PeciHitam.org – Perkara jual beli dalam Islam memang sudah diatur dengan begitu rinci. Hal ini tentu demi menjaga agar masing-masing pihak dapat menerima manfaat sebaik-baiknya.
Pengertian jual beli dalam Islam bisa dimaknai sebagai transaksi saling menukarkan harta antara dua pihak yang disertai pemindahan kepemilikan dan dilakukan atas dasar suka sama suka.
Sedikitnya ada dua komponen yang dibutuhkan agar transaksi jual beli dalam Islam dihukumi sah, yaitu rukun dan syarat jual beli. Rukun jual beli yang dimaksud merupakan sesuatu yang membentuk dan harus ada pada saat transaksi. Sedangkan syarat jual beli ialah hal yang harus terpenuhi atau tercapai dalam sebuah transaksi.
Daftar Pembahasan:
Rukun Jual Beli
Adapun rukun jual beli dalam Islam antara lain:
- Pihak yang bertransaksi yaitu penjual dan pembeli
- Barang baik itu berupa benda maupun jasa, namun biasanya jual beli lebih sering dilakukan dengan obyek jual beli berupa benda. Sedangkan jika berupa jasa lebih dikenal dengan istilah sewa menyewa.
- Harga yang sesuai kesepakatan nilai barang yang dipertukarkan.
- Serah terima (ijab qabul) menggunakan ucapan serah terima transaksi dari penjual dan pembeli (ijab qabul) atau perbuatan menyerahkan uang oleh pembeli dan penyerahan barang dari penjual (shiqat)
Hukum jual beli dalam Islam tergantung pada keempat rukun tersebut. Apabila salah satu dari empat rukun jual beli di atas tidak terpenuhi, maka transaksinya tidak dapat dilakukan atau jika transaksi sudah dilakukan transaksinya menjadi batal.
Syarat Jual Beli dalam Islam
Selain rukun jual beli, ada juga syarat jual beli dalam Islam yang harus dipenuhi dalam sebuah transaksi, antara lain:
- Berakal – pihak yang bertransaksi haruslah telah baligh, memiliki kemampuan mengatur uang, dan kompeten dalam melakukan jual beli.
- Kehendak sendiri – Para pihak yang terlibat melakukan tranasaksi dengan ridha dan sukarela, karena jika dilakukan dengan paksaan, termasuk transaksi yang bathil.
- Mengetahui – Para pihak telah mengetahui barang dan harga jualnya, tidak boleh ada ketidak jelasan (gharar) seperti membeli susu yang masih belum diperah.
- Barangnya Suci – barang yang diperjualbelikan bukan benda najis atau yang barang yang haram.
- Barang bermanfaat – barang pada transksi jual beli memiliki manfaat sehingga tidak mubazir.
- Barang sudah dimiliki – penjual telah memiliki hak untuk menjual barang tersebut, baik itu dengan telah membeli telebih dahulu dari suplier/produsen, atau telah memperoleh izin untuk menjual dari pemilik barang. (kecuali jika melakukan jual beli salam).
- Barang dapat diserahterimakan – barang yang tidak dapat diserahkan, seperti jual beli burung yang sedang terbang, berpotensi besar tidak terealisasi, sehingga menimbulkan kerugian pada salah satu pihak.
- Ijab dan qabul transaksi harus berhubungan (tidak ada pemisah) meskipun berbeda tempat (mazhab hanafi).
- Lafadz dan perbuatan jelas – pengucapan menjual dan membeli oleh para pihak harus jelas dan saling berkait, selain itu ijab qabul juga dapat dilakukan sesuai kebiasan perdagangan setempat, seperti menyerahkan uang dan penjual menyerahkan barang.
Hukum Jual Beli Barang yang Belum Pernah Dilihat
Akad salam disebut juga dengan akad jual beli pemesanan barang yang belum ada di tempat transaksi namun diketahui spesifikasinya dan bisa dijamin (bai’u maushufin fi al-dzimmah).
Hukum dari memakainya dalam praktik muamalah adalah boleh. Sementara itu jual beli barang yang belum pernah disaksikan (‘ainun ghaib) maka hukumnya tidak boleh.
Hal tersebut berdasarkan apa yang tertulis dalam kitab Sebagaimana keterangan dalam kitab Kifayatu al-Akhyar fi hilli Ghayati al-Ikhtishar berikut:
وبيع شيء موصوف في الذمة فجائز وبيع عين غائبة لم تشاهد فلا يجوز
Artinya: “Jual beli barang yang bisa disifati dalam tanggungan hukumnya boleh (jaiz). Dan jual beli barang ghaib (tidak ada ditempat) yang belum pernah disaksikan, maka hukumnya tidak boleh.” Penggunaan frasa ‘ainun ghaib pada ibarat di atas dapat kita pahami dalam dua pengertian, yaitu:
- Barang yang hendak diperjualbelikan benar-benar tidak ada dan belum pernah terlintas dalam benak kedua orang yang berakad.
