PeciHitam.org – Perkembangan marketing dalam perdagangan berjalan sangat cepat ditambah lagi dengan era media sosial. Status aplikasi whatsApp, Instagram, Facebook atau YouTube digunakan sebagai sarana menawarkan barang dagangan.
Tidak terkecuali bagi mereka yang tidak mempunyai modal awal sebagai faktor utama dalam perdagangan. Orang dengan modal cekak bersekutu atau join dengan orang lain sebagai Dropshiper atau Reseller. Perlu landasan fiqih tentang Akad Dropship sebagai landasan hukumnya.
Daftar Pembahasan:
Marketing dan Sistem Dropship
Persaingan dunia usaha yang ketat membuat para pedagang dan perusahaan berlomba-lomba membuat sistem penjualan yang efektif. Faktor utama dari peningkatan penjualan adalah adanya promosi besar dan luas cakupannya.
Jika mengandalkan promosi konvensional akan sangat lama memperkenalkan produk dan membutuhkan modal yang banyak. Terobosan marketing untuk menaikan penjualan adalah merekrut para penjual kedua, ketiga dan seterusnya dengan sistem dropship.
Sistem dropship adalah peran penjual kedua, ketiga dan seterusnya meminta suplier/ penjual untuk mengirimkan barang orderan sesuai dengan nama toko mereka. Disini suplier atau pemiliki asli barang dagangan bertindak sebagai penjual asal.
Penjual asal ini memiliki tangan promosi yang banyak yang disebut dropshiper. Orang yang mempromosikan lewat media sosial atau langsung tidak benar-benar memiliki barang. Mereka (dropshiper) hanya memiliki spesifikasi barang dalam bentuk foto dan video.
Jika pembeli setuju dan berniat membeli kepada dropshiper maka ia akan menghubungi suplier untuk mengirimkan barang pesanan kepada pembeli dengan menggunakan nama toko dropshiper. Bagi suplier, semakin banyak dropshiper akan semakin banyak kesempatan produk laku terjual.
Keutungan bagi dropshiper yakni tidak memerlukan modal awal untuk membeli barang dagangan. Dropshiper hanya perlu memiliki foto dan mempromosikannya lewat media sosial, semakin intens dalam promosi semakin besar kesempatan untuk laku.
Perkembangan sistem penjualan mendorong banyak orang menggunakan dropship sebagai sebagai metode yang lumayan baik. akan tetapi semodern apapun sistem dalam perdagangan dan penjualan harus sesuai dengan asas buyu’ atau perdagangan menurut syara’.
Dropship dalam Islam
Penjualan online lewat media sosial menjadikan dropship sebagai opsi minimalis bagi yang tidak memiliki modal membeli barang dagangan. Dropshiper yang bertugas hanya sebagai promotor, perantara pembelian tanpa memiliki modal.
Tanggung jawab kepemilikan barang dan pengiriman barang menjadi kewajiban suplier dan bahasa lebih umum disebut Makelar (سمسار، وسيط). Sistem dropship disebut dengan sistem jual beli dalam perdagangan tanpa modal awal (عرض التجارة)- Urudlu Tijarah.
Dropshiper bertindak sebagai penjual kedua yang mempromosikan barang dagangan kepada konsumen, tanpa kepemilikan barang dagangan. Pemilik asal adalah suplier dan dropshiper sebagai wakil dari pemiliki barang.
Sistem dropship berbeda dengan penjualan konvensional yang dalam bentuk akadnya dinamakan bai’u Masuhufin fi Dzimmah (بيع موصوف في ظمة) atau disebut juga penjualan barang yang sudah menjadi hak milik penjual. Sedangkan dalam dropship, barang adalah milik suplier.
Dropshiper tidak berhak secara penuh terhadap barang yang berada di suplier. Dalam akad (بيع موصوف في ظمة) cukup menggunakan Akad Salam sebagaimana kita membeli diwarung seperti biasa, memilih barang bawa ke kasir dan bayar.
Masalahnya muncul adalah ketika seorang pembeli memilih barang dagangan kepada dropshiper yag mana barang tersebut bukan miliknya. Ulama banyak mengeluarkan pendapat terkait akad dan hukum dropship dalam Islam.
Hukum Dropship dalam Islam
Cabang besar dalam akad dropship terbagi kedalam dua jenis yakni Barang yang belum mendapat Izin Suplier dan Dropship dengan barang Sudah Berizin dari Suplier.
Kedua jenis perdagangan ini memiliki perbedaan pandangan hukum dan sistem. Maka Hukum Dropship dalam Islam pada masing-masing sistem ini berbeda
Dropshiping dengan Barang Belum Berizin
Sistem dropship barang tanpa izin memiliki bentuk pedagang awal atau suplier tidak melakukan kesepakatan menjualkan barang dengan dropshiper.
Penjual kedua hanya membuat lapak jualan online dan memasarkan gambar-gambar barang kepada konsumen tanpa melakukan kesepakatan terlebih dahulu dengan penjual asli/ pertama.
Sistem ini hampir menyerupai sistem makelar buta yang tanpa seijin pemilik barang sudah menawarkan barang jualannya. Peran dropshiper menari barang dan memasang sebagai barang dagangan ia sendiri, padahal tanpa hak wakil dari pemilik asal.
Hukum Dropship dalam Islam berbentuk tanpa izin dari pemilik asal barang adalah Haram menurut mayoritas Ulama. Ulama madzhab Hanafiyah membolehkan akad ini dengan syarat , barang jualan adalah barang sudah maklum diketahui secara umum baik ciri-ciri dan karakternya.
