PeciHitam.org – Membahas Hukum Rujuk dalam Islam, tidak terlepas dari masalah keretakan rumah tangga dan penyelesainnya dengan baik. Rujuk menjadi semacam lem perekat rumah tangga atas problematika yang menyebabkan talak atau cerai.
Kebanyakan kasus talak atau cerai, memang berawal dari emosi atau amarah yang tidak terbendung, kemudian munculnya kata Talak, ”Kamu Saya Ceraikan” kepada sang Istri. Dengan kata itu, Talak 1 (Talak Raj’i) jatuh.
Jatuhnya talak atau kata-kata cerai oleh suami kepada Istri walaupun dalam keadaan marah, sah secara hukum. Dan untuk meneperbaikinya perlu mengetahui Hukum rujuk dalam islam yang benar. Penjelasannya sebagai berikut;
Daftar Pembahasan:
Talak, ‘Iddah dan Rujuk
Talak atau cerai merupakan kata untuk mengharamkan istri atau melepaskan istri dari ikatan perkawinan. Akan tetapi, setelah kata talak terucap, tidak serta merta menjadi akhir dari rumah tangga dan tidak bisa diperbaiki.
Dalam Islam, setelah kata cerai terucap, masih ada masa tunggu untuk bisa kembali menjalin hubungan suami istri tanpa perlu akad penikahan Ulang, yakni Rujuk. Masa tunggu tersebut disebut dengan ‘Idah.
Jangka masa ‘Idah sekitar 3 Quru’ bagi istri yang di talak tidak mengandung. Banyak ulama berbeda pendapat tentang makna Idah. Ada yang beranggapan 3 kali suci, ada yang mengatakan 3 kali haid. Akan tetapi untuk memudahkan memahami, 3 Quru’ jika disamakan dengan masa kalender berlaku sekitar 100 hari.
Tujuan masa Idah adalah untuk menunggu kalau-kalau sang suami akan kembali berubah pikiran menarik talak dengan menggunakan Rujuk. Ulama banyak mengeluarkan pendapat tentang Idah dari segi hukumnya sebagai berikut;
المعتدة في حكم زوجها
Artinya; Orang yang berada dalam Masa Idah, adalah masih dalam Hukum Suaminya (Perempuan yang tertalak)
Rujuk secara bahasa adalah kembali kepada istri dan berkumpul dalam bingkai pernikahan tanpa memerlukan akad sebagaimana pernikahan regular. Maka dalam pernikahan yang sudah terucap kata cerai dari suami kepada istri bukan akhir segalanya, akan tetapi Allah masih memberi kelonggaran untuk Rujuk dalam masa tunggu atau Idah.
Hukum Rujuk dalam Islam
Membahas hukum rujuk dalam Islam sekiranya dapat merujuk pada dalil Al-Quran dalam surat Al-Baqarah ayat 228-229;
وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلاحًا وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (٢٢٨)الطَّلاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ وَلا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلا أَنْ يَخَافَا أَلا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَعْتَدُوهَا وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (٢٢٩
Artinya; “Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim. (Qs. Al-Baqarah: 228-229)
Ulama sekaliber KH Bahaudin Nursalim (Gus Baha) menjelasakan redaksi (وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ) bahwa hak suami kepada Istri yang sudah ditalak dan masih dalam masa Idah masih tanggung jawab suami. Dalam Kitab Fathul Qarib Mujin karya Muhammad bin Qasim Al-‘Izzi yang mensyarahi kitab Matan Ghayah li Abi Syuja pada halaman 50 menyebutkan bahwa dalam talak Raj’i (talak 1 dan 2) masih mendapat 2 hak.
2 hak tersebut adalah tempat tinggal dan nafkah. Hak tempat tinggal bukan sekedar tempat tinggal ala kadarnya, akan tetapi pantas sebagaimana sebelum dicerai. Nafkah juga mendapat porsi sebagaimana sebelum diceraikan.
Dalam berbagai tafsir Al-Quran, kata (أَحَقُّ) disebutkan Gus Baha bukan bermakna tafdhil, “Lebih Berhak, atau Paling berhak” akan tetapi bermakna hukum, “Hanya yang berhak” adalah suami.
Dalam kondisi masa Idah inilah Rujuk harusnya diucapkan oleh suami. Hukum Idah dalam Islam pada dasarnya adalah Jaiz, Mubah atau Boleh. Akan tetapi hukum dasar ini bisa berubah tergantung faktor-faktor lain.
Jika Suami yang mentalak Istrinya masih memiliki tanggungan hak-hak kepada Istri yang belum terpenuhi, maka Rujuk kepada Istri menjadi Wajib. Kondisi lain bisa berubah menjadi Sunnah jika memang Rujuk akan membawa dampak positif lebih baik ketimbang melanjutkan cerai permanen.
Dan Hukum Rujuk dalam Islam bisa menjadi Makruh atau tidak disukai Allah, jika berpisah dalam perceraian akan menjadikan Istri lebih bahagia dan lebih baik, dan Hukum Rujuk dalam Islam bisa menjadi Haram jika rujuk akan menjadikan Istri menjadi bertambah siksaanya atau menambah penderitaan istri.
Rujuk merupakan Hak prerogatif suami, maka istri dalam hal ini hanya berhak untuk usul kepada suami jika menginginkan rujuk.
Syarat Rujuk dalam Islam
Mengetahui Hukum Rujuk dalam Islam yang beraneka macam, tergantung kondisi masing-masing pasangan maka fokus penilaian dalam rujuk atau cerai adalah pasangan itu sendiri. Baik atau Buruknya pilihan untuk Cerai atau Rujuk berada pada putusan masing-masing individu.
Maka Allah SWT membuat sebuah keringanan untuk berpikir menentukan cerai atau Rujuk dalam masa Idah.
Untuk kembali menjalin rumah tangga setelah talak Raj’i maka bisa menggunakan Rujuk atau kembali dalam pernikahan tanpa akad pernikahan ulang. Syaikh Ibrahim Baijuri menyebutkan beberapa syarat rujuk dalam islam sebagaimana dalam Kitab beliau Hasyiyatul Bajuri;
- Suami Sah dari Istri yang ditalak, dan Istrinya sudah pernah digauli secara wajar.
- Suami yang Rujuk harus dalam keadaan berakal sehat, dan sudah akil baligh atau dewasa.
- Rujuk hanya boleh dari talak Raj’i, maka tidak boleh talak bain (talak 3) untuk dirujuk
- Talak yang terjadi tanpa tebusan
- Rujuk harus dilakukan dalam masa Idah
Jika salah satu dari syarat di atas tidak dipenuhi maka Rujuk tidak akan sah. Dalam Kitab Fathul Muin dijelaskan bahwa syarat Rujuk tidak memerlukan saksi.
Cara Rujuk dalam Islam
Melanjutkan keterangan dalam Kitab Hasyiyah Al-Bajuri menyebutkan bahwa cara rujuk yakni menggunakan perkataan yang jelas (Sharih) atau menggunakan Kode Sindiran secara tidak langsung (Kinayah).
Semua Ulama berpendapat pada asalnya Rujuk adalah perbuatan yang baik. Dan pelaksanaan Rujuk sebaiknya dengan perkataan yang baik pula. Perkataan untuk Rujuk bisa menggunakan kalimat jelas seperti, “Aku rujuk denganmu”, atau dengan ucapan dengan makna tersirat (Kinayah) seperti, “Aku kembali padamu”.
Redaksi lain yang menimbulkan perbedaan Ulama yakni apakah dalam Rujuk harus menggunakan perkataan? Apakah tidak boleh dengan menggunakan perbuatan yang menunjukan keakuran untuk sama-sama mau kembali dalam pernikahan?
Gus Baha menjabarkan keterangan dalam Kitab Fathul Mu’in bahwa ada ta’bir atau gambaran hukum sebagai berikut;
ولا حدّ على المطلق طلاقا رجعيا ان وطيئها قبل الرجع، واني تقد تحريمه وذالك لخلاف الشاهر في اباحة وحصول الرجعة به
Artinya; Tidak ada Had atau Hukum bagi Penalak (suami) yang menalak Istri dengan talak Raj’i walaupun ia menggauli Istri sebelum Rujuk (diucapkan), walaupun ia (suami) tahu bahwa itu haram akan tetapi beberapa Qaul Ulama mengatakan bahwa adanya pergaulan suami-istri menandakan sudah terjadinya Rujuk (walaupun tidak diucapkan)
Keterangan dalam kitab Fathul Mu’in mengatakan bahwa Qaul atau perkataan dalam talak tidak diperlukan secara mutlak. Akan tetapi lebih aman dan lebih pasti jika menggunakan perkataan untuk lebih baiknya.
Ash-Shawabu Minallah.