- Sebenarnya barangnya ada, hanya saja barangnya tidak ada di tempat saat akad dilangsungkan dan belum pernah disaksikan (terlintas dalam pengalaman) sama sekali baik oleh pembeli maupun oleh penjualnya, atau belum pernah dilihat oleh salah satu dari keduanya. Ini nanti yang membutuhkan pembedaannya dengan bai’u maushufin fi al-dzimmah, atau jual beli salam.
Untuk jenis ‘ainun ghaib yang pertama, maka sudah pasti hukumnya adalah tidak boleh. Ketidakbolehan disebabkan barangnya yang tidak ada dan sama sekali belum terlintas gambarannya dalam kedua benak penjual dan pembeli.
Adapun untuk jenis ‘ainun ghaib yang kedua, maka ada dua pendapat. Dan pendapat yang paling sahih adalah tidak sah. Pendapat ini disampaikan oleh Imam Al-Syafi’i dalam qaul qadim dan qaul jadid-nya (pendapat lama dan pendapat baru).
Hal yang perlu digarisbawahi dalam qaul jadid-nya Imam Syafi’i dalam pendapat yang menyatakan ketidaksahan jual beli jenis barang yang kedua, yaitu disebabkan keberadaan unsur menipu (gharar) yang memungkinkan terjadinya. Gharar bisa terjadi disebabkan ketidaktahuan terhadap barang yang diperjualbelikan.
عين غائبة لمتشاهد
(barang yang tidak ada di tempat yang belum pernah disaksikan).
Pemahaman kalimat tersebut adalah sebagaimana yang disampaikan oleh Syekh Taqiyuddin Al-Hushny, sebagai berikut:
وقوله لم تشاهد يؤخذ منه أنه إذا شوهدت ولكنها كانت وقت العقد غائبة أنه يجوز
Artinya: Maksud dari perkataan Abi Syujja’, ‘belum pernah disaksikan’ difahami sebagai apabila barang yang dijual pernah disaksikan, hanya saja saat akad dilaksanakan barang tersebut masih ghaib (tidak ada), maka hukumnya adalah boleh.”
Dalam kitab Kifayatu al-Akhyar, hukum jual beli dalam Islam yang diperbolehkan apabila barang belum pernah dilihat ialah barang yang dipesan berupa barang yang tidak mudah berubah dalam adat bentuknya.
وإن مضت مدة يحتمل أن تتغير فيها وألا تتغير أو كان حيوانا فالأصح الصحة لأن الأصل عدم التغير
Artinya: “Jika telah lewat suatu masa yang memungkinkan terjadinya perubahan terhadap “ain ghaibah” atau tidak terjadi perubahan padanya, atau barang tersebut berupa hewan, maka qaul yang paling shohih adalah sah berdasar qaidah: Hukum asal adalah ketiadaan berubah.”
Kesimpulan akhir dari pembahasan jual beli barang yang bersifat ghaib (tidak ada saat akad), namun masing-masing pihak punya pengalaman tahu terhadap wujud barang yang diperjualbelikan tersebut hukumnya adalah boleh dengan catatan: barang tersebut terdiri atas barang yang tidak gampang berubah, baik oleh waktu maupun oleh masa, serta masing-masing pihak (penjual dan pembeli) punya pengalaman melihat barang, atau bahkan salah satunya saja yang memiliki pengalaman tahu.
Adapun bila barang yang diperjualbelikan terdiri atas barang yang sama-sama belum pengalaman melihat wujud barang, dan barang memiliki ciri dan sifat yang tidak umum berlaku sehingga tidak terlintas dalam pengetahuan pemesan dan yang dipesani, atau wujud barang mudah berubah / rusak akibat waktu, maka hukum jual beli ‘ain ghaibah semacam ini dihukumi sebagai bathil. Tidak sah akadnya karena menyimpan unsur gharar.
Demikian beberapa penjelasan mengenai hukum jual beli dalam Islam. Berbagai kaidah telah dirumuskan demi menjaga kepercayaan antara penjual dan pembeli.
Sekaligus agar dalam transaksi jual beli tersebut, kedua pihak dapat menerima manfaat atau keuntungan sebaik-baiknya. Semoga bermanfaat. Ash-Shawabu Minallah.