Pecihitam.org- Beberapa waktu yang lalu media online dihebohkan dengan isu seorang perempuan hamil gara-gara berenang di kolam renang yang ada laki-lakinya. Hal tersebut ramai dibicarakan oleh masyarakat. Mereka bertanya-tanya masak iya Cuma gara-gara berenang bareng laki-laki bisa hamil?.
Jika dilihat dari sudut pandang ilmu kedokteran, hal tersebut tidak mungkin terjadi, sebab sperma akan mati jika keluarnya tidak di dalam Rahim seorang perempuan. Lantas bagaimana pandangan Islam terkait hukum renang dengan lawan jenis, apakah diperbolehkan?
Sebelumnya perlu kita fahami terlebih dahulu bahwa, dalam melakukan renang atau olahraga air, laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama.
Artinya tidak ada Batasan khusus, sebab mayoritas masyarakat di Indonesia melakukan aktivitas olahraga air di kolam renang umum. Kemudian muncullah pertanyaan, apakah renang dengan lawan jenis dalam satu tempat seperti dalam kolam renang umum?.
Permasalahan ini pernah diangkat oleh ulama dalam kitab-kitab klasik, yakni terkait aktivitas seorang wanita di lingkungan publik adalah soal aurat dan campur baur seorang wanita dengan laki-laki (ikhtilath) yang bukan mahram.
Ulama tersebut menjelaskan bahwa, aktivitas seorang wanita di lingkungan publik di mana terdapat banyak laki-laki di dalamnya termasuk renang itu dibolehkan, dengan catatan auratnya tertutup.
خصوصا في هذا الزمان الذي كثر فيه اختلاط الاجانب من الرجال والنساء في مثل ذلك من غير مبالاة بكشف ما هو عورة كما هو معلوم مشاهد
Maksud dari kalimat di atas adalah, di zaman ini ketika dikeramaian terdapat para wanita bercampur baur dengan laki-laki (ikhtilath) yang bukan mahram, sudah menjadi hal yang biasa.
Dan hal tersebut dibolehkan dengan catatan aurat perempuan harus tertutup. (Lihat As-Syarbini, Iqna dalam Hasyiyatul Bujairimi alal Khatib, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah: 1996 M/1417 H], juz IV, halaman 226).
Perlu kita ketahui Bersama bahwa pada prinsipnya, bercampur baur (ikhtilath) antara laki-laki dan perempuan itu diperbolehkan, selagi ada hajat tertentu dan dibarengi dengan menjaga hukum-hukum syariat seperti menjaga aurat, menjaga penglihatan mata, dan terjaga dari fitnah.
Oleh sebab itu, untuk menjawab pertanyaan di atas tadi, penulis mengutip pendapat Imam An-Nawawi dari Mazhab As-Syafi’i. Beliau menjelaskan bahwa, campur baur antara laki-laki dan perempuan bukan mahram itu dibolehkan dengan catatan manjaga kaidah syariat dan dilakukan di tempat terbuka atau ramai, bukan di tempat sepi.
فقد نقل ابن المنذر وغيره الاجماع أن المرأة لا جمعة عليها وقوله ولانها تختلط بالرجال وذلك لا يجوز ليس كما قال فانها لا يلزم من حضورها الجمعة الاختلاط بل تكون وراءهم وقد نقل ابن المنذر وغيره الاجماع علي انها لو حضرت وصلت الجمعة جاز وقد ثبتت الاحاديث الصحيحة المستفيضة أن النساء كن يصلين خلف رسول الله صلي الله عليه وسلم في مسجده خلف الرجال ولان اختلاط النساء بالرجال إذا لم يكن خلوة ليس بحرام
Maksud dari kaidah di atas adalah, Ibnul Mundzir dan ulama lain mengambil ijmak bahwa seorang wanita tidak berkewajiban melaksanakan sholat Jumat. Pasalnya ketika seorang perempuan menghadiri jumatan maka dia bercampur dengan laki-laki dan yang demikian itu tidak boleh.
Namun tidak seperti apa yang dikatakan bahwa kehadiran perempuan pada sholat Jumat tidak serta merta terjadinya campur baur, melainkan ada di belakang jamaah laki-laki. Ibnul Mundzir dan ulama lain mengambil ijmak bahwa jika perempuan mau menghadiri shalat Jumat, tentu hal tersebut dibolehkan.
Hadits-hadits shahih yang tersebar luas telah menjelaskan bahwa ketika Rasulullah SAW sholat berjamah di masjid, ada jamaah perempuannya juga di belakang jamaah laki-laki, sebab campur baur (ikhtilath) laki-laki dan perempuan itu dibolehkan sejauh tidak khalwat (tempat sunyi). (Lihat An-Nawawi, Al-Majmuk, [Jeddah, Maktabah Al-Irsyad: tanpa tahun], juz IV, halaman 350).