Pecihitam.org – Di era yang serba cepat dengan semakin berkembangnya zaman, menjadikan tingkat kegiatan ekonomi khususnya jual-beli semakin meningkat. Bahkan perubahan dalam cara penjualan pun semakin bervariasi seperti contoh yaitu calo atau makelar. Mengenai halal-haram profesi makelar memang terkadang masih ada yang mempertanyakan hukumnya. Lantas bagaimana hukum makelar dalam pandangan Islam?
Daftar Pembahasan:
Apa Itu Makelar?
Pada dasarnya secara bahasa calo atau makelar sama saja sebagai perantara. Pebedaannya hanya secara terminologi (istiah), yang mana calo merupakan seseorang yang menawarkan atau melakukan suatu jasa atau prestasi tertentu sesuai dengan perjanjian dan kesepakatan di awal.
Sedangkan makelar merupakan seseorang yang melakukan penjualan sebagai perantara atau tangan ke-2 dan selebihnya dalam hal melakukan transaksi jual beli. Makelar dalam bahasa arab sering dikenal dengan sebutan samsarah, pelakunya disebut simsar sedangkan upah bagi makelar disebut ujroh.
Hukum Makelar dalam Islam
Mengenai legalitasnya dalam islam hukum makelar adalah diperbolehkan. Hal ini berdasarkan hadist dari Qays bin Abi Ghurzah al-Kinani :
عَنْ قَيْسِ بْنِ أَبِي غَرَزَةَ قَالَ خَرَجَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ نُسَمَّى السَّمَاسِرَةَ فَقَالَ يَا مَعْشَرَ التُّجَّارِ إِنَّ الشَّيْطَانَ وَالْإِثْمَ يَحْضُرَانِ الْبَيْعَ فَشُوبُوا بَيْعَكُمْ بِالصَّدَقَةِ
Artinya: “Dari Qais bin Abu Gharazah ia mengatakan; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam datang kepada kami dan kami dinamakan para makelar, lalu beliau bersabda: “Wahai para pedagang, Sesungguhnya setan dan dosa itu datang ketika transaksi jual beli, maka gabungkanlah jual beli kalian dengan sedekah.” (HR. Tirmidzi, Nasai dan Ahmad)
Dari hadits diatas terdapat keterangan bahwa transaksi jual beli tidak terlepas dari pengaruh atau tipu daya setan. Maka dari itu alangkah baiknya dalam semua jenis kegiatan jual beli selalu mengedepankan prinsip ‘ubudiyah salah satunya adalah mencampurkan unsur sedekah di dalamnya.
Akan tetapi walaupun kegiatan samsarah ( makelar) dalam hukum islam adalah boleh, namun tidak menutup kemungkinan jika para pelaku ( makelar ) mengingkari atau keluar dari ketetapan itu sendiri. Damn keluarnya makelar dari aturan hukum islam adalah perbuatan berdosa (haram) yang mana telah menciderai beberapa konsep mu’malah sebagaimana yang telah diajarkan oleh Rasulullah saw.
Adapaun Syekh Ibnu Hajar al Asqalani dalam kitab Fathul Bari, menjelaskan kebolehan makelar dari segi upahnya. Hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Sirin, Atha‟, Ibrahim dan Al-Hasan yang telah disebutkan melalui sanad yang maushul dengan lafadh :
“Tidak ada larangan dengan upah makelar”. (lihat, Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul baari, h. 265).
Dengan berdasarkan pernyataan mengenai upah makelar maka Ibnu Hajar al Asqalani menyatakan bahwa sebagian ulama memahami pernyataan tersebut sebagai sistem jual beli bagi hasil (mudharabah).
Masih dalam kitab yang sama “Fathul Baari syarah Shahih Bukhari, Al Imam Al Hafizh Ibnu Hajar al Asqalani menjelaskan tentang kebolehan makelar berdasarkaan hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari yang artinya:
Ibnu Sirin, Atha‟ Ibrahim dan Al-Hasan menganggap tidak ada larangan dengan upah makelar. Ibnu Abbas berkata, “Tidak mengapa dikatakan, Juallah pakaian ini dan apa yang lebih dari ini dan itu, maka itu adalah untukmu‟. Ibnu Sirin berkata, “Apabila seseorang mengatakan, „juallah dengan harga sekian, maka apa yang menjadi keuntungannya adalah untukmu atau kita bagi bersama‟, maka hal itu tidak dilarang.”
Adapun Ibnu At-Tin menukilkan bahwa sebagian ulama mempersyaratkan tentang kebolehan makelar, apabila orang-orang pada masa itu mengetahui harga barang melebihi harga yang ditetapkan oleh pemilik barang, namun pendapat ini mendapat kritikan, karena ketidaktahuan jumlah upah yang ditentukan.
Hadist diatas jelas menunjukkan bahwa pekerjaan makelar/calo memang sudah ada sejak dulu. Karena memang makelar adalah pekerjaan yang dibutuhkan oleh masyarakat, sebab ada sebagian masyarakat yang mungkin sibuk, sehingga tidak bisa mencari sendiri barang yang diinginkan.
Penentuan Upah Makelar
Tujuan utama para makelar atau calo pada umumnya ialah untuk mendapatkan upah atau fee (keuntungan) dari penjual dan pembeli/keduanya yang mereka layani.
Sehingga sangat wajar jika masalah upah makelar memiliki pengaruh yang cukup besar pada hukum pekerjaan mereka, karena hal ini disebabkan mereka bukanlah pemilik barang/jasa yang diperjual belikan, dan bukan pula sebagai pemilik uang namun sekedar perantara.
Makelar mendapatkan upah atas jasa yang ia berikan, yaitu berupa menjualkan/membelikan barang dan bisa juga berupa jasa yang diberikan oleh makelar hanya sebatas menghubungkan antara pemilik barang dengan si pembeli.
Penentuan upah mekalar ini dapat dituangkan dalam jumlah nominal uang tertentu, dan dapat juga dalam bentuk prosentase, selama besaran keuntungan yang dijanjikan telah disepakati dan atas kerelaan oleh kedua belah pihak maka semuanya menjadi halal.
Sebagai contoh:
Seorang dalam usaha perdagangan bertindak sebagai perantara bagi perusahaan tertentu untuk memasarkan produknya. Perusahaan tersebut mengirimkan sampel kepadanya untuk dia tawarkan kepada para pedagang di pasar atau konsumen.
Orang tersebut kemudian menjual produk tersebut kepada para konsumen dengan harga yang ditetapkan oleh pihak perusahaan tersebut. Setelah melakukan penjualan, kemudian orang tadi mendapatkan upah yang telah ia sepakati dengan perusahaan tersebut.
Dikatakan bahwa tidak mengapa jika seseorang menerima upah sesudah melaksanakan pekerjaannya, dan upah tersebut juga harus sesuai dengan kesepakatan awal dari pihak-pihak yang melakukan transaksi tersebut.
Namun perlu digaris bawahi, bahwa hal ini disyaratkan dengan tidak ada pengkhianatan dan penipuan, dan masing-masing wajib menjaga amanah dan kejujuran.
Kemudian mengenai besarnya rasio upah yang diperoleh oleh seorang makelar, apabila telah terjadi kesepakatan antara makelar, penjual, dan pembeli. Dan apakah makelar boleh mengambil upah dari pembeli atau dari penjual, atau dari keduanya? Selama upah yang diketahui ukurann dan sama-sama dengan kerelaan maka hal itu boleh saja. Tidak ada batasan atau prosentase upah tertentu.
Tidak jarang jika seorang makelar mensyaratkan keuntungan dari kedua belah pihak yang terikat, baik dari penjual maupaun juga dari pembeli. Perbuatan semacam ini secara prinsip syari’at tidak masalah asalkan semuanya dilakukann dengan transparan dan jujur tanpa ada manipulasi atau penipuan.
Praktek Makelar yang Dilarang
Pada praktek jual beli dengan menggunakan makelar, juga tetap wajib diwaspadai baik oleh penjualm pembeli maupun makelar itu sendiri. Karena dalam praktek makelar ini juga terdapat hal-hal yang dilarang, sebagaimana Allah Swt berfirman dalam surat an Nisa ayat 29:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
“Wahai orang orang yang beriman janganlah kalian saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang timbul dari kerelaan di antara kalian”. (QS. An-Nisa’: 29)
Rasulullah Saw bersabda:
مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا، وَالْمَكْرُ وَالْخِدَاعُ فِي النَّارِ.
“Barangsiapa yang menipu, maka ia tidak termasuk golongan kami. Orang yang berbuat makar dan pengelabuan, tempatnya di neraka” (HR. Ibnu Hibban).
Dengan demikian, segala praktek baik jual beli pada umumnya maupun dengan makelar, setiap yang mengandung unsur penipuan dan manipulasi hukumnya adalah haram dan hal tersebut wajib dihindari.
Wallahua’lam bisshawab