Hukum Berboncengan Dengan Bukan Mahram Dalam Islam

Hukum Berboncengan Dengan Bukan Mahram Dalam Islam

PeciHitam.org – Berboncengan dengan bukan mahram, masih menjadi polemik hingga saat ini. Dulu, hal seperti itu memang menjadi aib jika dilakukan karena kendaraan yang digunakan berbeda, bagaimanakah dengan sekarang?

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Seiring perkembangan zaman, manusia memiliki ketergantungan terhadap kendaraan dalam untuk memenuhi kebutuhan mobilitas, baik itu kendaraan pribadi maupun kendaraan umum, baik darat, laut maupun udara. Sekarang ini masyarakat cenderung memilih kendaraan yang murah, efisien, dan cepat untuk mencapai tujuan.

Kendaraan alternatif yang dipilih dan diminati oleh mayoritas masyarakat di Indonesia adalah sepeda motor. Sepeda motor mempunyai kompatibilitas tinggi dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Di Indonesia, baik pengendara maupun penumpang itu tidak mengenal adanya perbedaan kelamin, usia, maupun sara. Dalam pelaksanaannya di lapangan, karena tidak adanya perbedaan jenis kelamin, maka banyak pengendara sepeda motor yang saling berboncengan dengan bukan mahram. Hal tersebut memungkinkan timbulnya berbagai dampak termasuk di antaranya dapat menimbulkan fitnah.

Lalu bagaimanakah hukum berboncengan dengan bukan mahram dalam satu motor?

Hukum berboncengan tersebut tidak diperbolehkan kecuali bila bisa terhindar dari fitnah (hal-hal yang diharamkan) seperti :

  1. Tidak terjadi ikhtilath (persinggungan badan)
  2. Tidak terjadi kholwah (berkumpulnya laki-laki dan wanita di tempat sepi yang menurut kebiasaan umum sulit terhindar dari perbuatan yang diharamkan)
  3. Tidak melihat aurat selain dalam kondisi dan batas-batas yang diperbolehkan syara’
  4. Tidak terjadi persentuhan kulit
  5. Sedang bepergian bagi wanita untuk kepentingan ziarah atau yang lain menurut satu pendapat diperbolehkan, meski tidak disertai mahram apabila aman dari fitnah (hal-hal yang diharamkan).
Baca Juga:  Hukum Menggunakan Perkakas Emas dan Perak dalam Islam

Di dalam Islam, berboncengan dengan lawan jenis yang bukan mahram itu juga terjadi ketika zaman Rasulullah, yaitu ketika Rasulullah membawa Asma’ ra. (adik ipar Nabi) di Madinah, tatkala dia memikul beban yang berat di atas kepalanya. Maka, Rasulullah hendak merundukkan untanya agar bisa dinaiki Asma’, namun Asma’ lebih suka melanjutkan perjalanannya, dengan tidak menaiki (unta Nabi).

Dalam masalah ini perbandingan antara alat yang dikendarakan pada zaman nabi dan kendaraan pada zaman sekarang ini. Pada masa nabi kendaraan yang digunakan adalah onta sedangkan pada jaman sekarang ini adalah motor yang dimana sangat jauh berbeda diantara keduanya.

Perbedaan antara keduanya adalah onta memiliki punuk yang bisa dijadikan sebagai pembatas antara pengendara dan penumpangnya, sehingga antara keduanya tidak dapat saling bersentuhan. Sedangkan semua jenis motor tidak memiliki halangan antara pengendara dan penumpangnya sehingga hal ini dapat menyebabkan terjadinya sesuatu yang tidak dibolehkan seperti bersentuhannya badan yang bisa saja menimbulkan syahwat.

Jika bersinggungan secara langsung, maka dapat dihukumi haram. Namun jika ada yang menghalangi, maka hukumnya makruh. Ini berlaku juga jika ada anak ataupun tas yang berada di tengah-tengah antara pengendara dan pembonceng.

