Inilah Dasar Hukum Qurban dalam Islam dan Syarat Binatang yang Bisa Diqurbankan

Inilah Dasar Hukum Qurban dalam Islam dan Syarat Binatang yang Bisa Diqurbankan

PeciHitam.orgIdul Qurban atau Hari Raya Idul Adha tidak bisa terlepas dari kisah Nabi Ibrahim AS untuk mengorbankan Ismail, putranya sendiri. Pengorbanan Ismail untuk disembelih Ibrahim adalah sebagai bentuk ketaatan mereka kepada Allah SWT.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Perintah untuk menyembelih Ismail AS didapatkan Ibrahim lewat mimpi sebagaimana dikisahkan dalam surat As-Shaffat;

Artinya; “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku Termasuk orang-orang yang sabar” (Qs. Ash-Shaffat; 102)

Mimpi dalam hukum Islam memang bisa menjadi dasar hukum, sebagaimana mimpi basah menjadi penanda orang Baligh. Mimpi yang maksud adalah mimpi shadiqah (mimpi yang mengandung kebenaran).

Sedangkan mimpi para Nabi dan Rasul sudah pasti mengandung kebenaran. Maka mimpi Ibrahim untuk menyembelih Ismail AS adalah sebuah perintah yang nyata.

Kejadian perintah Allah SWT kepada Ibrahim AS untuk menyembelih dan mengorbankan anaknya Ismail AS adalah tonggak Qurban dalan Islam. Syariat Islam menunjukan penghormatan kepada kisah perjuangan dan pengorbanan Nabi Ibarahim dan Ismail AS. Syariat tentu mempunyai Implikasi Hukum sebagaimana keterangan berikut;

Daftar Pembahasan:

Hukum Qurban dalam Islam, Wajib Atau Sunnah?

Menyembelih hewan Qurban pada waktunya, yaitu hari Idul Adha dan hari Tasyrik. Sebagaimana Ibadah lainnya, Hukum Qurban dalam Islam adalah Sunnah Muakkad. Maksudnya yakni Sunnah yang sangat dikuatkan.

Bahkan Nabi Muhammad SAW tidak pernah meninggalkan syariat menyembelih hewan Qurban sejak perintah berqurban dari Allah SWT. Perintah berqurban sebagaimana disebutkan dalam surat Ash-Shaffat ayat 102.

Akan tetapi hukum sunnah muakkad harus ditempatkan pada porsi yang pantas. Hewan Qurban sebagaimana diketahui tidak berharga murah dan terjangkau bagi seluruh umat Islam di Nusantara.

Beberapa orang merasa keberatan untuk menunaikan Ibadah Qurban karena memang kemampuan ekonomi yang melatar belakangi. Seyogyanya bagi yang mempunyai kemampuan ekonomi baik harus berqurban setiap tahun sebagaimana dilakukan Rasulullah.

Orang yang kaya dan berqurban setiap tahun tidak akan memberatkan orang tersebut. Lain halnya dengan orang yang berkemampuan ekonomi rendah, untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari masih keberatan apalagi harus berqurban.

Hukum Qurban dalam Islam tidak melulu soal sunnah atau wajib lagi, akan tetapi merujuk pula kepada kepantasan dalam beribadah. Nilai-nilai dalam Qurban menunjukan jiwa keikhlasan dan jiwa solidaritas sosial. Harta yang dibelanjakan untuk membeli hewa qurban akan abadi dan utuh sebagai tabungan hari akhir.

Baca Juga:  Hukum Qurban dengan Ayam, Bolehkah? Ini Penjelasan Ulama

Binatang untuk Qurban dan Syaratnya

Dasar dari syariat Qurban dalam Islam adalah kisah Ibrahim AS menyembelih Ismail kemudian digantikan dengan seekor domba. Menyembelih hewan Qurban bukan hanya harus memiliki hati Ikhlas untuk beribadah melalui ketaatan berqurban akan tetapi Ibadah yang memerlukan biaya materi.

Walaupun materi yang dikeluarkan tidak seperti Haji, menyembelih seekor kambing sekurangnya harus mengeluarkan uang jutaan rupiah. Jika tidak dilandasi rasa iman dan taat kepada Allah niscaya akan muncul rasa berat hati untuk berkurban. Binatang yang disembelih juga tidak sekedar binatang seadanya dengan berbagai kekurangan fisik.

Binatang Qurban haruslah memenuhi unsur-unsur tidak memiliki cacat, pincang, tidak sakit dan harus kambing dengan kondisi gemuk. Jika tidak memiliki prasyarat  ini maka tidak diperkenankan untuk dikurbankan. Ditambah lagi hewan sembelihan sudah berganti gigi atau Musinnah.

Orang-orang Jawa sering mengatakan Poel atau dalam bahasa Arab disebut musinnah. Jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi Kupak. Ulama sepakat mengatakan bahwa jenis hewan untuk berqurban sangat terbatas. Bukan sekehendaknya dan sesuka hati orang yang akan berqurban.

Binatang ternak (Al-An’aam) yang diperbolehkan untuk berqurban terbatas pada hewan unta, sapi, kerbau dan kambing baik jantan atau betina. Allah menerangkan dalam surat Al-Hajj;

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الأنْعَامِ فَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَلَهُ أَسْلِمُوا وَبَشِّرِ الْمُخْبِتِينَ (٣٤

Artinya; “Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzkikan Allah kepada mereka, Maka Tuhanmu ialah Tuhan yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah)”

Kebanyakan dalam kitab fiqih hanya disebutkan 3 hewan yang sah untuk berquban, yakni Sapi, Unta dan Kambing, Kerbau tidak masuk dalam klasifikasi. Akan tetapu Ulama-ulama Nusantara memperbolehan Kerbau menjadi hewan Qurban dan hukumnya sama dengan Sapi.

Kerbau diqurbankan dalam Idul Adha tidak lepas dari dakwah Sunan Kudus yang menghormati kepercayaan orang Hindu pada masa awal dakwah Islam di Kudus.

Baca Juga:  Begini Sejarah Hari Raya Idul Adha dan Kriteria Binatang yang Digunakan untuk Kurban

Beliau mengganti Sapi yang disucikan orang Hindu sebagai jelmaan Dewa mereka menjadi Kerbau untuk menarik simpatik masyarakat Kudus untuk memeluk Islam.

Selain keempat kewan tersebut maka tidak boleh untuk berqurban. Dengan ayat ini, maka hewan-hewan lainnya semisal burung, ayam dan sebagainya tidak boleh dijadikan binatang Kurban Idul Adha.

Hewan-hewan ternak untuk Kurban menurut yang memenuhi kategori musinnah berbeda-beda. Untuk unta, kategori Musinnah sekitar 5 tahun, untuk sapi sekira umur 2-3 Tahun dan untuk Kambing sekitar 1-2 tahun.

Kerbau hampir sama dengan sapi dalam ketentuan musinnah-nya dan cakupan orang yang berqurban. Kambing hanya boleh untuk Qurban 1 Jiwa, sedangkan nilai sapi dan Unta sama dengan 7 jiwa Muslim sebagaimana kesepakatan para Ulama Fikih.

Dasar Hukum Qurban dalam Islam

Kapan waktu penyembelihan hewan Qurban dalam Islam?

Muslim yang akan menyembelih hewan Kurban tidak boleh dan tidak sah dilakukan pada hari-hari biasa. Ketentuan waktu penyembelihan hewan kurban paling afdhal yaitu yaumu Nahr (Hari ‘Idul Adha tanggal 10 Zulhijah) setelah melaksanakan shalat ‘Idul Adha.

Akan tetapi bagi jamaah haji di Arafah, penyembelihan dapat dilakukan setelah terbit matahari di hari Nahr. Berbeda sedikit dengan orang-orang yang tidak melaksanakan ihram haji.

