Polemik Fatwa Hukum BPJS dalam Islam dan Solusi Jalan Tengah Bagi Masyarakat

hukum bpjs dalam islam

Pecihitam.org – BPJS Kesehatan adalah sebuah upaya pemerintah untuk memberikan pelayanan kesehatan gratis kepada masyarakat yang memang sedang membutuhkan. Namun sayangnya kehadiran BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan sejak 1 Januari 2014 ini mendapat bermacam respons dari masyarakat. Bahkan dalam syariat Islam para tokoh agama memberi perhatian serius mengenai hukum halal haram mengenai BPJS. Lantas seperti apa hukumnya? Berikut ulasannya.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Daftar Pembahasan:

Apa Itu BPJS?

Kesehatan merupakan hak dasar setiap orang, dan setiap warga negara berhak mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik. Dengan berbagi pertimbangan kebutuhan, termasuk menjalankan amanah UUD 1945, maka pemerintah melakukan beberapa upaya untuk meningkatkan kemudahan akses pada fasilitas kesehatan bagi masyarakat.

Kemudian, dituangkanlah dalam UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau kemudian disebut dengan BPJS Kesehatan.

Mengutip dari laman bpjs-kesehatan.go.id, BPJS Kesehatan merupakan Badan Hukum Publik yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden dan memiliki tugas untuk menyelenggarakan jaminan Kesehatan Nasional bagi seluruh rakyat Indonesia.

BPJS Kesehatan merupakan penyelenggara program jaminan sosial di bidang kesehatan yang berasal dari salah satu dari lima program Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), yaitu Jaminan Kesehatan, Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Hari Tua, Jaminan Pensiun, dan Jaminan Kematian sebagaimana tercantum dalam UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.

Untuk BPJS Kesehatan sendiri mulai beroperasi sejak tanggal 1 Januari 2014, sedangkan BPJS Ketenagakerjaan mulai beroperasi sejak 1 Juli 2015. BPJS Kesehatan dibentuk dengan modal awal yang dibiayai dari APBN dan selanjutnya memiliki kekayaan tersendiri yang meliputi aset BPJS Kesehatan dan aset dana jaminan sosial dari sumber-sumber sebagaimana ditentukan dalam undang-undang.

Adapun kewenangan BPJS Kesehatan meliputi seluruh wilayah Republik Indonesia dan dapat mewakili Indonesia atas nama negara dalam hubungan dengan badan-badan Internasional.

Baca Juga:  Hukum Non Muslim Memasuki Masjid, Tidur di Dalamnya Hingga Masuk dalam Kondisi Junub

Hukum BPJS dalam Islam

Fatwa MUI

Dalam tatanan syariat Islam, hukum BPJS memang masih menjadi perdebatan. Diantaranya hasil ulama Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang berlangsung di Tegal, tahun 2015 menyebutkan bahwa BPJS khususnya BPJS Kesehatan tidak sesuai dengan syariah karena mengandung unsur (ketidakjelasan), (pertaruhan).

Memang menurut penuturan anggota Dewan Syariah Nasional MUI, Prof Jaih Mubarok, MUI tidak memfatwakan bahwa BPJS haram. Namun BPJS yang sekarang berjalan tidak sesuai syariah.

Alasannya adalah, BPJS masih mengandung unsur riba dan juga ghoror atau tidak jelas akadnya. Karena akadnya tidak jelas, akhirnya status iuran bersifat maisyir, untung-untungan.

Fatwa NU

Fatwa yang berbeda datang dari Nahdlatul Ulama. Dalam Forum bahtsul masail pra muktamar ke-33 NU yang diselenggarakan PBNU di pesantren Krapyak Yogyakarta pada 28 Maret 2015 lalu, sepakat mendukung program BPJS Kesehatan.

Dalam forum yang diikuti para kiai dan ulama dari berbagai daeraah tersebut menyimpulkan bahwa konsep BPJS Kesehatan tidak bermasalah menurut syariah Islam. Mereka memandang akad yang digunakan BPJS Kesehatan sebagai akad ta’awun.

Ketika disodorkan pertanyaan apakah mengandung riba, mereka menjawab bahwa akad BPJS tidak mengandung riba. Putusan ini diambil setelah para kiai berdiskusi langsung dengan Kepala Grup MKPR dr Andi Afdal Abdullah terkait pelayanan kesehatan untuk peserta BPJS.

Kepada dr Andi Afdal, para kiai mengajukan pelbagai pertanyaan seperti konsep iuran, penggunaan, besaran iuran, siapa pengguna BPJS, siapa yang dibebaskan dari iuran, dan pertanyaan lainnya yang dibutuhkan dalam forum bahtsul masail. Dari diskusi tersebut dijadikan pedoman para kiai dalam memutuskan hukum BPJS.

