PeciHitam.org – Di Indonesia, ketika memasuki bulan Ramadhan, segala bentuk pernak-pernik yang bercorak keislaman dibuat dan diadakan. Euforia menyambut bulan suci tersebut begitu kentara, bagi sebagian orang terkesan begitu berlebihan.
Semua hal yang ada sangkut pautnya dengan Islam diambil dan dijadikan komoditas. Tak terkecuali musik ataupun lagu berbahasa Arab yang dinyanyikan salah satu grup musik gambus di sebuah stasiun televisi nasional. Berita tersebut heboh, viral di jagat sosial media.
Ya Tabtab dan Nissa Sabyan
Nissa Sabyan kali ini tampak salah memilih lagu. Ia membawakan lagu Ya Tabtab di acara Syair Ramadan GTV. Bagi yang mengerti dan paham konteks lagu tersebut, tentu akan terpingkal-pingkal mendengarkannya.
Bagaimana tidak, pertama yang harus diketahui, lagu Ya Tabtab itu sama sekali bukan lagu religi sehingga jelas tidak cocok dinyanyikan dalam sebuah acara religi.
Islam memang diturunkan di Arab, namun perlu ditegaskan bahwa tidak semua yang berbahasa Arab berarti pasti Islam. Ya, kalupun memang ingin menyanyikannya, ketika sedang mengisi resepsi pernikahan mungkin lebih cocok.
Kedua, lagu Ya Tabtab Wa Dalla merupakan lagu yang dinyanyikan oleh penyanyi asal Libanon, Nancy Ajram yang menceritakan kisah percintaan dimana sang perempuan dalam lagu tersebut ngambek atau kesal kepada kekasihnya.
Lucunya lagi, dalam channel Youtube resminya, GTV menambahkan caption yang menuliskan bahwa lagu tersebut merupakan untaian lirik religi yang maknanya begitu menyentuh dan menggetarkan hati. Berikut redaksinya yang diunggah GTV pada tanggal 29 April 2020:
“Assalamu’alaikum para penikmat Syair Ramadan. Untaian lirik religi dengan makna menyentuh dan menggetarkan hati yang pastinya hanya ada di Syair Ramadan. Akan ada 3 kontestan setiap harinya yang akan berkompetisi dengan menyanyikan lagu religi yang pastinya sangat menghibur dan menenangkan jiwa. Pemenang dari kompetisi ini akan bertahan dan berkompetisi lagi keesokan harinya.”
Sementara itu, di sisi lain, kampanye mengharamkan musik di Indonesia akhir-akhir ini semakin intensif atau gencar dilakukan. Mereka secara tegas menyatakan bahwa musik haram, musik bukan ajaran Islam, musik tidak sesuai dengan Sunnah dan lain sebagainya, mulai digaungkan di media sosial. Kampanye ini dikemukakan oleh mereka yang menganggap bahwa musik, dengan genre apapun, hukumnya adalah haram di dalam Islam.
Lalu, sebenarnya bagaimana hukum musik dalam Islam? Apakah halal atau haram? Mari simak ulasan berikut ini.
Perdebatan Ulama tentang Hukum Musik dalam Islam
Pagi ini, penulis mendengarkan ceramah singkat dari M. Quraish Shihab di sebuah televisi nasional. Beliau menjelaskan bahwa agama Islam memperkenalkan dirinya antara lain sebagai agama yang sejalan dengan fitrah/naluri/kecenderungan bawaan manusia sehingga tidak mungkin ada suatu pun ajarannya yang bertentangan dengan fitrah.
Salah satu fitrah itu adalah kecenderungan manusia kepada keindahan, baik berupa pemandangan alam, keindahan wajah, aroma yang harum, dan tentu termasuk juga suara merdu. Tuhan tidak mungkin menciptakan itu dalam diri manusia kemudian dia mengharamkannya.
Musik merupakan nada atau suara yang disusun sedemikian rupa sehingga mengandung irama, lagu, dan keharmonisan. Musik sudah begitu lama dikenal dan digunakan manusia untuk berbagai keperluan seperti hiburan, pengobatan, mengobarkan semangat, bahkan menidurkan bayi.
Perdebatan tentang hukum musik dalam Islam bukan lagi hal baru. Ulama-ulama fiqh terdahulu sudah ramai memperdebatkannya di dalam karya-karya mereka. Terutama ulama yang hidup pada abad II dan III Hijrah, khususnya ulama fiqh yang mengharamkan musik.
Beberapa di antaranya seperti Imam Hanbali yang mengatakan bahwa hukum musik dalam Islam adalah haram. Hal ini berdasar dua hadis yang menyatakan keharaman menggunakan drum dan kecapi.
