Pecihitam.org– Berjabat tangan antara lawan jenis yang bukan mahram adalah haram, sebagaimana banyak penjelasan tentang hal ini. Tetapi bagaimana pandangan hukum tentang seorang santriwati bersalaman dengan Kyai dalam rangka tabarrukan dan umumnya aman dari syahwat dan fitnah, apakah masih tetap haram atau bagaimana?
Dalam tradisi pesantren, pemandangan santriwati bersalaman dengan Kyai biasa kita lihat menjelang liburan pesantren, di mana para santri izin mau pulang. Atau ketika baru kembali dari rumah pasca liburan, kita juga sering melihat santriwati bersalaman dengan Kyai sebagai bentuk takdzim dan mengharap berkah.
Berikut urain panjang dan lengkap tentang hukum santriwati bersalaman dengan Kyai atau sebaliknya, santri putra bersalaman dengan Bu Nyai.
Daftar Pembahasan:
Anjuran Bersalaman
Bersalaman atau berjabat tangan dalam Islam dikenal dengan istilah mushafahah, yakni — sebagaimana dijelaskan dalam Kitab Tuhfatul Ahwadzi Syarh Sunan At-Tirmidzi — berjabat tangan dengan satu tangan, yaitu tangan kanan dari kedua belah pihak.
Rasulullah SAW sangat menganjurkan untuk bersalaman atau berjabat tangan. Salah satu faedahnya adalah menghilangkan unek-unek dan rasa kesal dalam hati.
تَصَافَحُوْا يَذْهَبِ الْغِلُّ، وَتَهَادَوْا تَحَابُّوْا وَتَذْهَبِ الشَّحْنَاءُ
Saling berjabat tanganlah kamu sekalian niscaya rasa iri hati akan hilang, dan saling memberi hadiahlah niscaya kalian akan saling mencintai, dan rasa permusuhan akan hilang. (HR.Malik)
Karena begitu besarnya manfaat bersalaman antar sesama muslim, maka dianjurkan setiap bertemu atau berpisah utnuk bersalaman. Dan itu akan menjadi sebab diampunkannya dosa-dosa.
مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلاَّ غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَتَفَرَّقَا
Tidaklah dua orang muslim bertemu seraya berjabat tangan, melainkan dosa keduanya diampuni sebelum mereka berpisah. (Ibnu Majah)
Begitulah keutamaan dari bersalaman sesama muslim. Namun dua hadis di atas berbicara tentang bersalaman secara umum. Adapun bersalaman antara laki-laki dengan wanita yang bukan muhrim masuk pada pembahasan khusus yang beda dengan anjuran umum di atas.
Hukum Bersalaman Laki-laki dengan Perempuan
Umumnya ulama sepakat mengatakan bahwa haram hukumnya bersalaman antara laki-laki dengan perempuan yang bukan mahram.
Berikut uraian lengkapnya:
Syaikh Zainuddin Al-Malibari dalam kitab Fathul Mu’in hal. 98 mengatakan :
وَحَيْثُ حُرِّمَ نَظْرُهُ حُرِّمَ مَسُّهُ بِلَا حَائِلٍ، لِأَنَّهُ أَبْلَغُ فِيْ اللَّذَّةِ.
Sekiranya haram melihatnya maka haram pula menyentuhnya tanpa pemisah, karena memegang itu lebih menimbulkan rasa nyaman.
Dalam sebuah hadits Imam Bukhari disebutkan bahwa ketika Nabi Muhamamd SAW membai’at perempuan yang bukan mahram, beliau tidak menjabat perempuan tersebut dan membai’at hanya dengan ucapan.(Al-Bukhari bab. Surat Al-Mumtahanah ayat 10)
Tanpa Penghalang
Hukum jabat tangan antar lawan jenis secara langsung (tanpa penghalang) adalah haram, kecuali bagi anak kecil atau yang sudah lanjut usia yang tidak berpotensi menimbulkan efek syahwat dan fitnah (zina wa muaqddimatuhu)
Menggunakan Penghalang
Hukum jabat tangan antar lawan jenis non-mahram dengan menggunakan kaos tangan dan penutup sejenisnya, berhukum jawaz asalkan tidak berpotensi menimbulkan syahwat dan Fitnah.
