Bagaimanakah Hukum Membatalkan Lamaran dan Menarik Kembali Cincin Pertunangan?

Hukum Membatalkan Lamaran

Pecihitam.org – Khitbah atau lamaran merupakan pintu awal menuju pernikahan yang sangat didambakan oleh setiap insan. Namun, tak jarang ikatan pertunangan yang telah disaksikan oleh kedua pihak keluarga kandas di tengah jalan, baik karena suatu sebab atau tanpa diketahui sebabnya. Dalam hal ini, bagaimanakah hukum membatalkan lamaran menurut pandangan Islam?

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Selain tentang hukum membatalkan lamaran, hal penting yang perlu dibahas berkaitan dengan ini adalah pemberian seperti cincin maupun hadiah-hadiah lain yang diberikan saat prosesi lamaran. Apakah barang-barang yang sudah diberikan itu boleh ditarik kembali?

Daftar Pembahasan:

Hukum Membatalkan Lamaran

Pertama, tentang hukum membatalkan lamaran. Hal ini telah dibahas cukup komplit oleh ulama kontemporer dari Syuriah, Wahbah Zuhaili dalam Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu pada Juz 7 halaman 25 – 26.

Beliau menjelaskan, melihat bahwasanya khitbah itu belum bisa dinamakan akad nikah (zawaj), dan itu hanya sebatas janji akan menikah, maka menurut mayoritas ulama, bagi si pria pelamar dan wanita yang dilamar boleh untuk berpaling dari lamarannya (membatalkan).

Karena belum ada akad sama sekali, sehingga tidak ada kewajiban dan kesanggupan (untuk tetap meneruskan).

Hanya saja, dianjurkan sebagai bentuk etika untuk tidak merusak janjinya kecuali memang ada darurat atau keadaan mendesak. Yang demikian adalah dalam rangka menjaga kehormatan keluarga dan kemuliaan si wanitanya.

Baca Juga:  Hukum Poligami dalam Pandangan Agama Islam dan Syarat Melakukannya

Jika memang harus dibatalkan, harus menggunakan alasan-alasan nyata yang tidak dibuat-buat, bukan karena hanya mengikuti hawa nafsu atau tanpa ada sebab yang bisa diterima akal.

Sehingga bagi si pemalar sebaiknya tidak berpaling dari tujuan melamar yang telah ia kehendaki, sebab dengan berpaling ini ia dianggap telah merusak janji-janjinya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَاَوْفُوْا بِالْعَهْدِۖ اِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْـُٔوْلًا

“… dan penuhilah janji, karena janji itu pasti diminta pertanggungjawabannya.” (QS.Al-Isrā’ ayat 34)

Namun, bila ada sebab yang jelas yang mengharuskan ia berpaling dari tujuannya (membatalkan lamaran), maka secara syara’ dan urf dianggap bagus bila ia segera berpaling (membatalkan lamaran).

Demikian tentang hukum membatalkan lamaran. Adapun tentang permasalahan yang kedua, yakni menarik kembali cincin tunangan ataupun pemberian lain saat lamaran, para ulama berbeda pendapat.

Menarik Kembali Pemberian Saat Lamaran

Seperti kita tahu, dalam tradisi atau prosesi lamaran yang berlaku di beberapa negara, termasuk di Indonesia, ada penyematan cincin dan beberapa hadiah lain sebagai tanda adanya ikatan janji.

Ketika ikatan lamaran itu dibatalkan atau tidak jadi menikah, maka para ulama berbeda pendapat tentang hukum menarik kembali pemberian itu.

Berikut penjelasan tentang empat madzhab, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu pada Juz 7 halaman 26 – 27:

Baca Juga:  Gaya Berhubungan Badan yang Dilarang dalam Islam

Pendapat Madzhab Hanafi

قال الحنفية: هدايا الخطبة هبة، وللواهب أن يرجع في هبته إلا إذا وجد مانع من موانع الرجوع بالهبة كهلاك الشيء أو استهلاكه. فإذا كان ما أهداه الخاطب موجوداً فله استرداده. وإذا كان قد هلك أواستهلك أوحدث فيه تغيير كان ضاع الخاتم، وأكل الطعام، وصنع القماش ثوباً، فلا يحق للخاطب استرداد بدله

Ulama Hanafiyah berkata: pemberian saat lamaran adalah berupa hibah. Maka bagi orang yang memberikan hibah tersebut boleh menarik kembali kecuali jika terdapat hal-hal yang yang menghalangi untuk menarik kembali seperti rusaknya pemberian. Jika pemberian tersebut masih ada, maka si pemberi boleh memintanya kembali. Jika telah rusak atau berubah, maka si pelamar tidak berhak untuk meminta gantinya.

Pendapat Madzhab Maliki

وفصل المالكية بين أن يكون العدول من جهة الخاطب أومن جهة الخطوبة، فإذا عدل الخاطب، فلا يرجع بشيء ولو كان موجوداً. وإذا عدلت الخطوبة، فللخاطب أن يسترد الهدايا، سواء أكانت قائمة أم هالكة، فإن هلكت أو استهلكت وجبت قيمتها

Ulama Malikiyah membedakan antara pembatalan lamaran yang dilakukan oleh pihak laki-laki yang melamar dengan pembatalan yang dilakukan oleh pihak yang perempuan yang dilamar. Jika yang membatalkan adalah pihak laki-laki, maka ia tidak berhak untuk menarik kembali pemberiannya walaupun masih ada. Jika yang membatalkan adalah pihak perempuan, maka bagi si lelaki pelamar boleh meminta kembali pemberiannya, baik pemberian itu masih ada atau sudah rusak. Jika sudah rusak, maka pihak perempuan harus mengganti sesuai harganya.

Pendapat Madzhab Syafii dan Hanbali

ورأي الشافعية والحنابلة: أنه ليس للخاطب الرجوع في شيء مما أهداه، سواء أكانت موجودة أم هالكة؛ لأن للهدية حكم الهبة، ولا يجوز عندهم للواهب أن يرجع في هبته بعد قبضها إلا الوالد فيما أعطى ولده

Baca Juga:  Penghasilan Istri Lebih Besar dari Suami, Bagaimana Menurut Pandangan Islam?

Pendapat kalangan syafi’iyyah dan Hanabilah bahwasanya seorang pelamar tidak boleh menarik kembali apa yang telah dihadiahkannya, baik pemberian itu masih ada atau sudah rusak. Karena pemberian hukumnya sama seperti hibah. Maka menurut mereka, tidak boleh bagi orang yang memberikan hibah untuk menarik kembali pemberiannya itu setelah diterima oleh perempuan yang dilamar kecuali seperti pemberian orang tua kepada anaknya.

Faisol Abdurrahman