Ibn Taymiyyah juga mengharamkan alat-alat musik yang merujuk pada hadis Imam Bukhari bahwa Nabi tentang ma’azif (alat-alat musik).
Imam Syafi’i, yang menegaskan bahwa diharamkan permainan dengan nard (alat musik yang terbuat dari batang kurma) dan bahwa tertolak kesaksian seorang yang memiliki budak wanita kemudian mengumpulkan orang mendengar nyanyiannya. Kemudian, ada juga Imam Abu Hanifah yang berpendapat bahwa mendengar nyanyian termasuk dosa.
Hal tersebut berbanding terbalik dengan pandangan para sufi, yang pada umumnya mendukung nyanyian. Bahkan konon, Ibn Mujahid tidak menghadiri undangan kecuali jika disuguhkan nyanyian.
Tentu bukan tanpa alasan, menurut al-Junaid, Ramat Allah turun kepada kelompok sufi, antara lain karena mereka mendengar nyanyian yang mengesankan hati mereka sehingga mereka mengakui kebenaran.
Senada dengan hal tersebut, Imam al-Ghazali juga secara tegas membolehkan musik. Bahkan ia berpendapat bahwa nyanyian dapat menimbulkan ekstase (keadaan amat khusyuk sampai tidak sadarkan diri). Boleh jadi lebih dari apa yang ditimbulkan oleh faktor-faktor lain. Pendapat ini didukung oleh hampir semua kaum sufi.
Memang ada hadis yang melarang dan membolehkan musik. Keduanya sama sekali tidak bertentangan. Adapun hadis Nabi yang melarang nyanyian itu jika dilihat lebih teliti menceritakan sosok wanita yang bernyanyi di hadapan lelaki di bar (tempat menyuguhkan minuman keras).
Argumen utamanya lebih banyak terletak pada pengharaman yang bersifat instrumentalis, bukan pengharaman yang esensial. Artinya, musik itu haram karena musik bisa menghantarkan orang untuk lalai dan lupa akan Tuhannya selain musik juga bisa membawa orang jatuh ke dalam perbuatan maksiat.
Sedangkan hadis-hadis Nabi yang menunjukkan kebolehan bernyanyi atau menggunakan alat musik, seperti hadis yang menceritakan ‘Aisyah RA., pernah mendengar nyanyian di rumah Nabi dan Nabi tidak menegurnya.
Menurut al-Ghazali, adanya izin kepada Aisyah menunjukkan bolehnya menyanyi. Adapun larangan yang ada, ia harus dilihat konteksnya. Ulama-ulama yang melarang musik menamainya sebagai alat al-malahi (alat-alat yang melalaikan dari kewajiban/sesuatu yang penting). Dalam konteks inilah musik menjadi haram atau makruh.
Namun sebaliknya, jika melalui musik justru dapat mendorong seseorang kepada sesuatu yang baik, maka ia dianjurkan. Lagu-lagu berbahasa Arab sekali pun, atau yang berirama kasidah, dapat saja menjadi haram bila mengandung kalimat yang tidak wajar atau mengundang rangsangan kemungkaran.
Sependapat dengan hal itu, Qadi Abu Bakr Ibn al-Arabi juga menyatakan bahwa tidak ada satu pun hadis yang sahih yang mengharamkan bernyanyi. Ibn Hazam menyatakan jika setiap hadis yang melarang bermusik dan bernyanyi itu palsu atau dibuat (mau’du).
Pendapat ulama masa lalu yang lain misalnya dari Ibrahim bin Sa’d (bagian dari Ahlul Madinah dimana madzhab Imam Malik dipakai), Ubaidullah Ibn al-Hasan al-Anbari (ulama Basrah) dan Abu Bakr Ibn aKhallal dari madzhab Hanbali juga tidak melarang beryanyi. Ibn al-Jawzi dan Ibn al-Khallal menyatakan ketidakharaman bagi kita untuk melagukan qasa’id al-zuhdiyat (puisi-puisi spiritual dalam suara yang indah dan melodius (bermelodi).
Perdebatan para ulama terdahulu mengenai hukum musik dalam Islam begitu seru, bukan?
Hemat penulis, yang perlu digarisbawahi dalam beberapa penjelasan di atas ialah hukum musik dalam Islam, boleh. Hukum keharaman musik terletak pada kemungkinan dapat melalaikannya (al-malahi).
Boleh-boleh saja, kita menikmati musik sabyan gambus. Hal yang diresahkan oleh warganet bukan pada musiknya, namun pada lirik lagu, tempat dan situasinya yang dianggap tidak sesuai. Tidak semua yang berbahasa Arab berbau Islam. Ash-Shawabu Minallah.