Bersalaman Laki-laki dengan Perempuan yang Bukan Mahram Menurut 4 Madzhab
Syaikh Wahbah Az-Zuhayli menjelaskan dalam Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh pada Jilid III halaman 567 sebagai berikut:
Mayoritas ulama kecuali madzhab Syafi‘i membolehkan jabat tangan atau salaman (mushafahah) dengan perempuan tua yang bukan mahram sebagaimana keterangan berikut ini:
وتحرم مصافحة المرأة، لقوله صلّى الله عليه وسلم: «إني لا أصافح النساء» لكن الجمهور غير الشافعية أجازوا مصافحة العجوز التي لا تشتهى، ومس يدها، لانعدام خوف الفتنة، قال الحنابلة: كره أحمد مصافحة النساء، وشدد أيضاً حتى لمحرم، وجوزه لوالد، وأخذ يد عجوز شوهاء
“Jabat tangan dengan perempuan haram berdasarkan sabda Rasulullah SAW, ‘Aku tidak berjabat tangan dengan perempuan,’ (HR Al-Muwaththa’, At-Tirmidzi, dan An-Nasa’i)
Tetapi mayoritas ulama selain madzhab Syafi’i membolehkan jabat tangan dan sentuh tangan perempuan tua yang tidak bersyahwat karena tidak khawatir fitnah.
Hanya saja Madzhab Hanbali memakruhkan jabat tangan dengan perempuan dan melarang keras termasuk dengan mahram. Tetapi Madzhab Hanbali membolehkan jabat tangan bagi seorang bapak dengan anaknya dan membolehkan jabat tangan perempuan tua dan jelek
Sementara dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah jilid III halaman 359 dijelaskan sebagai berikut:
Madzhab Syafi’i mengharamkan jabat tangan dan memandang perempuan, sekalipun hanya perempuan tua. Hanya saja Madzhab Syafi’i membolehkan jabat tangan antara seorang laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya dengan dihalangi semisal sarung tangan sebagaimana keterangan berikut ini:
وحرم الشافعية المس والنظر للمرأة مطلقاً، ولو كانت المرأة عجوزاً. وتجوز المصافحة بحائل يمنع المس المباشر
Madzhab Syafi’i mengharamkan bersentuhan dan memandang perempuan secara mutlak, meskipun hanya perempuan tua. Tetapi boleh jabat tangan dengan alas (sejenis sarung tangan atau kain) yang mencegah sentuhan langsung,
Lalu bagaimana dengan jabat tangan seorang laki-laki dan perempuan muda yang bukan mahramnya? Berikut keterangannya:
وَأَمَّا مُصَافَحَةُ الرَّجُل لِلْمَرْأَةِ الأجْنَبِيَّةِ الشَّابَّةِ فَقَدْ ذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ وَالْمَالِكِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ فِي الرِّوَايَةِ الْمُخْتَارَةِ، وَابْنُ تَيْمِيَّةَ إِلَى تَحْرِيمِهَا، وَقَيَّدَ الْحَنَفِيَّةُ التَّحْرِيمَ بِأَنْ تَكُونَ الشَّابَّةُ مُشْتَهَاةً، وَقَال الْحَنَابِلَةُ : وَسَوَاءٌ أَكَانَتْ مِنْ وَرَاءِ حَائِلٍ كَثَوْبٍ وَنَحْوِهِ أَمْ لاَ
Perihal jabat tangan seorang laki-laki dengan perempuan muda bukan mahram, ulama Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali dalam riwayat pilihan, serta Ibnu Taimiyah memandang keharamannya. Tetapi Ulama Madzhab Hanafi memberikan catatan keharaman itu bila perempuan muda tersebut dapat menimbulkan syahwat. Sedangkan Madzhab Hanbali mengatakan, keharaman itu sama saja apakah jabat tangan dilakukan dengan alas seperti pakaian, sejenisnya, atau tanpa alas.
Ulama yang membolehkan praktik ini bersandar pada riwayat yang menceritakan praktik jabat tangan dengan perempuan bukan mahram oleh Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Umar RA. Mereka menyimpulkan bahwa penahanan diri Rasulullah SAW dari praktik tersebut bersifat khususiyah atau pengecualian yang khusus untuk dirinya sendiri.
Sementara ulama yang mengharamkan mendasarkan pandangannya pada keumuman hadits.
Hukum dasarnya beralaman lain jenis itu haram secara mutlaq baik syahwat atau tidak. Namun dalam kitab Tuhfah sbgaimana yang di paparkan di atas ada pengecualian, yakni jika sudah sepuh dan dengan syarat tidak menimbulkan syahwat berdasarkan panadangan umum
فان كانت عجوزا فلا بأس ان كان غالب رأيه انه لايشتهي
Kalau sudah sepuh (nenek-nenek), mka tidak haram apabila umumnya menurut prasangka tidak akan timbul syhwat.
Dari uraian dia atas tentang bersalaman lawan jenis, maka inilah rumusan pendapat empat madzhab.
Madzhab Hanafi
وأما المس فيحرم سواء عن شهوة أو عن غير شهوة وهذا إذا كانت شابة فإن كانت عجوزا فلا بأس بالمصافحة إن كان غالب رأيه أنه لا يشتهي ولا تحل المصافحة إن كانت تشتهي وإن كان الرجل لا يشتهي. تحفة الفقهاء لِعلاء الدين السمرقندي – ج 3 / ص 333
Adapun bersentuhan lawan jenis adalah haram, baik dengan syahwat atau tidak. Ini adalah jika seorang perempuan yang masih muda. Jika sudah tua, mata tidak apa-apa bersalaman jika menurut prasangka umumnya seorang laki-laki tidak bersyahwat. Dan tidak halal bersalaman jika perempuan tua itu masih bersyahwata walaupun laki-lakinya tidak bersyahwat.
