Hukum Bangkai Hewan yang Darahnya Tidak Mengalir, Najis atau Tidak?

hukum bangkai hewan

Pecihitam.org – Seringakali kita temui bangkai hewan yang berserakan dimana-mana dengan keadaan berdarah, namun darah tersebut sedikit; dalam artian ia tidak mengalir, terlebih pada hewan yang bertubuh kecil, seperti nyamuk, lakat, cicak, dll. Nah, bagaimana hukum bangkai dari hewan-hewan tersebut? najis atau tidak?

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayah al-Mujtahid menyebutkan bahwa para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Imam Malik dan para pengikutnya berpendapat bahwa, hukum bangkai hewan yang tidak memiliki darah tidaklah najis.

Sedangkan menurut Imam Syafii, hukum bangkai hewan yang memiliki darah dan yang tidak memiliki darah, keduanya sama-sama najis. Kecuali hewan yang masuk dalam kesepakatan ulama bahwa ia bukan bangkai, seperti belatung, cuka, dan semua binatang yang timbul dari makanan.

Sebagian ulama yang lain menyamakan antara hewan darat dan
hewan laut, lalu memberikan pengecualian hewan yang tidak memiliki
darah, dan inilah pendapat Abu Hanifah.

Sebab perbedaan pendapat diantara mereka adalah perbedaan dalam memahami firman Allah SWT:

Baca Juga:  Menelusuri Jejak Tradisi Haul yang Selalu Dianggap Bid'ah oleh Wahabi

حرّمت عليكم الميتة

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai.” (Qs.Al Maa.idah: 3)

Ibnu Rusyd berpendapat para ulama bersepakat bahwa ayat tersebut termasuk kalimat yang umum, namun mereka berbeda pendapat dalam kekhususannya.

Diantara mereka ada yang mengecualikan bangkai laut dan hewan yang tidak memiliki darah, ada juga yang mengecualikan hewan laut saja, dan sebagian yang lain mengecualikan hewan yang tidak memiliki darah saja.

Jadi sebab perbedaan dalam pengecualian ini berotasi pada perbedaan mereka dalam dalil yang dikhususkan. Adapun kelompok yang menetapkan hewan yang tidak memiliki darah sebagai pengecualian.

Hujjah mereka adalah hadits shahih dari Rasul SAW tatkala memerintahkan untuk menenggelamkan lalat yang hinggap ke dalam makanan, mereka berkata,

“Ini menunjukkan sucinya lalat tersebut, dan tidak ada lagi alasan yang tepat, kecuali bahwa lalat tersebut adalah binatang yang tidak memiliki darah.”

Sementara Imam Syaf i berpendapat bahwa hal ini adalah kekhususan
lalat, dengan dalil sabda Nabi SAW,

 إذا وقع الذباب في إناء أحدكم فإنّ في أحد جناحيه داء وفي الآخر شفاء وإنّه يتقي بجناحيه الذي فيه الداء فليغمسه كله ثم لينتزعه

Baca Juga:  Hewan yang Diharamkan Menurut Kitab Bidayatul Mujtahid

“Jika ada lalat yang hinggap di salah satu wadah kalian, maka sesungguhnya di salah satu sayapnya terdapat penyakit dan yang lainnya terdapat obat”

Imam Syafi’i melemahkan hadits tentang lalat yang dicelupkan ke makanan sebagai dalil, bahwa darah tersebut termasuk darah yang di maafkan, dengan menyebutkan bahwa lalat termasuk kekhususan yang disebutkan oleh Nabi, jadi ia bukan termasuk hewan yang mempunyai darah tidak mengalir.

Imam Syafi’i juga berpendapat bahwa darah termasuk jenis perkara yang najis. Maka ia tidak bisa disamakan dengan bangkai laut yang halal hukumnya. Yang mana bangkai laut merupakan hewan yang disepakati oleh ulama bahwa ia halal hukumnya tanpa disembelih. Sedangkan darah tidak berlaku baginya hukum penyembelihan. Maka dua hal tersebut tidak bisa disamakan.

Dari penjelasan diatas dapat dipahami bahwa hukum darah hewan yang tidak mengalir adalah tidak najis menurut Imam Malik dan pengikutnya, sedangkan menurut Imam Syafi’i adalah najis.

Baca Juga:  Penyebab Kekafiran Menurut Kitab Ummul Barahin

Maka untuk kehati-hatian, sebaiknya ketika kita menjumpai darah meskipun ia sedikit, untuk mensucikannya. Sebab bagaimanapun darah juga termasuk perkara yang kotor dan bisa jadi ia mengeluarkan bau busuk.

Dengan penjelasan tersebut semoga dapat membuka wawasan kita, agar tidak menghukumi sesuatu dengan satu hukum dan mendeskrimasi hukum lain, sebab para ulama pun sering berbeda pendapat dalam masalah furu’iyah. Semoga bermanfaat. Wallahu A’lam bisshowab. 

Nur Faricha