Hati Ustadz Ini Terbuka untuk Kembali ke Ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah

Hati Ustadz Ini Terbuka untuk Kembali ke Ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah

Pecihitam.org – Setelah didoakan Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki, hatinya terbuka untuk kembali mengikuti ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah secara utuh tanpa terpengaruh paham Wahabi lagi. Untuk ukuran orang Melayu, perawakan tokoh ini cukup besar, meskipun tidak terlampau tinggi dan tidak pula terlalu gemuk. Kulitnya bersih dan penampilannya rapi. Orangnya ramah, mudah diajak berbincang-bincang, dan cepat akrab. Sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda kesombongan meskipun ia sosok yang memiliki banyak kemampuan, baik keilmuan maupun yang lainnya, dengan pengalaman yang luas di berbagai negara.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Tengku Mohd Fouzy bin Tengku Mahid Jumat, demikian nama lengkap tokoh ini. Ustadz Fouzy adalah nama yang tak asing lagi bagi muslimin Singapura. Betapa tidak, kegiatan dakwah dan pendidikan Islam di sana banyak yang berkaitan dengan dirinya. Sejak akhir 1980-an hingga kini ia eksis sebagai tokoh yang menyuarakan dakwah Islam berdasarkan paham Ahlussunnah wal Jama’ah di Singapura. Namun untuk sampai pada pilihan itu secara mantap perlu waktu yang tidak sebentar.

Tokoh ini lahir tanggal 8 November 1955 di Singapura, yang juga tempat lahir ayah-ibunya. Ia putra kedua pasangan Tengku Mahid Jumat, yang berasal dari Aceh, dan Hajjah Salmah binti Haji Abdul Halim, berasal dari Melaka. Selain saudara sekandung, ia juga punya empat kakak lain ibu.
Sejak sekolah rendah (SD) hingga sekolah menengah, ia belajar di sekolah negeri. Sambil bersekolah, ia belajar kepada Kiai Kasim dengan mempelajari kitab-kitab Jawi (Arab Melayu), seperti Siyarus-Salikin, Sabilal Muhtadin.

Selepas sekolah menengah, dalam usia sekitar 16 tahun, ia pergi ke India untuk belajar di Madrasah Sabilur-Rasyad, Bangalore, atas rekomendasi dari Jamaah Tabligh, karena sebelumnya aktif di perkumpulan ini.

Ia sebenarnya senang belajar di madrasah yang terletak di kawasan pegunungan ini. Tempatnya bagus dan udaranya pun sejuk. Guru-gurunya para pengikut tasawuf yang akhlaqnya bagus. Sayangnya ia hanya sempat belajar tujuh bulan di sini. Kendalanya adalah faktor bahasa. Untuk mempelajari bahasa Arab dan ilmu-ilmu agama ia harus menggunakan bahasa Urdu, sedangkan ia tidak memahami bahasa tersebut. Tentu hal itu menyulitkannya. Tetapi keberadaannya di sana tidak sia-sia, karena selama tujuh bulan itu ia sempat mengikuti pelajaran Tahfizhul Qur’an.

Setelah itu, beberapa pelajar Malaysia menyarankannya untuk belajar di Kedah, Malaysia, di sebuah pondok bernama Mishbahul Falah. Maka pada tahun 1973, dalam usia 17 tahun, ia melangkahkan kaki menuju Kedah, tepatnya di Lanai, sebuah kampung di kawasan Baling, Kedah. Pendiri sekaligus pemimpin ma`had saat itu adalah Syaikh Umar Zuhdi, seorang alim yang sempat belajar selama lima tahun di Makkah. Sekitar dua tahun ia menimba ilmu di sini.

Baca Juga:  Aktivis Salafi Wahabi Ini Hampir Gila Karena Doktrin Bid'ah

Pada tahun 1975, ibundanya ingin menunaikan ibadah haji dan mengajaknya untuk menemani. Setelah menunaikan haji, ia terus bermukim di sana menuntut ilmu. Selama dua tahun ia dapat mengikuti pengajian para ulama di Masjidil Haram.

Selama di Makkah, Ustadz Fouzy juga belajar di Darul Ulum, madrasah terkenal di sana yang menjadi salah tujuan para penuntut ilmu agama, khususnya yang datang dari Nusantara. Ia pun sempat mengikuti pelajaran di Madrasah Shaulatiyah, sebuah madrasah terkenal pula. Di antaranya gurunya di sini adalah Syaikh `Iwadh Al-Yamani dan Syaikh Ismail Al-Yamani. Kegiatan lainnya, setiap hari Jum’at Ustadz Fouzy bersama beberapa kawannya dan Syaikh Ismail Al-Yamani mendatangi rumah Syaikh Hasan Masysyath untuk mengikuti pengajian kitab Ihya` Ulumiddin.

Demikianlah, antara tahun 1975 hingga 1977, ia belajar di Darul Ulum sekaligus menimba ilmu di luar madrasah kepada para ulama Makkah, di antaranya menghadiri pengajian di halaqah Sayyid Muhammad Al-Maliki, yang ketika itu masih mengajar di Masjidil Haram. Guru-guru lainnya di Makkah adalah Syaikh Muhammad Quthb dari India (bukan Syaikh Muhammad Quthb Mesir), Syaikh Abdul Hamid Jaha, yang berasal dari Indonesia, Syaikh Abdul Karim Banjari, dan Syaikh Ali Cahya, ulama dari Patani, Thailand Selatan.

Setelah selesai jenjang Mutawassith (setingkat Tsanawiyah/SLTP di Indonesia) di Darul Ulum, ia masuk kelas I tingkat Tsanawiyah (setingkat Aliyah/SLTA di Indonesia). Tapi kemudian ia direkomendasikan oleh Ar-Rabithah Al-Islamiyyah untuk masuk perguruan tinggi di Madinah, yakni Al-Jami`ah Al-Islamiyyah. Ia pun mengajukan permohonan dan alhamdulillah diterima. Tetapi sebelumnya ia mengikuti dulu tingkat-tingkat persiapan selama empat tahun, yakni satu tahun di kelas persiapan Bahasa Arab dan tiga tahun berikutnya di tingkat tsanawiyah yang berada di bawah universitas ini.

Setelah itu ia langsung masuk Kulliyyatusy-Syari`ah (Fakultas Syariah) dan dapat selesai dalam waktu empat tahun. Pada tingkat I, II, dan III, ia mendapatkan predikat mumtaz (istimewa), sedangkan pada tingkat IV ia meraih jayyid jiddan (sangat baik). Jadi, waktu yang dihabiskannya belajar di Madinah adalah delapan tahun.

Ia kemudian disarankan melanjutkan pendidikannya ke tingkat magister di universitas yang sama. Tapi ia berpikir, tidak boleh berlaku zhalim terhadap diri sendiri. Saat itu ia berada di antara dua pemahaman keagamaan yang berbeda yang membuatnya seperti terombang-ambing. Di satu sisi, dalam waktu yang lama selama belajar di Singapura, Malaysia, dan Makkah, ia mendapatkan didikan para ulama Ahlussunnah, yang berpegang teguh pada paham Asy`ari. Tetapi di sisi lain, ketika belajar di Madinah ia dididik dalam lingkungan yang kental warna Wahabi-nya, yang sedikit banyak mempengaruhi dirinya.

Baca Juga:  Masya Allah!! Akhwat Ini Meninggalkan Salafi Wahabi, Ini Alasannya

Benar, ataukah Sesat?

Agar adil terhadap dirinya dan tidak terombang-ambing, ia memutuskan untuk mengambil ilmu dari sumber yang lain lagi. Maka setelah pulang ke Singapura tahun 1985, di awal 1986 pergilah ia ke Kairo. Saat itu ia mengajukan permohonan di Universitas Al-Azhar dan Universitas Kairo. Karena lebih dulu diterima di Universitas Kairo, ia pun segera mengikuti pelajaran di sini sambil menunggu diterima di Universitas Al-Azhar. Setelah diterima di Al-Azhar, ia pun pindah ke sana.

Baru sekitar dua minggu belajar di Al-Azhar, ibunya mulai menderita sakit dan memintanya pulang agar bisa menemaninya. Terpaksa ia membatalkan niatnya untuk melanjutkan pelajaran di sana dan langsung kembali ke Singapura.

Di negerinya, mulailah Ustadz Fouzy mengabdikan diri mengajar di samping tetap mendekatkan diri dengan para ulama untuk mengambil manfaat ilmu dan keberkahan dari mereka. Tempat pengabdiannya yang pertama di lembaga pendidikan formal adalah di Madrasah Al-Junaid Al-Islamiyyah, sekolah Islam yang termasyhur di sana. Mulai tahun 1987 ia pun menjadi imam eksekutif di Masjid Darul Aman di Jalan Eunos, Singapura. Yang dimaksud imam eksekutif adalah imam yang bukan hanya memimpin shalat dan ibadah lain, tetapi juga mengelola dakwah secara keseluruhan di masjid itu.