Menurut Imam Nawawi dalam karyanya Majmu Syarah Muhadzab berpendapat bahwa tidak diperbolehkan bagi seorang wanita berjalan sendirian untuk melaksanakan ibadah sunnah, berdagang dan selainya kecuali bersama mahramnya. Namun sebagian dari sahabat kami (ashabul wujuh dalam mazhab Syafi’i) berpendapat bahwa boleh hukumnya seorang wanita bepergian tanpa ditemani wanita-wanita lain jika perjalannya di anggap aman.

Baca Juga:  Hukum Dokter Laki-laki Periksa Pasien Wanita Menurut Islam

اخْتِلَاطَ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ إذَا لَمْ يَكُنْ خَلْوَةً لَيْسَ بِحَرَامٍ

Percampuran antara wanita dan pria asalkan tidak terjadi khalwat tidak diharamkan. [ Al-majmuu’ IV/350 ].

وَضَابِطُ الْخَلْوَةِ اجْتِمَاعٌ لَا تُؤْمَنُ مَعَهُ الرِّيبَةُ عَادَةً بِخِلَافِ مَا لَوْ قُطِعَ بِانْتِفَائِهَا عَادَةً فَلَا يُعَدُّ خَلْوَةً ا هـ . ع ش عَلَى م ر مِنْ كِتَابِ الْعِدَدِ

Batasan yang dinamai khalwat adalah pertemuan yang tidak diamankan terjadinya kecurigaan ke arah zina secara kebiasaan berbeda saat dipastikan tidak akan terjadi hal yang demikian secara kebiasaannya maka tidak dinamai khalwat.

Menurut pandangan Abdul Karim Zaidan dalam karyanya Mufasal Fi Ahkami Mar’ah.

Sesungguhnya asal hukum dalam masalah berkumpulnya seorang laki-laki dan wanita adalah haram. Namun dibolehkan berikhtilat antara laki laki dan perempuan jika memang terdapat dhorurah sariyah, hajat sariyah, maslahah sar’iyah atau karena hukum adat dalam beberapa keadaan berikut:

a. Ikhtilat yang di bolehkan sebab darurat:

  • Seorang laki-laki yang menolong seorang wanita padasaat wanita tersebut di kejar oleh seseorang yang akan menganiayanya.
  • Seorang laki-laki yang menemukan seorang wanita yang tesesat di jalan kemudian berjalan bersama ketempat yang di tujunya.

b. Ikhtilat yang di bolehkan sebab hajat sar’iyah

  • Berikhtilatnya laki-laki dan wanita untuk bermualah sariyah seperti jual beli, gadai, dan lainnya.
  • Berikhtilatnya laki-laki dan wanita untuk menghormati tamu.
  • Berikhtilatnya laki-laki dan wanita di dalam kendaraan umum untuk memenuhi hajat (kebutuhan hidup sehari-hari seperti berbelanja dan sebagainya).
Baca Juga:  Zakat Harta Warisan: Hukum dan Perhitungannya

c. Ikhtilat yang sudah menjadi sebuah hukum adat atau kebiasan masyarakat yangg bersifat positif :

Berihktilatnya lelaki dengan wanita di salah satu tempat berkumpul seperti lapangan upacara, auditorium atau saat mengunjungi salah seorang sahabat dengan catatan pakaian dan adab harus sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh syariat Islam dan hukum syariat, pandangan antara para lelaki dan wanita-wanita tersebut tidak terdapat syahwat dan tidak ada khalwat antara seorang lelaki dan seorang wanita.

Masalah ini juga pernah dibahas dalam forum Bahtsul Masail Ulama se-Jawa Timur. Dalam kajian forum menanggapi atas adanya jasa angkutan umum berupa motor yaitu ojek yang dimana mayoritas pengendaranya adalah laki-laki sedangkan penumpangnya adalah seorang wanita karena keterbatasan kemampuan seorang wanita yang tidak bisa mengendarai kendaraan pribadi. Hal tersebut juga dijadikan dasar kebolehan oleh para ulama se-Jawa Timur dari hasil putusan Bahtsul Masail.

Mohammad Mufid Muwaffaq

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *