Pecihitam.org – Fase yang menjadi latarbelakang perkembangan pemikiran tak lain adalah pendidikan, juga sentuhan tradisi yang secara langsung atau tidak ikut turun andil dalam membangun sebuah gaya pemikiran, termasuk dalam hal ini adalah hal yang menjadi latarbelakang pemikiran gus dur.
Model pemikiran gus dur adalah reaksi dari latarbelakang beliau, termasuk dalam hal ini keluarga, pendidikan, dan organisasi yang beliau ikuti selama perjalanan hidupnya. berikut adalah beberapa hal yang menjadi latarbelakang pemikiran gus dur.
Abdurrahman Wahid atau lebih sering disapa dengan Gus Dur adalah seorang tokoh nasional yang lahir di Jombang pada tahun 1940. Ia merupakan cucu dari pendiri Nadhlatul Ulama (NU), yakni K.H. Hasyim Ashari dan K.H. Bisri Syansuri.
Ayah Gus Dur adalah Wahid Hasyim, mantan petinggi Masyumi dan NU, dan juga Menteri Agama RI. Gus Dur berhasil mewarisi trah kakek dan orang tuanya menjadi seorang ulama yang berhasil memimpin dan mengantar NU menjadi ormas Islam modern yang disegani dunia.
Pada tahun 1964, Gus Dur melanjutkan studinya di Mesir, tepatnya di fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Kairo. Disana, ia mengisi hari-harinya dengan berbagai aktivitas, seperti menonton film Amerika dan Eropa, menonton sepakbola, ikut serta dalam diskusi-diskusi di kedai-kedai kopi, dan juga mempelajari tentang nasionalisme Arab, suatu ideologi yang sangat populer di Mesir kala itu.
Gus Dur juga sangat menikmati hobinya membaca buku di perpustakaan-perpustakaan besar ketika berada di Mesir. Salah satu buku yang sangat menarik perhatiannya adalah karya milik cendekiawan muslim kontroversial Ali Abd al-Razik yang berjudul al-Islam wa Usul al-Ahkam (Islam and the Fundamentals of Governments) di mana buku tersebut sangat mempengaruhi pandangan Gus Dur dalam hubungan antara Islam dan negara.
Semasa di Mesir, Gus Dur terlibat aktif dalam Perhimpunan Pelajar Indonesia dan menjadi jurnalis di majalah perhimpunan tersebut. Selain itu, ia juga terlibat aktif dalam berbagai kelompok studi yang akhirnya mempertemukan dirinya dengan beberapa intelektual Mesir, seperti Zakki Naquib Mahmoud, Soheir al-Qalamawi, Hassan Hanafi, Syauqi Deif, and Saad Eddin Ibrahim.
Sayangnya, di tengah jalan, Gus Dur memutuskan untuk tidak menyelesaikan studinya di Mesir karena ia kecewa dengan metode pembelajaran yang didapatkan di kampus. Gus Dur kecewa karena hampir seluruh pelajaran yang diajarkan di kampus telah ia pelajari sebelumnya ketika masih menjadi santri di pesantren.
Ada satu momen penting yang menandai lompatan pemikiran Gus Dur sebagaimana yang pernah dituliskan oleh salah satu orang terdekatnya, Mahfud MD, yakni kunjungannya ke sebuah perpustakaan di Maroko.
Dikisahkan bahwa pada tahun 1970-an, Gus Dur berkunjung ke sebuah perpustakaan di kota Fes, Maroko untuk menikmati hobinya membaca buku.
Setelah hampir seharian membaca sebuah buku di perpustakaan tersebut, Gus Dur menangis terisak-isak sampai menarik perhatian pegawai perpustakaan. Pegawai perpustakaan tersebut kemudian menanyakan apakah Gus Dur sakit dan membutuhkan bantuan.
Lanjut Mahfud, bahwa menurut penjelasan Gus Dur, ia menangis terisakisak di perpustakaan itu karena merasa takjub setelah membaca karya filosof Yunani Aristoteles yang berjudul Etika Nikomakean.
Dari buku itu, Gus Dur menemukan filsafat yang sangat tinggi tentang manusia, masyarakat, dan negara, yang dasar-dasarnya telah terdapat di dalam Al-Qur‟an dan Sunah Nabi. Di buku itu, Gus Dur menemukan tentang asal-muasal manusia, perbedaannya, hingga tuntutan etika yang harus dilakukan oleh manusia dalam menjalani kehidupan.
Lompatan pemikiran Gus Dur lainnya juga lahir dari adanya persinggungan dirinya dengan aktivitas NGO Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) pada tahun 1970-an.
Di lembaga tersebut, Gus Dur berkenalan dengan kaum intelektual muslim progresif dan sosial demokrat, seperti Adi Sasono, Aswab Mahasin, Dawam Rahardjo dan beberapa tokoh lainnya.
Setelah mengambil bagian dalam usaha pembangunan pesantren yang dilaksanakan di LP3ES, pada tahun 1980-an, Gus Dur kemudian melanjutkan programnya tersebut melalui Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) di mana beberapa pendirinya juga terlibat dalam proyek LP3ES.
Adanya kontribusi Gus Dur dalam membangun pesantren telah berhasil menciptakan berbagai kemajuan di dalam tubuh pesantren. Hasilnya, pesantren dewasa ini tumbuh menjadi suatu institusi pendidikan yang berhasil mencetak para lulusan yang memiliki kualitas yang handal dan profesional, sehingga mampu bersaing dalam dunia intelektual dan birokrasi.
Pengalaman di LP3ES dan P3M telah membuka mata Gusdur bahwa pengembangan suatu institusi atau pranata keagamaan dapat meminjam berbagai konsep sekuler (non-agama) dan juga pandangan agama-agama lain.
Persentuhan Gus Dur dengan berbagai tradisi, yang dimulai dari tradisionalisme pesantren, islamisme, nasionalisme dan sosialisme Arab, filsafat Timur dan Islam, dan juga filsafat dan ilmu sosial Barat, telah banyak mempengaruhi dan membentuk watak eklektik pada pemikiran Gus Dur.
Adanya kekayaan tradisi yang telah bersinggungan dengannya pada akhirnya membuat Gus Dur sangat menghargai adanya pluralisme sosial, agama, dan budaya. Dan dapat dikatakan, bahwa sepanjang hidupnya, Gus Dur sangat gigih dan konsisten memperjuangkan pluralisme melalui gerbong NU yang selama ini telah membesarkan namanya.