Selama sekitar lima tahun ia juga mengajar di Persatuan Guru-Guru Agama Islam Singapura (Pergas) setiap hari Sabtu dan hari Ahad dengan menyampaikan beberapa materi keagamaan, seperti aqidah, fiqih, tafsir, hadits, akhlaq.

Pada tahun 1990 ia mulai membawa rombongan haji dan umrah ke Tanah Suci di beberapa perusahaan travel yang menggunakan tenaganya sebagai pembimbing. Empat tahun kemudian, 4 Juli 1994, secara resmi ia membuka usaha travel haji dan umrah sendiri yang kini tidak hanya khusus melayani haji dan umrah saja tetapi juga wisata-wisata Islami ke berbagai negeri. Aktivitasnya ini membuatnya terlibat di AMTAS (Association of Muslim Travel Agents Singapore, Asosiasi Agen Perjalanan Muslim Singapura). Ia kini menjabat presidennya untuk periode ketiga secara berturut-turut.

Sejak dua tahun yang lalu ia pun diberi kepercayaan untuk duduk di Lajnah (Lembaga) Majelis Fatwa pada Majelis Ugama Islam Singapura (MUIS). Sebulan sekali majelis ini bersidang membahas persoalan-persoalan yang dihadapi umat Islam Singapura yang hasilnya selalu dibukukan dan disebarluaskan. Masih banyak lagi aktivisnya yang lain, baik di MUIS maupun yang lainnya.

Baca Juga:  Sejarah Awal Mula Munculnya Sajadah Sebagai Alas Shalat

Selain usaha travel, ia juga mendirikan usaha penyembelihan ayam halal pada tahun 1996 yang terus dijalaninya hingga kini. “Sebelumnya yang membuka usaha penyembelihan ayam halal adalah orang-orang non-muslim, sehingga tidak dapat dipastikan kehalalannya. Meskipun tidak banyak menguntungkan, bahkan terkadang membawa kerugian, tetap saya jalani, karena saya pandang sebagai fardhu kifayah,” katanya.

Kesibukannya menangani usaha travel tak membuatnya melalaikan tugas utamanya untuk mengajar dan berdakwah. Ia tetap membuka kelas-kelas pengajian di beberapa masjid di Singapura yang telah dijalaninya sejak lama.

Saat baru kembali ke Singapura, ia sedikit banyak masih membawa gaya dan cara, serta beberapa pemikiran Wahabi yang keras. Ia pun merasa tidak harus terikat dengan madzhab, meskipun tidak anti madzhab. Karena, walaupun lama belajar di lembaga pendidikan yang kuat Wahabi-nya, ia punya bekal ilmu yang didapatnya di pesantren dan dari ulama-ulama Makkah yang sealiran dengan para gurunya di Singapura dan Malaysia. Namun pengaruh Wahabi itu membuatnya longgar dalam berpegang dengan madzhab.

Keadaan demikian, yang seperti terombang-ambing itu, membuatnya tidak nyaman. Maka ketika sedang membawa jama’ah haji atau umrah, di Masjidil Haram ia bermohon kepada Allah agar diberikan petunjuk apakah pemahaman Wahabi itu benar ataukah sesat.

Setelah berdoa, ia pun mengunjungi gurunya, Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki.

Sayyid Muhammad memberikan ijazah kepadanya dan mendoakannya. Dari gurunya ini Ustadz Fouzy mendapatkan ijazah ammah (ijazah umum) dari semua sanad yang dimilikinya.

“Setelah itu hati saya pun terbuka untuk kembali mengikuti ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah secara utuh tanpa terpengaruh lagi paham Wahabi,” katanya. Ia bersyukur karena hingga saat ini dapat mempertahankan aqidah Ahlussunnah dan bermadzhab Syafi`i sebagaimana asalnya.

Kini dengan dibantu para ustadz lain, di antaranya Ustadz Hasan Saifour Rijal, murid dan sekaligus kini menjadi sahabatnya dalam dakwah, ia mencoba menjelaskan kepada kaum muslimin, khususnya di Singapura, ihwal masalah-masalah aqidah yang sangat perlu diketahui umat. Di antaranya mengenai bagaimana sebenarnya pemahaman-pemahaman Wahabi dan bagaimana pandangan-pandangan Ahlussunnah dalam menolaknya.

Source: Majalah Alkisah

Redaksi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *