Pecihitam.org – Dalam khazanah fiqih bughat artinya pemberontakan berasal dari kata bagha yang artinya melampaui batas. Bughat secara hukum fiqih dilarang dan bagi yang melakukannya wajib ditindak keadilan, atau zaman dahulu diperangi. Bughat berbeda dengan kritik, karena kritik adalah bentuk perlawanan dari ketidak benaran namun tidak semua kritik merupakan bughat.
Para ulama memiliki perpedaan mengenai makna bughat, dimana menurut ulama Hanafiyah dalam kitab Ibn ‘Abidin, Hasyiyah Ibnu Abidin, III/426; Muhammad bin Abdul Wahid as-Siyuwasi, Syarhu Fathul Qadir, IV/48). Al-baghy artinya ialah keluar dari ketaatan kepada imam yang haq atau sah dengan tanpa alasan.
Kemudian menurut ulama malikiyah bahwa al baghy adalah mencegah diri untuk menaati imam yang sah dalam perkara bukan maksiat dengan menggunakan kekuatan fisik, sekalipun karena penafsiran agama atau takwil. Dan bughat adalah kelompok dari kaum muslimin yang menyalahi imam atau pemimpin maupun wakilnya, untuk mencegah kewajiban mereka atau untuk menurunkannya.
Sedangkan menurut ulama syafiiyah, bughat adalah kaum muslimin yang menyalahi imam dengan jalan memberontak kepadanya, tidak mentaatinya, atau mencegah hak yang wajib mereka tunaikan, dengan syarat mereka mempunyai kekuatan, ta’wil dan pemimpin yang ditaati dalam kelompok tersebut. (Nihayatul Muhtaj, VIII/382; asy-Syayrazi, Al-Muhadzdzab, II/217; Taqiyuddin al-Husaini, Kifayatul Akhyar, II/197-198; Zakariya al-Anshari, Fathul Wahhab, II/153).
Bughat juga dapat diartikan sebagai orang-orang yang keluar dari ketaatan dengan takwil yang keliru, yang tidak bisa dipastikan kebenarannya. Menurut ulama hanabilah bughat adalah orang-orang yang memberontak kepada imam walaupun ia bukan imam yang adil dengan suatu ta’wil yang diperbolehkan, mempunyai kekuatan meskipun tidak memiliki pemimpin.
Ada tiga syarat yang harus dimiliki secara bersamaan pada hukum bughat yaitu:
- Pertama, pemberontakan kepada Khalifah atau pemimpin (Khuruj ‘ala al-Khalifah) seperti melanggar hukum yang harus ia tunaikan.
- Kedua, adanya kekuatan yang dimiliki yang memungkinkan untuk mendominasi (syaiharah).
- Ketiga, menggunakan senjata untuk mewujudkan tujuan-tujuan politisi.
Padahal dalam surat Annisa ayat 59 Allah berfirman bahwa kita wajib menaati ulil amri atau pemimpin:
أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
“Taatlah kepada Allah, taatlah kepada rasul dan taatlah kepada ulil amri diantara kamu. “ (QS. Annisa: 59)
Ketaatan kepada pemimpin yang sah merupakan hal yang wajib dijalankan, ketaatan disini bisa bermakna tidak melawan perintah pimpinan dengan memerangi pimpinan tersebut. Misalnya di Indonesia terkadang muncul pemberontakan-pemberontakan karena mereka tidak menyetujui apa yang sudah menjadi ketetapan pemerintah. Apabila mereka melakukannya dengan tertib dan dengan tata cara yang benar maka masih masuk dalam ranah kritik namun bukan bughah.
Namun terkadang yang terjadi di Indonesia malah sebaliknya, mereka membuat keributan juga kerusuhan hanya karena tidak setuju dengan ketetapan pemerintah. Sehingga menimbulkan kerugian jadi apabila akan mengkritik kritiklah secara tertib sesuai dengan aturan yang ada, tidak menuruti nafsu dan tidak menuruti ego dengan emosi yang menggebu-gebu. Malah akhirnya akan timbul kekacauan yang menyusahkan.
Dalam hadits riwayat imam Bukhari bahwa: “Hendaklah kamu mendengarkan dan mematuhi biarpun yang diangkat untuk memerintah kamu seorang hamba sahaya bangsa Habsyi, rambutnya bagai anggur kering (HR. Bukhari)
Namun yang harus digaris bawahi ialah perintah dari seorang pemimmpin tidak boleh ditaati apabila apa yang menjadi perintahnya berkaitan dengan kemaksiatan seperti sabda Nabi Muhammad SAW ;
“Seorang Muslim perlu mendengarkan dan mematuhi perintah yang disukainya dan tidak disukainya, selama tidak disuruh melakukan maksiat atau kejahatan, namun apabila dia disuruh mengerjakan kemaksiatan, tidak boleh didengar maupun ditaati.” (HR. Bukhari).
Sehingga perlu yang namanya menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, kritik dan juga nasihat. Kritik tanpa nasihat sama saja kebohogan. Dimana ketika ada kritik harus dibarengi dengan saran yang mengikutinya. Sehingga hukum memerangi golongan bughat atau pemberontak diantaranya merujuk pada Al-Qur’an surat al-Hujurat:
وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا ۖ فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَىٰ فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّىٰ تَفِيءَ إِلَىٰ أَمْرِ اللَّهِ ۚ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا ۖ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman dan berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya. Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali kepada perintah Allah.” (QS AL-Hujurat:9).
Wallahua’lam bisshawab. (IS)