Madzhab Maliki
وَلَا تَجُوزُ مُصَافَحَةُ الرَّجُلِ الْمَرْأَةَ أَيْ الْأَجْنَبِيَّةَ وَإِنَّمَا الْمُسْتَحْسَنُ الْمُصَافَحَةُ بَيْنَ الْمَرْأَتَيْنِ لَا بَيْنَ رَجُلٍ وَامْرَأَةٍ أَجْنَبِيَّةٍ، وَالدَّلِيلُ عَلَى حُسْنِ الْمُصَافَحَةِ مَا تَقَدَّمَ وَقَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَنْ قَالَ لَهُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ الرَّجُلُ مِنَّا يَلْقَى أَخَاهُ أَوْ صَدِيقَهُ أَيَنْحَنِي لَهُ قَالَ: لَا. حاشية الصاوي على الشرح الصغير – ج 11 / ص 279
Tidak boleh seorang laki-laki bersalaman dengan wanita ajnabiyah. Karena yang dianggap baik adalah bersalaman antara sesama perempuan bukan antara laki-laki dengan perempuan ajnabiyyah. Dalil tentang baiknya bersalaman ini adalah penjelasan terdahulu dan sabda Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam kepada orang yang bertanya kepada beliau, “Wahai Rasulullah, seorang laki-laki di antara kami bertemu saudara atau temannya, apakah ia harus membungkukkan badannya?” Nabi menjawab, “Tidak”.
Madzhab Syafi’i
وَتُسَنُّ مُصَافَحَةُ أَيْ عِنْدَ اتِّحَادِ الْجِنْسِ، فَإِنْ اخْتَلَفَ فَإِنْ كَانَتْ مَحْرَمِيَّةً أَوْ زَوْجِيَّةً أَوْ مَعَ صَغِيرٍ لَا يُشْتَهَى أَوْ مَعَ كَبِيرٍ بِحَائِلٍ جَازَتْ مِنْ غَيْرِ شَهْوَةٍ وَلَا فِتْنَةٍ؛ نَعَمْ يُسْتَثْنَى الْأَمْرَدُ الْجَمِيلُ فَتَحْرُمُ مُصَافَحَتُهُ كَمَا قَالَهُ الْعَبَّادِيُّ ا هـ مَرْحُومِيٌّ. حاشية البجيرمي على الخطيب – ج 10 / ص 113
Bersalaman disunahkan jika sesama jenis. Jika berlainan jenis, maka jika wanita tersebut merupakan mahram, istri atau anak kecil yang tidak bersyahwat atau orang tua dengan menggunakan penghalang, maka boleh dengan catatan tidak ada syahwat dan tidak timbul fitnah. Ya, namun dikecualikan dalam hal ini seorang laki-laki amrad yang cantik. Maka haram bersalaman dengannya sebagaimana dikatakan kan oleh Imam Al-‘Abbadi.
Madzhab Hanbali
ولا يجوز مصافحة المرأة الأجنبية الشابة وأن سلمت شابة على رجل رده عليها وإن سلم عليها لم ترده وإرسال السلام إلى الأجنبية وإرسالها إليه لا بأس به للمصلحة وعدم المحذور. الإقناع في فقه الإمام لأحمد الحجاوي- ج 1 / ص239
Tidak boleh bersalaman dengan wanita ajnabiyah yang masih muda. Jika seorang wanita muda mengucapkan salam kepada laki-laki, maka ia boleh menjawabnya. Dan jika seorang laki-laki mengucapkan salam kepada wanita muda, maka tidak boleh dijawab. Adapun menitipkan salam kepada wanita ajnabiyah atau sebaliknya wanita ajnabiyah menitipkan salam kepada laki-laki, maka tidak apa-apa karena terdapat maslahat dan tidak adanya larangan.
Hukum Santriwati Bersalaman dengan Kyai
Kembali ke hukum santriwati bersalaman dengan Kyai atau sebaliknya seorang santri putra bersalaman dengan Bu Nyai. Maka dalam konteks ini karena ghalib /umumnya tidak menimbulkan syahwat
انه لا يشتهي
dan aman dari fitnah, karena semata-mata tabarrukan (mengharapkan berkah), yang bagian dari anjuran, maka pandangan sementara saya adalah boleh. Tapi sekali lagi dengan syarat tidak ada syahwat, tidak timbul fitnah dan dalan rangka mengharapkan barokah. Apalagi kalau menggunakan hail (pengalang) seperti kaos tangan, mislanya.
Demikian. Wallahu a’lam bisshawab!