Pecihitam.org – Dalam pengertiannya, ghasab menurut bahasa adalah mengambil sesuatu secara zalim. Sedang menurut istilah, ghasab ialah mengambil hak orang lain tanpa seizinnya. Dalam Alquran dijelaskan bahwa ghashab adalah perilaku yang tidak terpuji, karenanya Hukum ghasab adalah haram.
Hal tersebut berdasarkan QS. Al-Baqarah Ayat 188, yaitu sebagai berikut:
وَلَا تَأْكُلُوٓا أَمْوٰلَكُم بَيْنَكُم بِالْبٰطِلِ…
Artinya: Dan janganlah di antara kamu memakan harta dengan jalan yang batil. [Al Baqarah: 188]
Juga diperkuat oleh hadis riwayat Imam Bukhari dari Said bin Zaid, yaitu:
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ وَقُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ وَعَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ قَالُوا حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ وَهُوَ ابْنُ جَعْفَرٍ عَنْ الْعَلَاءِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ عَبَّاسِ بْنِ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِيِّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ زَيْدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ نُفَيْلٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ اقْتَطَعَ شِبْرًا مِنْ الْأَرْضِ ظُلْمًا طَوَّقَهُ اللَّهُ إِيَّاهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ سَبْعِ أَرَضِينَ
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Ayyub dan Qutaibah bin Sa’id dan Ali bin Hujr mereka berkata; telah menceritakan kepada kami Isma’il -yaitu Ibnu Ja’far- dari Al ‘Ala bin Abdurrahman dari Abbas bin Sahl bin Sa’d As Sa’idi dari Sa’id bin Zaid bin ‘Amru bin Nufail, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa mengambil sejengal tanah saudaranya dengan zhalim, niscaya Allah akan menghimpitnya dengan tujuh lapis bumi pada hari Kiamat.” [HR. Bukhari]
Karena dasar itulah, para ulama sepakat bahwa hukum ghasab adalah haram, juga termasuk ke dalam dosa besar. Sebagaimana tertuang dalam Fiqh Manhaji.
Para ulama juga sepakat akan keharaman menggunakan barang hasil ghasab meskipun digunakan untuk ibadah. Hal ini sebagaimana dipaparkan dalam kitab Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab karangan Imam Nawawi juz 3 halaman 164
اﻟﺼﻼﺓ ﻓﻲ اﻷﺭﺽ اﻟﻤﻐﺼﻮﺑﺔ ﺣﺮاﻡ ﺑﺎﻹﺟﻤﺎﻉ ﻭﺻﺤﻴﺤﺔ ﻋﻨﺪﻧﺎ ﻭﻋﻨﺪ اﻟﺠﻤﻬﻮﺭ ﻣﻦ اﻟﻔﻘﻬﺎء ﻭﺃﺻﺤﺎﺏ اﻷﺻﻮﻝ
Artinya: Shalat di atas tanah hasil ghashab hukumnya haram berdasarkan ijma’. Namun demikian, shalatnya tetap sah menurut pandangan kami dan mayoritas ulama fikih, termasuk ashhab ushul.
Hal ini senada dengan pendapat Abu Ishaq Ibrahim, Syekh al-Bujairimi, Syekh Bakri Syaththa dan ulama lainnya.
Jika kita tengok lebih jauh, para santri di pondok pesantren sudah lumrah dengan “asal pake” sandal jepit, baju, sarung, peci bahkan kitab turats (kuning) yang bukan miliknya. Begitupun dengan siswa dan mahasiswa di sekolah dan kampusnya, penghapus pensil tentu bukan hal aneh jika digunakan oleh banyak orang tanpa meminjamnya terlebih dahulu kepada pemiliknya.
Persoalan yang muncul, apakah menggunakan barang-barang dengan ketentuan seperti di atas dapat dikatakan ghasab yang haram hukumnya?
Jawabannya mari kita simak berdasarkan paparan Syekh Zainuddin al-Malibari dalam kitab Fathul Muin juz 1 halaman 494, sebagai berikut:
ﻭﻳﺠﻮﺯ ﻟﻹﻧﺴﺎﻥ ﺃﺧﺬ ﻣﻦ ﻧﺤﻮ ﻃﻌﺎﻡ ﺻﺪﻳﻘﻪ ﻣﻊ ﻇﻦ ﺭﺿﺎ ﻣﺎﻟﻜﻪ ﺑﺬﻟﻚ ﻭﻳﺨﺘﻠﻒ ﺑﻘﺪﺭ اﻟﻤﺄﺧﻮﺫ ﻭﺟﻨﺴﻪ ﻭﺑﺤﺎﻝ اﻟﻤﻀﻴﻒ ﻭﻣﻊ ﺫﻟﻚ ﻳﻨﺒﻐﻲ ﻟﻪ ﻣﺮاﻋﺎﺓ ﻧﺼﻔﺔ ﺃﺻﺤﺎﺑﻪ ﻓﻼ ﻳﺄﺧﺬ ﺇﻻ ﻣﺎ ﻳﺨﺼﻪ ﺃﻭ ﻳﺮﺿﻮﻥ ﺑﻪ ﻋﻦ ﻃﻴﺐ ﻧﻔﺲ ﻻ ﻋﻦ ﺣﻴﺎء
Artinya: Seseorang diperbolehkan mengambil seumpama makanan temannya dengan sangkaan bahwa ia akan ikhlas dan rela ketika makanannya diambil. Berbeda halnya pada saat bertamu, maka hendaklah tidak mengambil sesuatu kecuali yang telah dihidangkan oleh tuan rumah atau ia ridha karenanya. Hal tersebut mesti didasarkan atas kebaikan dirinya, bukan karena perasaan malunya (jika tidak memberi).
Dari sini, dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum ghasab (mengambil sesuatu yang bukan miliknya) dapat dihalalkan apabila telah diketahui atau disangka bahwa pemiliknya akan ikhlas dan rela.
Jadi, jika dengan memakai sandal, pensil, penghapus, peci dan kitab orang lain sedang telah diketahui keridhaannya, baik karena tabiat atau adat, maka hal tersebut dibolehkan.
Khusus dalam bertamu, kita tidak tidak diperkenankan mengambil atau memakan sesuatu “di luar” hidangan. Karena sesuatu yang terhidang di tempat lain, disinyalir bukan diperuntukkan bagi kita, kecuali jika sang pemilik rumah ridha. Dalam hal ini, alangkah baiknya etika izin dibudayakan. Adapun jika perangainya telah terbaca bahwa ia tidak ikhlas, hendaklah untuk tidak memaksanya.
Demikian, semoga bermanfaat. Wallaahu a’lam bishshawaab.
- Pembubaran FPI dan Nasib Masa Depan Indonesia - 08/01/2021
- Pembagian Najis dan Cara Mensucikannya, Kamu Harus Tahu - 25/10/2020
- Kritik Imam al Ghazali Terhadap Pemikiran Para Filsuf (Part 2) - 11/10/2020