Hukum Memancing Ikan di Kolam Pemancingan, Sahkah Membawa Pulang Ikannya? Ini Jawabannya

Hukum Memancing Ikan di Kolam Pemancingan, Sahkah Membawa Pulang Ikannya? Ini Jawabannya

PeciHitam.org – Sebelum membahas jauh mengenai hal ini, banyak sekali pertanyaan dari kaum muslimin mengenai hukum memancing ikan di kolam pemancingan? Bagaimanakah Nahdlatul Ulama membahas hal ini?

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Setiap orang memiliki hobi masing-masing. Beberapa di antaranya mengisi waktu luangnya untuk menyalurkan hobinya dengan memancing ikan, baik itu di laut lepas maupun di kolam pemancingan.

Ada yang membawa pulang hasil pancingannya, ada juga yang melepaskannya kembali. Ada rasa senang ketika kail yang kita lempar disambut oleh ikan, terlebih jika yang memakannya adalah ikan yang berukuran cukup besar atau yang dikenal cukup sulit untuk dipancing.

Memancing ikan juga bukan merupakan perkara yang mudah, butuh kesabaran, teknik, pengetahuan, insting dan keberuntungan. Dengan gabungan dari kelima unsur inilah kita dapat memperoleh hasil pancingan yang kita inginkan.

Bukan hanya itu, memancing juga membutuhkan peralatan yang terbilang cukup menguras kantong, apalagi juga dibutuhkan waktu luang yang cukup, hingga berjam-jam.

Pada dasarnya, aktivitas memancing atau mengail ikan merupakan hal yang diperbolehkan. Asal tidak melanggar norma-norma agama yang berlaku, seperti melalaikan shalat, menjadikannya untuk taruhan atau berjudi dan sebagainya. Namun jika dilakukan untuk hobi yang positif atau hanya sekedar melepas penat, tentu boleh-boleh saja.

Baca Juga:  Perhatikan! Inilah Syarat dan Tata Cara Sujud yang Benar

Namun, akhir-akhir ini aktivitas memancing atau mengail ikan di kolam pemancingan bergantung pada akad antara pemancing dan pengelola pemancingan. Ada beberapa akad, salah satunya ialah menyewa kolam pemancingan untuk diambil ikannya.

Jika akad awalnya menyewa kolam pemancingan, hasil pancingannya sebenarnya tidak boleh dibawa pulang. Mengapa? Karena akad awalnya adalah menyewa (akad ijarah), bukan membeli (memancing) ikan. Lalu, bagaimanakah hukum memancing ikan di kolam pemancingan tersebut?

Hal tersebut pernah dibahas dalam Forum Muktamar NU ke-9 di Banyuwangi, tepatnya pada tanggal 23 April 1934. Dengan pertanyaan berikut ini: “Kalau menyewa tambak (balong) untuk mengambil ikannya dengan memancing atau menjaring, si penyewa kadang-kadang mendapat ikan banyak dan kadang-kadang tidak mendapat. Apakah menyewanya itu sah atau tidak?”

Hasil Muktamar NU tersebut menjelaskan bahwa menyewanya tidak sah. Begitu juga dengan uang hasil sewanya pun dihukumi tidak halal karena akad awalnya adalah sewa. Sehingga ikan yang didapatkan tidak boleh menjadi hak milik.

Salah satu rujukannya ialah kitab I’anatut Thalibin karya Bakri Muhamad Syatha ad-Dimyathi berikut ini:

 وَخَرَجَ بِغَيْرِ مُتَضَمِّنٍ لِاسْتِيْفَاءِ عَيْنٍ مَا تَضَمَّنَ اسْتِيْفَاؤُهَا أَيِ اسْتِئْجَارُ مَنْفَعَةٍ تَضَمَّنَ اسْتِيْفَاءَ عَيْنٍ كَاسْتِئْجَارِ الشَّاةِ لِلَبَنِهَا وَبِرْكَةٍ لِسَمَكِهَا وَشُمْعَةٍ لِوُقُوْدِهَا وَبُسْتَانٍ لِثَمْرَتِهِ فَكُلُّ ذَلِكَ لاَ يَصِحُّ. وَهَذَا مِمَّا تَعُمُّ بِهِ الْبَلْوَى وَيَقَعُ كَثِيْرًا. 

Baca Juga:  Pekerjaan Rumah Tangga Apakah Mutlak Kewajiban Istri?

“Dan dengan kalimat, ‘Tanpa berkonsekuensi mengambil barang’ tidak termasuk pemakaian manfaat barang sewaan yang berkonsekuensi mengambil barangnya, seperti menyewa kambing untuk diperah susunya, kolam untuk diambil ikannya, lilin untuk dinyalakan dan kebun untuk dipetik buahnya. Semua itu tidak sah. Hal seperti ini termasuk fitnah yang sudah mewabah dan banyak terjadi.”

Hukumnya berbeda jika pemancing tersebut membayar ikan yang dipancingnya itu dengan harga jual perkilogram. Atau dengan sistem borongan, yaitu membeli sekian kilo ikan, kemudian melepaskannya ke dalam kolam yang akan dipancing.

Bisa juga pemancing tersebut memancing ikan. Setelah dirasa cukup, ikan yang ia pancing tadi ditimbang dan dibayarkan sesuai jumlahnya baik perkilo maupun hitungan perekornya. Pada kasus ini, hukumnya diperbolehkan. Kasus seperti ini merupakan praktik jual beli biasa.

Berbeda halnya dengan para pemancing iuran sekian ratus ribu, uang terkumpul, lalu membayarkan sekian juta untuk satu kolam pemancingan kemudian dipancing beramai-ramai dalam waktu sekian jam atau seharian.

Hasil pancingannya berapapun, itu yang dibawa pulang. Bagi yang mendapatkan jumlah ikan sedikit, ya membawa lulang sedikit. Kemudian yang mendapatkan hasil pancingan ikan lebih banyak, ya membawa pulang lebih banyak.

Baca Juga:  Bagaimana Hukum Talak Orang yang Sedang Marah

Pada kasus ini, biasanya ulama menghukuminya sebagai gharar atau tidak jelas objek yang dijualnya baik jenis ikan, variasi, besar kecilnya, maupun jumlahnya. Sebab, si pemancing tidak mengetahui secara pasti hasil pancingannya nanti.

Dalam kitab Kifayatul Akhyar, dijelaskan bahwa hasil pancingan tersebut tidak menentu dalam mendapatkan hasil tersebut. Bisa jadi mereka mendapatkan sedikit, mungkin juga mendapatkan ikan lebih banyak dari yang mereka beli di samping ketidakjelasan ikan milik siapa yang mereka dapatkan. Praktik seperti ini mengandung gharar (sejenis transaksi produk gelap sifat, rupa, jumlahnya).

Mohammad Mufid Muwaffaq