Menurut Ketua LBM PWNU Yogyakarta KH Ahmad Muzammil mengatakan bahwa konsep ta’awun yang diberlakukan BPJS, masuk dalam bab jihad seperti disebutkan Fathul Mu’in yakni daf’u dhararin ma’shumin.

Baca Juga:  Mengadakan Tahlilan dengan Uang Hutang, Bagaimanakah Hukumnya?

Sehingga di sini pemerintah diposisikan sebagai administrator bagi orang kaya untuk membantu mereka yang lemah. Mengenai halal-haram, BPJS sudah jelas halal. Tetapi harus tetap dilihat apakah BJPS ini mengandung mashlahah atau mafsadah? Dari situlah tinggal memperbaiki saja mana kekurangannya.

Kesimpulan dan Saran

Kesimpulan

Setidaknya dari dua fatwa diatas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Polemik seputar BPJS Kesehatan ini masuk dalam permasalahan kontemporer yang yang masuk kepada wilayah ẓhannikarena masih menjadi perdebatan di kalangan ulama.

2. MUI menilai bahwa di dalam BPJS tersebut masih terdapat unsur garar, maisyir dan riba’. Garar yang dimaksud adalah dalam hal akad di dalam BPJS Kesehatan. MUI menilai bahwa di dalam perjanjian tersebut ada unsur untung-untungan, karena dikaitkan pada peristiwa yang belum pasti terjadi.

Alasan selanjutnya adalah adanya Maisyir, yaitu di dalam berlakunya BPJS Kesehatan ada unsur memperoleh keuntungan tanpa bekerja, yang biasanya disertai unsur pertaruhan atau spekulasi.

Kemudian alasan berikutnya adanya unsur riba yang terlihat pada saat para pengguna BPJS dikenakan denda dua persen apabila terlambat dalam melakukan pembayaran. Metode pengambilan fatwa yang digunakan MUI tersebut menggunakan pendekatan bayani dengan memfokuskan pada teks al-Qur’an dan Sunnah.

Berbeda dengan MUI, menurut NU BPJS Kesehatan sudah sesuai dengan syari’ah karena dalam akadnya masuk kedalam akad ta’awun. Artinya, untuk NU tidak menemukan unsur garar, maisyir dan riba’ di dalam mekanisme BPJS Kesehatan tersebut. NU lebih menekankan prinsip maṣlaḥah yang terkandung di dalamnya.

Pendekatan ini diambil melalui metode pengambilan kesimpulan umum yang dihasilkan dari fakta-fakta khusus. Kesimpulan yang dimaksud adalah kesimpulan hukum atas suatu masalah yang memang tidak disebutkan rincian ketentuannya dalam naṣ al-Qur’an dan Hadis. Di dalam usul fiqih pendekatan ini dinamakan pendekatan burhani atau induktif.

Baca Juga:  Menjulurkan Lidah dan Problematika Aurat Perempuan Ketika Selfie

3. Letak perbedaan antara MUI dan NU dalam menilai BPJS Kesehatan adalah pada aspek penggunaan dalil dan pemahaman pokok permasalahan, penggunaan metode istinbat dan penggunaan jenis maṣlaḥah. Persamaan antara MUI dan NU adalah dalam hal pertimbangan terhadap aspek maṣlaḥah dalam fatwanya dan sam-sama menggunakan dalil yang kuat.

Saran

1. Pandangan MUI dan NU tentang hukum BPJS Kesehatan, merupakan salah satu dari sekian banyak penelitian yang membandingkan kedua lembaga tersebut. Baik dari metode istinbāṭ hukum, putusan hukum terhadap suatu kasus, maupun hal-hal lain yang masih berkaitan erat dengan keduannya. Oleh karena itu, penelitian terhadap kedua lembaga tersebut perlu kiranya untuk lebih ditingkatkan lagi.

2. Masyarakat sebaiknya perlu memahami setiap perbedaan pendapat dikalangan lembaga-lembaga keagamaan yang ada. Selain itu, umat Islam juga diharapkan bisa menghormati setiap perbedaan yang ada yang sebenarnya semua itu adalah sebuah kekayaan intelektual yang memudahkan masyarakat untuk memilih suatu pandangan.

3. Pemerintah perlu membenahi sistem dan pengelolaan BPJS yang sudah ada saat ini agar bisa berjalan lebih baik lagi dari segala sisi. Sehingga kemanfaatan BPJS Kesehatan bagi masyarakat menjadi semakin optimal dirasakan masyarakat luas.

Wallahua’lam bisshawab

Sumber:

  • bpjs-kesehatan.go.id
  • Fatwa MUI tahun 2015 tentang BPJS Kesehatan
  • Hasil bahtsul masail pra muktamar ke-33 NU di pesantren Krapyak Yogyakarta pada 28 Maret 2015.
Arif Rahman Hakim
Sarung Batik