Waktu penyembelihan menurut pendapat Ijma’ madzhab Hanafi, Maliki dan Hanbali yakni 3 hari,  hari Nahr dan dua Hari Tasyrik (Tanggal 11-12 Dzulhijjah). Waktu penyembelihan berakhir saat tenggelamnya matahari pada hari ke 12 Dzulhijjah.

Sedangkan pendapat Imam Syafi’i yang banyak dianut di Nusantara mengatakan bahwa waktu penyembelihan hewan kurban sah dalam 4 hari, yaitu Hari Nahr (tepat hari Raya Adha),  dan 3 hari tasyrik (11-13 Dzulhijjah).

Penanda berakhirnya waktu penyembelihan yakni pada waktu maghrib tanggal 13 Dzulhijah, jika melebihi hari ini maka tidak masuk Hewan Qurban.

Perhatikan dengan seksama bahwa penyembelihan terbatas. Oleh karenanya hal tersebut, panitia perlu mensiasati dalam penyembelihan hewan Qurban.

Fenomena yang terjadi di Nusantara menunjukan bahwa beberapa Masjid Besar di Pusat atau Daerah dalam sekali Idul Adha bisa memiliki hewan Qurban Ratusan ekor.

Jika tidak ada menajemen yang baik, maka hewan tidak akan tersembelih sempurna pada 4 hari (10-13 Dzulhijjah) yang ditentukan.

Hukum Patungan Arisan Qurban

Keinginan menjalankan Ibadah menyembelih hewan Qurban bagi orang kemampuan ekonomi rendah perlu disiasati. Bagi Muslim kaya akan sangat mudah membeli seekor kambing jantan yang besar dan sehat.

Baca Juga:  Kulit Hewan Qurban Tidak Boleh Dijual, Ini Solusi Biaya Operasional untuk Panitia Qurban

Sedangkan banyak dari Muslim yang tidak memiliki harta berlebih untuk berqurban. Banyak masyarakat dipedesaan membuat solusi yang tepat yakni melakukan patungan untuk berQurban bersama.

Patungan dengan sistem Arisan banyak digunakan oleh Muslim di Nusantara untuk mensiasati pengeluaran besar sekali waktu. Beberapa panitia di Mushalla atau Masjid mengadakan Arisan Kurban untuk bergotong-royong membeli kambing atau sapi.

Shahibul Qurban atau yang mendapatkan hak Kurban adalah mereka yang pada tahun itu keluar namanya dalam arisan. Bolehkan cara ini digunakan untuk mensiasati Qurban bagi Muslim dengan ekonomi rendah?

Merujuk pada riwayat Al-Hakim dan Ahmad menjelaskan,  Boleh melakukan patungan atau Arisan untuk mendapatkan seekor hewan Kurban.

Hadits Nabi menyebutkan; Abul Aswad As-Sulami meriwayatkan dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa pada masa kami bertujuh bersama Rasulullah SAW sedang melaksanakan perjalanan kami mendapati hari Raya ‘Idul Adha. Rasulullah SAW memerintahkan kami untuk mengumpulkan uang setiap orang satu dirham untuk membeli kambing seharga 7 dirham.

Kemudian Rasulullah SAW memerintahkan pada kami. Masing-masing orang memegang 4 kaki dan dua tanduk sedang yang ketujuh menyembelihnya, kemudian kami semuanya bertakbir” (HR Ahmad dan Al-Hakim)

Budaya yang terjalin dan hidup di Nusantara sebagaimana Arisan Qurban menunjukan bahwa semangat beribadah orang-orang Indonesia besar. Budaya mensiasati kelemahan ekonomi dengan bergotong-royong mengumpulkan uang sedikit demi sedikit adalah perjuangan yang hebat dan akan berfaidah pahala besar.

Hal ini menunjukan bahwa budaya dan tradisi ekspresi keagamaan sangat perlu diposisikan dalam bentuk kebaikan bersama atau maslahah. Jangan serta merta menjadi tersangka tertuduh “tidak ada dalil tuntunanNya, maka Bid’ah” yang malah menjadikan orang anti-pati pada Islam.

Ash-Shawabu Minallah

Mochamad Ari Irawan