PeciHitam.org – Jual beli sebagai kegiatan ekonomi memiliki banyak sekali variasi untuk meningkatkan keuntungan dan kuantitas penjualan. Tidak terkecuali menggunakan sistem Lelang terhadap sebuah barang dan menawarkannya kepada pembeli. Penawar harga tertinggi akan mendapatkan barang yang dilelangkan.
Barang yang ditawarkan dalam pelelangan bermacam-macam, dari Ikan di TPI (Tempat Pelelangan Ikan), Tembakau, Teh, Barang Seni dan lain sebagainya.
Barang atau Produk yang dilelangkan dalam sebuah pasar Lelang banyak berasal dari benda yang terbatas dalam jumlah produksi yang jarang ditemukan di pasar umum.
Praktek Lelang di Indonesia banyak terjadi untuk menemukan pembeli dengan penawar tertinggi guna memaksimalkan keuntungan bagi pemiliki barang.
Menjalankan akad jual beli model ini harus memperhatikan hukum Lelang dalam Islam. Dengan tujuan supaya tidak terjebak dalam keharaman yang dilarang dalam Islam.
Daftar Pembahasan:
Istilah Lelang dalam Islam
Lelang dikenal luas dalam sistem ekonomi dunia terutama dalam pasar Modal, karena memang Istilah ini berasal dari sana. Sejarah lelang di Indonesia tidak terlepas dari sistem yang digunakan oleh EIC (East India Company), sebuah firma dagang Inggris di kawasan Asia. Komoditas yang dilelang oleh EIC pada tahun 1750 M adalah Teh Nusantara di London.
EIC juga melakukan Lelang komoditas Tembakau Nusantara di Bremen Jerman pada masa penjajahan. Kualitas yang tinggi dari komoditas tanaman khas Nusantara memang menjadi primadona orang-orang Eropa. Mendapatkan komoditas khas Indonesia dengan sistem Lelang banyak diminati oleh orang Eropa.
Dalam Islam sendiri, Lelang disebut dengan Istilah Muzayadah (مزايدة) yang berasal dari kata dasar Zada-Yazidu-Ziyadatan, bertambah atau berlipat. Istilah ini merujuk pada praktek yang dilakukan oleh penjual dengan lelang untuk menambah harga jual atau melipat-gandakan harga. Penawar tertinggi akan memperoleh komoditas yang ditawarakan dalam pasar lelang.
Sedangkan dalam pengertian Syar’inya, Lelang didefinisikan oleh para Ulama sebagai berikut;
أن ينادى على السلعة ويزيد الناس فيها بعضهم على بعض حتى تقف على آخر زائد فيها فيأخذها
Artinya; “Mengajak orang membeli suatu barang, dimana orang-orang (pembeli) saling menambahi nilai tawar harga, hingga berhenti pada penawar tertinggi dan dia bisa mengambilnya”
Ungkapan untuk menyebut Lelang dengan Muzayadah berkaitan erat ucapan penjual ‘Man Yazid’ (siapa yang akan menambah/ siapa yang berani lebih tinggi). Sistem Lelang sudah biasa dilakukan oleh para Sahabat ketika menawarkan peralatan perang dan harta hasil rampasan perang atau ghanimah.
Struktur dasar dari hukum lelang dalam Islam adalah jual beli dengan menawarkan kepada seseorang sebuah barang dan calon pembeli menaksir harga yang akan diajukan. Penawaran pertama biasanya menggunakan harga yang rendah, kemudian beranjak naik sesuai dengan penawaran orang lain.
Hukum Lelang dalam Islam
Menentukan hukum Lelang dalam Islam kiranya harus merujuk pada pemikiran Ulama salaf dengan melihat berbagai alternatif hukumnya. Sebagian kecil Ulama memandang Hukum Lelang dalam Islam makruh karena adanya ketidak jelasan unsur harga pokok barang atau komoditas yang dijual.
Namun pendapat ini lemah, sedangkan Ulama Mayoritas atau Jumhur Ulama menyebutkan Hukum Lelang dalam Islam diperbolehkan, artinya halal untuk dilakukan.
Bahkan Ibnu Qudamah dan Al-Bahuti menyebutkan bahwa hukum lelang dalam Islam halal dan boleh berdasarkan Ijma’ Ulama. Pertimbangan hukumnya adalah al-Mausu’ah al-fiqhiyah dari Negara Kuwait;
وهذا بيع جائز بإجماع المسلمين، كما صرح به الحنابلة، فصححوه ولم يكرهوه. وقيده الشافعية بأمرين: أن لا يكون فيه قصد الإضرار بأحد، وبإرادة الشراء، وإلا حرمت الزيادة، لأنها من النجش
Artinya; “Jual beli ini boleh menurut kesepakatan muslimin, seperti yang telah disuarakan oleh kalangan mazhab Hanbali. Hukumnya sah dan tidak ada kemakruhan. Sedangkan dalam mazhab Syafi’i menetapkan dua ketentuan : (pertama) tidak dijadikan sarana untuk merugikan orang lain, (kedua) dia memang ingin membelinya, jika tidak demikian keadaannya haram hukumnya karena didalamnya ada unsur hendak menyingkirkan orang lain”.
