Hukum Jual Beli Mu’athah, Jual Beli Tanpa Sighat

Hukum Jual Beli Mu’athah, Jual Beli Tanpa Sighat

PeciHitam.org – Sistem dalam jual beli bermacam-macam dan memiliki hukum masing-masing, salah satu yang akan dibahas disini adalah hukum jual beli mu’athah yang mana tanpa sighat.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Sebelumnya perlu diketahui bahwa salah satu rukun jual beli ialah sighat atau ucapan timbal balik antara penjual dan pembeli yang menunjukkan kerelaan dari keduanya.

Namun dalam praktek jual beli sehari-hari di antara realita dalam masyarakat jarang sighat akad jual beli tersebut diucapkan dan biasanya pembeli cukup memberi uang dan mengambil barang yang ingin dibelinya tanpa ijab dan qabul.

Adapun dalam fikih jual beli tanpa sighat ijab dan qabul biasa diistilahkan dengan jual beli mu’athah atau tanpa sighat, yaitu kesepakatan kedua belah pihak atas harga dan barang yang dijual, keduanya saling memberi tanpa ijab qabul dan kadang hanya ada perkataan dari salah satu pihak saja.

Hukum jual beli mu’athah menurut kebanyakan ulama Syafi’iyah ialah tidak sah karena salah satu rukun jual beli tidak terpenuhi yaitu sighat ijab dan qabul.

Sebagaimana dijelaskan bahwa:

الشافعية قالوا: لاينعقد البيع إلا بالصيغة الكلامية أو مايقوم مقامها من الكتاب والرسول، وإشارة الأخرس المعلومة، أما المعاطاة فإن البيع لاينعقد بها

Artinya: “Ulama Syafi’iyah berkata, ‘Tidak sah jual beli kecuali dengan sighat berupa ucapan atau sesuatu yang bisa menempati di posisinya seperti tulisan, utusan dan isyarat yang diketahui bagi orang bisu, adapun jual beli tanpa sighat maka tidak sah.” (Lihat: al-Fiqh ‘ala Mazahibil Arba’ah)

Baca Juga:  Sumpah Li’an: Pengertian, Tuduhan–Sanggahan dan Hikmahnya

Menanggapi hal tersebut Imam Nawawi menjelaskan bahwa akad jual beli tanpa sighat masih diperselisihkan keabsahannya oleh para ulama, yang mana sebagian menilai tidak sah dan sebagian lagi menilai sah asal sudah diketahui bahwa kedua belah pihak sama-sama ridha.

صورة المعاطاة التي فيها الخلاف السابق: أن يعطيه درهماً أو غيره ويأخذ منه شيئاً في مقابلته، ولا يوجد لفظ أو يوجد لفظ من أحدهما دون الآخر، فإذا ظهر والقرينة وجود الرضى من الجانبين ـــ حصلت المعاطاة، وجرى فيها الخلاف

Artinya: “Bentuk dari jual beli mu’athah yang terjadi perbedaan pendapat di atas ialah pembeli memberikan uang pada penjual dan pembeli mengambil barang dari penjual sedagai gantinya, dan tidak ada kalimat yang menyatakan ijab dan qabul, jika secara zahir ada kerelaan di antara keduanya yaitu pembeli dan penjual, maka itulah yang dinamakan jual beli mu’athah dan dalam jual beli mu’athah terjadi perbedaan ulama terkait keabsahannya.” (Lihat: al-Majmu, Imam Nawawi)

Meskipun demikian, hukum jual beli mu’athah menurut Imam Ghazali lebih cenderung dibolehkan meski tanpa sighat ijab dan qabul terutama saat benda-benda yang diperjual belikan tidak terlalu berharga.

Baca Juga:  Mandi Wajib Karena Keluar Air Mani, Ini Penjelasan Lengkapnya

Yang demikian karena sulit untuk selalu mengucapkan ijab dan qabul dan biasanya antara penjual dan pembeli sudah sama-sama ridha meskipun tanpa sighat dan hal ini sebagaimana dijelaskan berikut:

وقد مال صاحب الإحياء إلى جواز البيع في الأشياء اليسيرة بالمعاطاة لأن الإيجاب والقبول يشق في مثلـها عادة

Artinya: “Imam Ghazali dalam kitab Ihya condong kepada bolehnnya jual beli mu’athah (tanpa sighat) dalam benda-benda yang ringan, karena ijab dan qabul dalam jual beli benda-benda yang ringan biasanya sulit.” (Lihat: al-Fiqh ‘ala Mazahibil Arba’ah)

Jadi akad dalam jual beli mu’athah tidak disebutkan shighatnya karena akad yang jenisnya seperti ini dibuat oleh manusia sesuai dengan kebutuhan dan kondisi.

Adapun ulama Hanafiyah sepakat dengan hal tersebut dimana mereka mengatakan bahwa terlaksananya ijab kabul tidak harus diekspresikan lewat ucapan atau perkataan tertentu, sebab dalam ukuran ijab kabul yang diutamakan adalah unsur kerelaan kedua belah pihak yang melakukan transaksi dan adanya tindakan.

Karenanya Imam Nawawi, Baghawi, Mutawali dan beberapa ulama lain berpendapat bahwa lafadz tidak menjadi rukun dalam jual beli karena yang demikian hanya berdasarkan adat kebiasaan dan kondisi tetentu yang belaku saja.

Kesimpulannya berdasarkan perbedaan pendapat tentang hukum jual beli mu’athah tersebut ialah pendapat terkuatnya, ijab kabul boleh dan sah hanya dengan perbuatan dengan kondisi tertentu dengan alasan.

Baca Juga:  Bolehkah Kita Menerima Hadiah dari Tabungan di Bank?

Pertama, Allah membolehkan jual beli dan tidak membatasinya dengan akad tertentu, sebagaimana firman-Nya:

واحل الله البيع وحرم الرب

Artinya: “Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al-Baqarah, 2:275)

Kedua, sesuai ‘urf atau kebiasaan dimana pembeli menerima barang dan penjual mengambil uang tanpa adanya perselisihan, maka yang demikian sudah menunjukkan bentuk ridha keduanya dan jika dengan perkataan dianggap ridha maka dengan perbuatan dapat pula selama tidak ada yang dipermasalahkan.

Apabila seperti yang telah dijelaskan tersebut maka sudah dapat dikatakan sebagai jual beli karena tidak ada suatu dalil yang secara terang untuk mewajibkan mengucap lafadz, entah memberi tindakan, menerima tindakan atau bahkan indikasi dalam bentuk apapun selama menunjukkan adanya kerelaan dan keridhaan.

Jadi pada dasarnya tentang hukum jual beli mu’athah pendapat yang paling kuat ialah yang membolehkan, karena ijab qabul yang paling utama ialah atas dasar kerelaan, yaitu pihak penjual dengan rela menyerahkan barangnya dan pihak pembeli dengan rela menerimanya, semisal dinyatakan dengan uang tunai yang dibayarkan tanpa adanya sengketa.

Mochamad Ari Irawan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *