil sebagai penyebar kabar gembira tentang rumah tangga Rasulullah SAW. Hikmah dari hal ini adalah kecemburuan harus disikapi dengan baik sesuai dengan kaidah keislaman dan perdamaian.

Hafshoh Pemilik Mushaf Pertama

Hafshoh binti Umar saat menjadi Istri Rasulullah SAW berumur sekitar 17 tahun dan beliau wafat ketika pada umur 60 tahun. Berarti beliau mengalami pemerintahan sejak Abu Bakar sampai Ali bin Abi Thalib.

Selain dikenal sebagai Ummul Mukminin yang sangat gemar berpuasa dan Qiyamul Lail, Hafshoh juga dikenal sebagai orang yang cerdas, dapat membaca dan menulis.

Setelah Rasul SAW wafat, tampuk kepemimpinan beralih ke Abu Bakar dan berfokus melawan para kaum Riddah (orang yang Murtad). Karena perang demi perang menjadikan banyak penghafal Quran wafat, muncul kekhawatiran Umar bin Khattab akan kehabisan stok Huffadz.

Maka Abu Bakar sebagai pengganti Rasulullah SAW memerintahkan Hafshoh binti Umar untuk mengumpulkan dan memelihara tulisan Al-Qur’an yang tercecer untuk disatukan. Maka ketika proyek standarisasi Al-Qur’an pada masa Utsman bin Affan, Hafshoh berperan dalam membantunya.

Walaupun kemudian, Qur’an standar Utsman berbeda runtutan dan jumlah surat dengan yang dimiliki oleh Hafshoh binti Umar. Atas pertimbangan standardisasi Al-Qur’an, maka Mushah milik Hafshoh tidak digunakan secara luas.

Akan tetapi karena kecerdasan dan keahlian membaca-menulisnya, Hafshoh dihormati sebagai pemilik Mushah Al-Qur’an pertama.

Ash-Shawabu Minallah

Mochamad Ari Irawan