Pecihitam.org – Salah satu ibadah yang sering di lakukan oleh umat Islam adalah ibadah puasa, baik itu yang wajib maupun sunnah. Puasa wajib misalnya seperti puasa Ramadhan sedangkan yang puasa sunnah itu banyak sekali macamnya misalnya seperti puasa senin kamis, puasa ayyamul bidh dan lain sebagainya.
Adapula jenis puasa lain yang sebenarnya tidak ada di dalam syariat agama, tetapi di kerjakan oleh sebagian orang karena menjadi sebuah tradisi yang sudah turun temurun sejak dulu yaitu puasa mutih. Ada sebagian pendapat yang menyebutkan bahwa puasa mutih merupakan perkara bid’ah alasannya karena Rasulullah Saw dulu tidak pernah melakukannya. Jika demikian bagaimana hukum puasa mutih menurut Islam?
Puasa mutih sama seperti puasa pada umumnya yaitu dengan menahan diri dari segala hawa nafsu seperti makan, minum dan berhubungan suami istri. Namun yang berbeda adalah seseorang yang melakukan puasa mutih tidak makan ataupun minum selain nasi putih dan air putih tanpa lauk pauk.
Istilah puasa mutih ini berasal dari bahasa jawa, yaitu mutih yang bermakna memutihkan. Jadi secara filosofisnya, seseorang yang melakukan puasa mutih adalah untuk membersihkan hati dan jiwanya serta mendapatkan keberkahan di dalamnya.
Puasa mutih selama ini memang terkesan dengan hal-hal yang ghaib karena telah menjadi kebiasaan orang-orang jawa terdahulu agar mendapatkan ilmu ghaib, supranatural dan lain sebagainya.
Hal ini tentu saja telah menyalahgunakan hakikat dari ibadah puasa itu sendiri. Karena pada dasarnya puasa adalah salah satu ibadah yang di anjurkan dan Rasulullah Saw sering melakukannya. Adapun beberapa pandangan Islam terkait puasa mutih, antara lain:
- Rasulullah Saw tidak pernah memberikan syari’at pada umatnya untuk melakukan puasa mutih. Selain itu, juga tidak terdapat dalil dalam Al-Qur’an mengenai anjuran puasa mutih.
- Pelaksanaan puasa mutih belum tentu bernilai ibadah karena jika di lakukan dengan niat yang tidak sesuai dengan syari’at atau bahkan sampai terdapat hal-hal yang di larang oleh agama maka tentu saja tidak di perbolehkan.
Sebaliknya, jika seseorang melakukan puasa mutih di niatkan karena Allah Swt untuk membersihkan hatinya dan untuk meningkatakan ketakwaan serta keimanan maka di perbolehkan dan bernilai ibadah.
Sedangkan dalam Bahts Masail LBM NU Surabaya pada tahun 2009 menjelaskan bahwa setiap puasa yang di lakukan sesuai dengan ketentuan hukum syara’ yang tidak ada tuntunan pelaksanaannya maka termasuk dalam kategori puasa sunnah mutlak dan niatnya ialah puasa mutlak.
وتكفي نية مطلقة النفل المطلق ) كما في نظيره ) من الصلاة ( ولو قبل الروال لابعده) لأنه صلى الله عليه وسلم قال لعائشة يوماهل عندكم من غداء قالت لاقا فإني إذا أ صوم قالت وقال لي يوما آخر أعندكم شيء قلت نعم قال إغذذاأفطروإن كنت فرضت الصوم
“Dalam puasa sunnah mutlak ( yang tidak terkait dengan puasa wajib dan sunnah), cara niatnya cukup dengan niat mutlak (umum), sebagaimana niat pada sholat sunnah mutlak. Meskipun letak niatnya sebelum dzuhur. Karena Rasulullah Saw suatu hari berkata pada Aisyah : “ Aapa tidak ada sarapan pagi?” Aisyah menjawab: “ Tidak ada.” Nabi Saw berkata : “Kalau begitu saya puasa”. Aisyah menyebutkan suatu hari Nabi bertanya pada saya : “Apa ada sarapan pagi?”, saya menjawab :” Ada”. Nabi Saw berkata :” Kalau begitu saya tidak berpuasa, meskipun saya perkirakan berpuasa.” (Asna almatholib V/281)
Dengan demikian, hukum puasa mutih bukan termasuk dalam perkara sunnah ataupun wajib, melainkan puasa mutlak dan di perbolehkan dalam Islam selama niatnya karena Allah Swt dan bukan karena hal-hal yang di larang oleh syariat agama. Wallahua’lam bisshawab.