Petimbangan hukum lelang dalam Islam diperbolehkan menurut dalil di atas kesepakatan orang Islam, sudah ma’lum. Dimana ada sebuah akad yang sudah biasa dan maklum dikalangan umat Islam maka diperbolehkan sebagaimana disuarakan oleh Madzhab Hanbali.
Argumentasi ini mendapatkan kritik dari beberapa Ulama karena mengesampingkan pendapat Ulama yang memakruhkan hukum lelang dalam Islam.
Seharusnya dalam mengeluarkan fatwa tetap mendahulukan objektivitas, yakni menyampaikan bahwa lelang dipandang berbeda oleh Ulama, dan mayoritas Ulama membolehkannya.
Praktek Lelang dari Masa ke Masa
Praktek Lelang sudah dikenal sejak masa Nabi SAW dan Nabi pernah melakukannya. Ketika beliau didatangi oleh Sahabat kalangan Anshar dan sambat karena ia tidak memiliki uang.
Kemudian Nabi SAW bertanya apakah ia punya barang yang bisa dijual, dan ia mengambil pelana kuda dan gelas. Kemudian Nabi SAW menawarkan;
مَنْ يَشْتَرِي هَذَا؟ فَقَالَ رَجُلٌ: أَنَا آخُذُهُمَا بِدِرْهَمٍ، قَالَ: مَنْ يَزِيدُ عَلَى دِرْهَمٍ؟
Artinya; ‘Siapa yang mau membeli ini?’ Ada seorang Sahabat yang menawar ‘Saya berani beli 1 dirham’. Nabi SAW kembali menawarkan; ‘Siapa yang berani lebih dari 1 dirham?’. Tidak ada Sahabat yang menyahut, dan Nabi SAW kembali menawarkan;
مَنْ يَزِيدُ عَلَى دِرْهَمٍ؟
‘Siapa yang mau menambah lebih dari 1 dirham?’ dan ada seorang Sahabat yang menyahut. ‘Saya berani 2 Dirham’. Kemudian Rasulullah mengatakan, ‘Silahkan ambil barang ini!’.
Beberapa Ulama mengatakan bahwa riwayat ini lemah/ dhaif karena terdapat perawi majhul (transmitter Hadits yang tidak diketahui keadaanya).
Akan tetapi para kalangan Ulama banyak mengamalkan akad lelang. Imam Turmudzi dalam kitab Jami’ At-Turmudzi menjelaskan tentang kebolehan hukum lelang dalam Islam dengan menjelaskan;
وَالعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ بَعْضِ أَهْلِ العِلْمِ: لَمْ يَرَوْا بَأْسًا بِبَيْعِ مَنْ يَزِيدُ فِي الغَنَائِمِ وَالمَوَارِيثِ
Artinya; “Praktek terhadap kandungan menurut sebagian ulama, bahwa dibolehkan jual beli muzayadah untuk harta rampasan perang (ghanimah) dan warisan”.
Keterangan pembolehan hukum lelang dalam Islam menurut Imam Turmudzi juga dilakukan oleh kalangan Tabi’in sebagaimana dikatakan oleh Atha’ bin Rabbah;
أَدْرَكْت النَّاسَ يَبِيعُونَ الْغَنَائِمَ ، فِيمَنْ يَزِيدُ
Artinya; “Saya menjumpai para manusia (sahabat) yang mereka melakukan jual beli ghanimah kepada ’man yazid’ orang yang nambah harga. (HR. Bukhari bi Muallaqin).
Perkataan yang diutarakan oleh Atha’ bin Rabbah diargumentasikan oleh Imam At-Thahawi. Selain menggunakan pendapat Atha’ bin Rabbah, Imam Thahawi juga menyadur pendapat Imam Mujahid dari kalangan Tabi’in sebagai berikut;
لا بَأْسَ أَنْ يَسُومَ عَلَى سَوْمِ الرَّجُلِ إذَا كَانَ فِي صَحْنِ السُّوقِ ، يَسُومُ هَذَا وَهَذَا ، فَأَمَّا إذَا خَلا بِهِ رَجُلٌ ، فَلَا يَسُومُ عَلَيْهِ
Artinya;”Tidak masalah seseorang menawar barang yang sudah ditawar orang lain jika pasar masih terbuka (lelang belum ditutup). Dan jika barang sudah dibawa pemenang lelang, tidak boleh ditawar lagi”.
Argumentasi yang diajukan oleh Imam Ath-Thawahi menunjukan kecenderungan pembolehan hukum lelang dalam Islam. Karena dalil-dalil yang diajukan oleh beliau merujuk kepada pendapat yang sesuai dengan fatwa al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah.
Maka simpulan akhir dari hukum lelang dalam Islam diperbolehkan, mubah dan halal sesuai dengan pandangan mayoritas Ulama. Pendapat Ulama yang memakruhkan berpandangan bahwa dalam akad lelang ada penumpukan penawaran yang dilarang Islam.
Memang dalam lelang biasa terjadi penawaran ditumpuk dengan penawaran lainnya guna mencari pembeli/ penawar tertinggi. Namun hal ini tidak menjadi ganjalan hukum karena penawaran dalam lelang belum terjadi akad jual beli. Maka kecondongan pembolehan hukum lelang dalam Islam lebih dikuatkan.
Ash-Shawabu Minallah