Pecihitam.org – Pemahaman Wahabi pada dasarnya sangat rapuh, sehingga ajaran mereka sebenarnya tidak diterima oleh mayoritas Umat Islam ASWAJA. Kitab ulama mereka tidak begitu dikenal dan diakui oleh Umat Islam ASWAJA.
Oleh sebab itu mereka mencoba memasukan fahaman mereka yang rapuh itu melalui Al Qur´an dan kitab Ulama Mu´tabar ASWAJA yang menjadi rujukan Umat Islam ASWAJA.
Mereka memasukan fahaman mereka itu dengan cara yang licik yaitu:
- Mentahrif (mengubah) text kitab-kitab Ulama Mu´tabar
- Menambah catatan kaki pada kitab-kitab itu, di antaranya dalam Kitab Riyadush Sholihin tulisan Imam An Nawawi, yang buktinya terlampir di bawah ini.
- Melalui catatan kaki Mushaf Al Qur´an.
Berikut ini Kitab Riyadush Sholihin yang telah mereka tambahkan dengan catatan kaki dari pemahaman Tauhid 3 serangkai:
Perhatikan catatan kaki yang menutup seluruh halaman 69 dalam permulaan Bab 3 tentang Sabar.
Mereka mencoba memasukan fahaman mereka tentang Sifat Allah Istawa atas Arasy pada point (2). Dikatakan disitu : Allah berada di atas langit, di atas ArasyNya.
Mereka membahas ayat Mutasyabihat dengan ayat Mutasyabihat akhirnya menghasilkan pemahaman syubhat (samar, tidak jelas) dan mujassim (memahami Allah berjisim/bertubuh). Mereka memahami Allah menempati tempat di atas langit, di atas Arasy sedang langit dan Arasy adalah makhluk yang pernah tidak ada.
Jadi ada perubahan pada posisi/keadaan/sifat Dzat Allah dari “sebelum diciptakannya langit dan Arasy” kepada “setelah langit dan Arasy diciptakan“. Subhanallah, Maha Suci Allah dari apa yang disifatkan itu.
Pemahaman yang syubhat dan mujassim ini bertentangan dengan pemahaman Ahlussunnah Wal Jama´ah, sebab Dzat Allah tidak terikat dengan waktu dan tempat seperti makhluk, sebab waktu dan tempat/ruang adalah makhluk. Allah wujud (ada) tanpa perlu adanya tempat dan waktu. Dzat Allah tidak berubah ketika sebelum dan sesudah makhluk (termasuk waktu dan ruang) diciptakan.
Kaidah mereka dalam membahas Sifat Allah konon tanpa mentahrif (mengubah), tanpa ta´thil (menolak) dan tanpa takyif (bertanya bagaimana) Sifat Allah itu. Maka jika disebut istawa, maka makna istawa tidak diubah dan tidak ditolak.
Namun anehnya ketika membahas Sifat Rububiyah Allah yang amat penting justru mereka mentahrif dan menta´thil maknanya.
Akar kata Rububiyah adalah sama dengan akar kata Tarbiyah, Murobbi, Robbayani (dalam doa untuk orang tua) yang artinya adalah Mendidik dan Memelihara yang erat dengan Kasih Sayang.
Tetapi justru makna ini dita´thil (ditolak/dibuang) dan tidak dibahas sama sekali dalam Tauhid Rububiyah, sehingga keluar kesimpulan “bahwa orang kafir mengakui Tauhid Rububiyah“.
Dengan berlandaskan ayat Qur´an tentang pengakuan orang kafir terhadap Allah. Yaitu pengakuan Allah yang memberi rezeki. Maka mereka telah mentahrif (mengubah) makna memberi rezeki menjadi Rububiyah, seolah-olah itulah makna Rububiyah keseluruhannya.
Dalam halaman 273 dan 274 Ulama Tauhid 3 serangkai berusaha memasukan fahaman yang Syubhat dan Mujassim dalam catatan kaki kitab Riyadush Sholihin karangan mereka bahwa Dzat Allah berada di atas
Tangan kita menengadah ke atas ketika berdoa adalah memang fitrah. Menurut Ahlussunnah Wal Jama´ah Asy´ariyyah/Maturidiyah bukanlah berarti Dzat Allah berada di atas seperti yang difahami oleh ulama Wahabi, melainkan difahami bahwa kiblat berdoa kita adalah ke atas.
Ini menunjukan hinanya kita sebagai hamba Allah yang lemah dan Maha Agung dan MuliaNya Allah sebagai Tuhan Maha Pencipta.
Mengapa kita perlu kiblat (arah) dalam beribadah kepada Allah? Sebab kita ini makhluk Allah yang terikat tempat dan waktu. Karena kita terikat tempat maka kita mempunyai 6 arah mata angin utama (atas, bawah, depan, belakang, kiri dan kanan).
Allah adalah Khaliq yang tidak serupa dengan makhluk dan tidak bergantung pada makhluk. Allah Wujud tanpa memerlukan dan terikat dengan waktu dan tempat. Waktu dan tempat adalah makhluk Allah.
Dalam ibadah berdoa arah kiblat kita adalah ke atas, dalam ibadah sholat arah kiblat kita adalah Ka´bah. Oleh sebab itu ketika kita berdoa berjama´ah kita duduk atau berdiri melingkar sambil menengadahkan tangan ke atas, karena kiblat berdoa adalah ke atas, tapi bukan berarti Dzat Allah berada di atas.
Demikian juga ketika kita sholat berjamaah, kita berdiri berbaris bershaf-shaf untuk sama-sama menghadap kiblat sholat yaitu Ka´bah di Mekkah, tetapi bukan berarti Dzat Allah berada di dalam Ka´bah. Wallahu A´lam
Source: Pemudade
- Mengenal Imam Abu al-Hasan al-‘Ijli Pengarang Kitab al-Tsiqat - 09/03/2024
- Menteri Agama RI Luncurkan PMB PTKIN 2024 - 20/01/2024
- Gagasan tentang Pluralisme Menurut Para Sufi, Filsuf dan Faqih - 18/01/2024