Istilah Halal Bihalal Ternyata Hanya ada Di Indonesia Lho, Ini Sejarahnya

Halal Bihalal

Pecihitam.org – Ketika Hari Raya Idul Fitri tepatnya setelah shalat Id, salah satu budaya masyarakat Indonesia yang selalu dilakukan adalah halal bihalal. Tradisi dan budaya ini adalah ajang saling bersilaturahim untuk bermaaf-maafan kepada keluarga dan sanak saudara ataupun kolega. Apalagi bagi yang jauh dirantau biasanya juga jadi waktu berbagi cerita setelah satu tahun kiranya tidak berjumpa.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Namun, tahukah kamu bahwa ternyata istilah halal bihalal hanya ada di Indonesia? Bahkan istilah ini sempat bikin bingung para pakar karena setelah dikaji mengenai maknanya ternyata tidak ditemukan dalam Al-Quran dan Hadits.

Daftar Pembahasan:

Sejarah Halal Bihalal

Usut punya usut, istilah halal bihalal ini ternyata memiliki kisah sejarah yang sangat menarik. Mulanya istilah ini disebutkan oleh KH Abdul Wahab Chasbullah seorang ulama besar yang merupakan salah seorang pendiri Nahdlatul Ulama.

Penggunaan istilah halal bihalal ini dilatarbelakangi atas keresahan KH Wahab Chasbullah pada kondisi bangsa Indonesia yang saat itu belum lama merdeka, sedangkan para elit politiknya dan petinggi negara justru tidak akur dan saling berseteru. Apalagi sekitar tahun 1948, Indonesia sedang mengalami pemberontakan yang dilaukan oleh DI/TII dan juga PKI di Madiun.

Dikisahkan menurut riwayat dari Kiai Masdar, pada pertengahan bulan Ramadan KH Wahab Chasbullah dan Presiden Soekarno bertemu ke Istana Negara. Presiden Soekarno menyampaikan rasa gelisahnya mengenai situasi politik yang sedang tidak sehat tersebut dan meminta nasehat dari Kiai Wahab.

Karena Hari Raya Idul Fitri hampir tiba, di mana seluruh umat Islam disunahkan bersilaturrahim, KH Wahab Chasbullah lantas memberi saran kepada Presiden Soekarno untuk mengadakan acara silaturahim dengan para elit politik dan masyarakat. Namun, Soekarno kurang setuju dengan sebutan “Silaturahim”, Bung Karno menjawab, “Silaturrahim kan biasa, saya ingin istilah yang lain”.

“Itu gampang,” kata Kia Wahab. “Begini, para elit politik tidak mau bersatu, itu karena mereka saling menyalahkan. Saling menyalahkan itu, kan dosa. Dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan sehingga silaturahmi nanti kita pakai istilah halal bihalal,” jelas Kiai Wahab.

Baca Juga:  Ngabuburit, Menunuggu Berbuka Puasa yang Diisi dengan Santai, Mencari Takjil hingga Tausiyah

Istilah halal bihalal berasal dari kalimat ‘thalabu halal bi thariqin halal’ yang artinya mencari keharmonisan hubungan atau mencari penyelesaian masalah dengan cara mengampuni kesalahan. Bung Karno pun setuju penyebutan “silaturahmi khusus Idul Fitri” dari Kiai Wahab tersebut.

Kemudian di Hari Raya Idul Fitri tahun tersebut, Presiden Soekarno lantas mengadakan halal bihalal mengundang seluruh kalangan dari elit politik dan masyarakat umum untuk datang ke Istana. Mereka duduk bersama, berbincang, dan saling memaafkan.

Seiring berjalannya waktu ternyata gelaran ini menjadi tradisi dan budaya yang berketerusan di Indonesia hingga kalangan masyarakat dan dimaknai sebagai acara ‘sah’ untuk bermaaf-maafan di Hari Raya Idul Fitri setiap tahunnya.

Begitu mendalam perhatian seorang Kiai Wahab Chasbullah demi persatuan seluruh komponen bangsa yang saat itu sedang dalam perseteruan politik dan berpotensi memecah belah bangsa. Bahkan Kiai Wahab secara filosofis sampai memikirkan istilah yang tepat guna menggantikan istilah silaturrahim yang menurut Bung Karno terdengar biasa, sehingga kemungkinan akan ditanggapi biasa juga oleh para tokoh yang sedang berkonflik tersebut.

Tujuan utama Kiai Wahab untuk menyatukan para tokoh bangsa yang sedang berkonflik, dan juga menuntut para individu yang mempunyai salah dan dosa untuk meminta maaf kepada orang yang pernah disakiti dengan hati yang lapang. Begitu juga dengan orang yang dimintai maaf agar secara lapang dada memberikan maaf.

Sehingga maaf-memaafkan mewujudkan makna Idul Fitri itu sendiri, yaitu kembali pada jiwa dan hati yang suci tanpa noda. Dan kini, akhirrnya praktik halal bihalal yang dilakukan oleh umat Islam Indonesia lebih dari sekadar memaknai silaturrahim saja.

Perdebatan Istilah Halal Bihalal

Bagi umat Islam Indonesia, Idul Fitri dan Halal Bihalal ibarat dua sisi mata uang yang tak bisa terpisahkan; saling berkelit kelindan, seiring seirama mempercantik nuansa masing-masing.

Hari Raya Idul Fitri merupakan perayaan tahunan yang eksistensinya memang ditetapkan oleh syariat. Lain halnya dengan Halal bi Halal yang status syar’i-nya pernah menjadi perdebatan oleh sebagian kalangan, karena ia merupakan produk asli Indonesia baik sisi penamaannya maupun cara pelaksanaannya.

Ada sebagian kalangan yang enggan memakai istilah Halal bi Halal, dikarenakan menurut mereka, istilah itu secara gramatika Bahasa Arab salah kaprah. Bahkan sampai ada kalangan yang menentang praktik tradisi ini apalagi isinya adalah kegiatan saling memafkan.

Baca Juga:  Bukti Sejarah Istighotsah Dan Tawassul Amalan Ulama Salaf Dan Khalaf

Alasan mereka bahwa mengkhususkan maaf hanya pada Hari Raya Idul Fitri itu bid’ah dan tidak dibenarkan secara syariat. Namun hemat kami, semuanya harusnya menyadari bahwa tujuan Halal bi Halal adalah mengharmoniskan hubungan kekerabatan.

Memang para pakar jika mencari istilah dan penjelasan tentang Halal Bihalal tidak akan menemukannya dalam Al-Qur’an atau Hadis. Karena istilah itu memang khas Indonesia. Bahkan pengertiannya akan membingungkan bagi kalangan yang bukan bangsa Indonesia, meski mungkin yang bersangkutan paham ajaran agama dan bahasa Arab sekalipun. Mengapa?

Karena selain istilah itu bukan dari syariat langsung, juga muncul secara historis dan filosofis oleh Kiai Wahab Chasbullah untuk menyatukan bangsa Indonesia yang sedang dilanda kriris persatuan. Sehingga harus menyajikan bungkus baru yang menarik agar mereka mau berkumpul dan bersatu saling maaf-memaafkan.

Makna Halal Bihalal

Terkait dengan makna yang terkandung dalam istilah halal bihalal, ahli Tafsir Al-Qur’an asal Indonesia prof. Muhammad Quraish Shihab menjelaskan sejumlah aspek guna memahami filosofi dari istilah yang digagas Kiai Wahab Chasbullah tersebut.

Berdasarkan tinjauan bahasa, kata halal sendiri diambil dari kata halla atau halala yang bermakna menyelesaikan masalah atau kesulitan atau meluruskan benang kusut atau mencairkan yang membeku atau melepaskan ikatan yang membelenggu. Oleh sebab itu, halal bihalal dimaknai sebagai bentuk menyambungkan kembali apa-apa yang terputus.

Selaras dengan Ajaran Islam

Tradisi halal bi halal setelah Idul Fitri memang hanya ada di Indonesia. Meski tidak ada tuntunan langsung dalam syariat, namun maksud dan tujuan tradisi tersebut sangat sesuai dengan hadits Nabi Muhammad Saw:

مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَحَدٍ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَيْءٌ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ لاَيَكُوْنَ دِيْنَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّــــئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ

“Barangsiapa yang telah menganiaya kepada orang lain baik dengan cara menghilangkan kehormatannya ataupun dengan sesuatu yang lain maka mintalah halalnya pada orang tersebut seketika itu, sebelum adanya dinar dan dirham tidak laku lagi (sebelum mati). Apabila belum meminta halal sudah mati, dan orang yang menganiaya tadi mempunyai amal sholeh maka diambilah amal sholehnya sebanding dengan penganiayaannya tadi. Dan apabila tidak punya amal sholeh maka amal jelek orang yang dianiaya akan diberikan pada orang yang menganiaya”. (HR. Al Bukhori)

Rosululloh saw bersabda :

Baca Juga:  Alam dalam Pandangan Metafisika Islam dan Timur

إِذَا الْتَقَيَا فَتَصَافَحَا تَحَاتَتْ ذُنُوْبُهُمَا

“Sesungguhnya apabila dua orang islam bertemu kemudian bersalaman maka gugurlah dosa dari keduanya.”

مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلاَّ غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَتَفَرَّقَا

“Tidak ada dua orang muslim yang bertemu kemudian bersalaman kecuali dosa keduanya diampuni oleh Allah swt sebelum mereka berpisah.” (HR. Tirmidzi)

Selain itu, budaya silaturrahim dengan saling berkunjung ke rumah saudara juga merupakan perintah Allah Swt sebagaimana firman-Nya:

وَالَّذِيْنَ يَصِلَوْنَ مَا أَمَرَ اللهُ بِهِ أَنْ يُوْصَلَ

“Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah swt perintahkan supaya dihubungkan (Yaitu mengadakan hubungan silaturahim dan tali persaudaraan).” (QS. Ar Ra’du : 21)

Rasulullah Saw juga menerangkan tentang keutamaan silaturahim sebagaimana sabda beliau:

مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ عَلَيْهِ فِي رِزْقِهِ وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

“Barangsiapa ingin dilapangkan rizqinya dan dipanjangkan umurnya, hendaknya ia menghubungkan tali persaudaraan (silaturrahim).” (HR. Bukhori)

لَا يَدْخُلُ اَلْجَنَّةَ قَاطِعٌ يَعْنِي قَاطِعَ رَحِمٍ

“Tidak akan masuk surga seorang pemutus, yaitu pemutus tali persaudaraan.” (HR. Bukhori dan Muslim).

Nah, semoga di hari yang Fitri semua bisa saking silaturahim dan bermaaf-maafan. Dan semoga rahmat dan berkah dari Allah Swt senantiasa berlimpah kepada kita semua. Amiin.

Arif Rahman Hakim
Sarung Batik