Seperti seorang dropshiper menjualkan merk motor atau mobil atau Handphone yang sudah sangat umum diketahui. Spesifikasi barang jualan yang dipromosikan tidak akan berubah dan berbeda jauh antar satu barang dengan barang lainnya karena memiliki standar pabrik sendiri. pandangan ini juga dimiliki oleh sebagian kecil Ulama Syafi’iyah.
Perdagangan ini masuk dalam kategori akad perdagangan ainun Ghaibah (عين غائبة), dan tidak ada masalah dalam Hukumnya, karena mengikuti Hukum Dropship dalam Islam yang Dasar. Pemberat hukum dalam dropship pertama ini adalah ketidak-adaan izin pemilik barang.
Maka pertimbangan ketidak-adanya izin pemilik barang menjadikan pemberat hukumnya. Golongan Madzhab Hanafi dan sebagian kecil Ulama Syafiiyah saja yang membolehkan praktek makelaran tanpa ijin ini.
Pendapat lain diberikan oleh Syaikh Wahbah Zuhaily yang melegalkan praktek makelar (سمسار، وسيط) sebagaimana dalam kitab beliau;
ﻭاﻟﺴﻤﺴﺮﺓ ﺟﺎﺋﺰﺓ، ﻭاﻷﺟﺮ اﻟﺬﻱ ﻳﺄﺧﺬﻩ اﻟﺴﻤﺴﺎﺭ ﺣﻼﻝ؛ ﻷﻧﻪ ﺃﺟﺮ ﻋﻠﻰ ﻋﻤﻞ ﻭﺟﻬﺪ ﻣﻌﻘﻮﻝ
Kaidah ini terdapat dalam kitab beliau yang berjudul Al-Fiqhu al-Islam wa Adillatuhu (Fikih Islam dan Dalil-dalil pendukungnya).
Artinya: “Jual beli makelaran adalah boleh. Dan upah yang diambil oleh makelar adalah halal karena ia didapat karena adanya amal dan jerih payah yang masuk akal”
Pendapat Syaikh dari Mesir ini menyatakan bahwa Makelar boleh, dengan Ujrah atau Upah yang didapatkan dari makelaran adalah Halal. Tentu dalam hal ini upah berasal dari pemilik barang, yang tentu berkaitan dengan izin penjualan.
Kebanyakan Ulama mengharamkan makelar yang bersifat hanya menjual barang tanpa terlebih dahulu izin sowan menjualkan barang mereka. Simpulan banyak Ulama terkait Hukum dropship dalam Islam tanpa meminta Izin kepada suplier adalah Haram kecuali Ulama mAdzhab Hanafiyah.
Dropshiping dengan Barang Berizin
Sistem Drophiping pada barang berizin dari suplier berhukum Halal dan Boleh. Sistem yang terbangun, dropshiper meminta izin kepada suplier untuk menjual barang yang tersedia pada pemilik barang. Atau sebaliknya, suplier meminta seseorang untuk menjualkan barang milik mereka akan omzet naik.
Dalam konteks penjualan ini, mengisyaratkan kuasa dropshiper untuk menjual barang milik suplier. Kategori fikih dari akad ini adalah bai’u ainin ghaibah maushufatin bi al-yad (عين غائبة موصوفة باليد).
Kategori akad fikih ini adalah barang jualan yang belum milik kita akan tetapi memiliki ciri khusus barang secara rinci dengan wakil kuasa pemilik barang.
Pandangan Hukum Dropship dalam Islam model yang kedua ini terangkum dalam kitab kifayatul akhyar tulisan Abu Bakar al-Husni sebagai berikut;
وقوله لم تشاهد يؤخذ منه أنه إذا شوهدت ولكنها كانت وقت العقد غائبة أنه يجوز
Kitab ini masih ada kaitannya dengan matn Abi Syuja yang terkenal dengan kitab taqrib karya Imam Muhammad bin Qasim Al-Izzi;
Artinya: “Maksud dari pernyataan Abi Syujja’ “belum pernah disaksikan”, difahami sebagai “apabila barang yang dijual pernah disaksikan, hanya saja saat akad dilaksanakan barang tersebut masih ghaib (tidak ada)”, maka hukumnya adalah boleh”
Hukum dropship dalam islam dalam kasus ini diperbolehkan atau Halal dengan syarat barang yang tawarkan tidak mudah berubah dan cenderung tetap. Karena dalam akad (عين غائبة) harus disertai syarat barang yang akan diterima konsumen tidak mengecewakan atau berbeda dari harapan semula.
Barang yang tidak gampang berubah bisa berbentuk tembikar, alat pecah belah, Handphone, dan yang sejenis dengan itu. Dasarnya adalah kitab kifayatul Akhyar;
إن كانت العين مما لا تتغير غالبا كالأواني ونحوها أو كانت لا تتغير في المدة المتخللة بين الرؤية والشراء صح العقد لحصول العلم المقصود
“Barang yang ‘Ainun Ghaibah adalah barang yang cenderung bersifat tetap, jangan sampai pada waktu pemesanan benda bagus, sedangkan pada saat diterima barangnya berbeda dari harapan pada saat pemesanan.
Simpulan Hukum Droship dalam Islam terpecah menjadi dua, jika belum berizin mayoritas Ulama mengharamkannya. Sedangkan hukum dropship dalam Islam jika sudah berizin mayorits Ulama mengatakan kebolehannya atau Jaiz.
Ash-shawabu Minallah