Hukum ber Make Up dalam Islam Menurut Hadits

Hukum ber Make Up dalam Islam Menurut Hadits

PeciHitam.org – Hampir semua wanita ingin tampil cantik dan sedap dipandang mata. Make up atau berhias adalah solusinya. Bisa dibilang, bagi kaum hawa, make up sudah termasuk kebutuhan utama dalam kesehariannya. Namun sudahkah mengetahui hukum bermake up dalam Islam?

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Perlu diketahui bahwasannya keluarnya seorang perempuan dalam keadaan berhias atau memakai minyak wangi dengan keadaan menutup aurat hukumnya makruh tanzih, tidak haram. Hal itu menjadi haram jika perempuan tersebut bertujuan atau ada niatan untuk pamer (mendapatkan pandangan mata) dari kaum laki-laki; artinya bertujuan membuat fitnah terhadap mereka.

Adapun hukum bermake up dalam Islam diqiyaskan dengan memakai wewangian. Ibnu Hibban, al-Hakim, an-Nasa’i, al-Baihaqi meriwayatkan dalam bab kemakruhan kaum perempuan untuk memakai minyak wangi, juga diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abi Musa al-‘Asy’ari dengan marfu’ kepada Rasulullah, ia bersabda:

أيما امرأة استعطرت فمرت على قوم ليجدوا ريحها فهي زانية

(Perempuan manapun memakai wewangian kemudian lewat pada suatu kaum (laki-laki) agara mereka mendapati baunya maka ia seorang pelaku zina).

At-Tirmidzi[63] dalam bab tentang kemakruhan keluar perempuan dengan memakai wewangian, juga dari hadits Abi Musa al-‘Asy’ari dengan marfu’ kepada Rasulullah, ia bersabda:

كل عين زانية، والمرأة إذا استعطرت فمرت بالمجلس فهي كذا وكذا

Baca Juga:  Lupa Tasyahud Awal Saat Shalat, Apa yang Sebaiknya Dilakukan?

(Setiap [kebanyakan] mata melakukan zina, dan perempuan jika ia memakai wewangian kemudian lewat di suatu majelis maka ia yang begini dan begini). Artinya ia seorang pelaku zina.

Hadits terakhir di atas dalam pengertian secara umum (Muthlaq), sementara hadits yang pertama dengan lafazh [ليجدوا ريحها] dalam pengertian yang dikhususkan (Muqayyad). Tujuan kedua hadits adalah sama. Karena itu maka pengertian yang umum (Mutlaq) harus dipahami dengan mengaitkannya dengan pengertian yang khusus (Muqayyad), sebagai mana kaidah ini telah menjadi keharusan dengan kesepakatan (Ijma’) mayoritas ulama, supaya kita terhindar dari konfrontasi dengan kesepakatan (Ijma’) mayoritas ulama tersebut.

Karena itu tidak ada seorangpun dari para ulama yang menyatakan haram secara mutlak bagi seorang perempuan keluar rumah dengan memakai wewangian. Pemahaman seperti ini sesuai dengan hadits ‘Aisyah yang diriwayatkan Abu Dawud dalam Sunan-nya, bahwa ia berkata[64]: “Kita [Isteri-isteri nabi] keluar bersama nabi menuju Mekah, dan kita melumuri wajah dengan misik wangi untuk ihram.

Jika salah seorang dari kami berkeringat, air keringatnya mengalir di atas wajahnya [membentuk guratan-guratan], dan nabi tidak mencegah”. Padahal Rasulullah dan isteri-isterinya berpakaian ihram dari Dzil Hulaifah; suatu tempat beberapa mil dari Madinah.

Baca Juga:  Niat Mandi Wajib Setelah Haid dan Tatacara Mandi Wajibnya

Hadits pertama di atas diriwayatkan oleh an-Nasa’i dan al-Baihaqi dalam satu bab yang keduanya menamakan bab tersebut dengan judul “Bab makruh bagi perempuan untuk memakai wewangian”. Lafazh makruh jika diungkapkan secara mutlak maka yang dimaksud adalah makruh tanzih, sebagaimana dinyatakan para ulama madzhab Syafi’i. Syaikh Ahmad ibn Ruslan berkata[65]:

وفاعل المكروه لم يعذب # بل إ ن يكف لامتثال يثب

(Seorang pelaku perbuatan makruh tidak disiksa, tetapi bila ia tidak melakukan perbuatan tersebut karena tujuan melaksanakan syari’at, ia diberi pahala).

Sebagaiman diketahuai al-Baihaqi adalah salah seorang ulama besar madzhab Syafi’i. Pemahaman mazdhab Syafi’i ini juga diambil oleh madzhab Hanbali dan Maliki. Artinya semua madzhab menyatakan bahwasannya lafazh “makruh” jika disebut secara mutlak maka yang dimaksud adalah “makruh tanzih”. Sedangkan dalam madzhab Hanafi, umumnya penyebutan tersebut untuk tujuan “makruh tahrim”; artinya pelaku perbuatan tersebut telah berdosa.

Dengan demikian, orang yang mengharamkan keluarnya perempuan dengan wewangian, akan bersikap apa terhadap hadits ‘Aisyah di atas yang merupakan hadits shahih, karena tidak ada seorang ahli haditspun (al-hafizh) yang menyatakan hadits tersebut dla’if. Adapun penyataan sikap dari seorang yang bukan ahli hadits tentu saja tidak ada gunanya, karena itu tidak memberikan pengaruh (sebagaimana disebutkan dalam kitab-kitab Musthalah al-Hadits).

Baca Juga:  Keringanan dalam Hukum Syariat Menurut Kaidah Ushul Fiqih

Wewangian yang dimakruhkan di sini ialah wewangian yang semerbak baunya, sebab lafazh haditsnya menyatakan [وريحها تعصف], dan lafazh [تعصف] untuk bau yang menyengat, tidak digunakan mutlak/umum bagi seluruh wewangian. Sebagaimana hal ini telah dijelaskan oleh para ahli bahasa.

Kesimpulan yang dapat kita pahami, bermake up atau menggunakan wewangian yang semerbak dihukumi makruh dan menjadi haram ketika ada niatan untuk menarik perhatian lawan jenis yang bukan muhrim atau suaminya sendiri. Perlu dipahami juga bahwasannya bermake up untuk suami diperbolehkan asalkan suami rela dan menyukai hal itu.

Mohammad Mufid Muwaffaq

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *