Hukum Shalat Jamak Qasar di Rumah Karena Mudik

Hukum Shalat Jamak Qasar di Rumah Karena Mudik

PeciHitam.org – Banyak pertanyaan ketika musim liburan atau lebaran akan tiba, salah satunya yaitu mengenai bagaimana sih hukumnya melakukan shalat jamak dan qasar di rumah karena mudik? apakah hal ini diperbolehkan?

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Dalam kitab at-Taqrirat as-Sadidah, karya Syekh Hasan bin Ahmad bin Muhammad al-Kaf disebutkan mengenai batasan muqim dan mustauthin, berikut redaksinya:

ضابط المقيم هو الذي نوى الإقامة في بلد أربعة أيام فأكثر غير يومي الدخول والخروج وفي نيته الرجوع لوطنه ولو بعد زمن طويل. ضابط المستوطن هو الذي لا يظعن {لا يسافر} صيفا ولا شتاء إلا لحاجة

“Batasan seseorang disebut muqim yaitu orang yang niat menetap (bermukim) di suatu tempat selama masa empat hari atau lebih, selain hari ketika dia sampai dan hari ketika dia pulang, serta terdapat niatan untuk kembali lagi ke tempat tinggalnya, meskipun setelah jeda waktu yang lama. Sedangkan batasan seseorang disebut mustauthin yaitu orang yang (menetap di suatu tempat) tidak bepergian, baik di musim panas ataupun di musim dingin, kecuali memiliki hajat.”

Jika melihat pengertian yang disebutkan di atas, batasan mustauthin ini lebih menekankan pada tempat tinggal saat ini dari pada kampung halaman atau tempat kelahiran yang pernah ditinggalinya.

Baca Juga:  Inilah Dasar Keharaman Menikah Kembali Selamanya Atas Pasangan yang Berli’an

Dengan kata lain, ketika seseorang sudah memutuskan untuk pindah dan menetap di tampat kediaman yang baru dan tidak mimiliki rencana untuk kembali menetap di tempat tinggal sebelumnya, maka bolehlah ia disebut sebagai mustauthin.

Senada dengan kitab at-Taqrirat as-Sadidah di atas, kitab Nihayah al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj karya Syihabuddin ar-Ramli juga menuturkan demikian:

والمستوطن هنا من ( لا يظعن شتاء ولا صيفا إلا لحاجة ) كتجارة وزيارة فلا تنعقد بغير المتوطن كمن أقام على عزم عوده إلى وطنه بعد مدة ولو طويلة كالمتفقهة والتجار. وأفهم قوله على عزم عوده أن من عزم على عدم العود انعقدت منه لأنها صارت وطنه

“Yang dimaksud Mustauthin pada bab ini (Shalat Jum’at) adalah orang yang tidak bepergian baik pada musim dingin ataupun musim panas kecuali karena suatu hajat. Seperti berdagang dan ziarah. Maka orang yang tidak menetap permanen tidak dapat mengesahkan shalat jum’at, seperti orang yang menetap di suatu tempat dengan rencana akan kembali ke tempat tinggalnya setelah jeda waktu, meskipun jeda waktu yang lama. Seperti orang yang menuntut ilmu dan pedagang. Ucapan “Berencana akan kembali” memberikan pemahaman bahwa orang yang bertekad tidak kembali (ke kampung halaman), maka ia dapat mengesahkan shalat jum’at (di tempat yang baru), sebab tempat tersebut telah menjadi tempat tinggalnya.”

Baca Juga:  Meneladani Rasulullah dengan Mengambil Manfaat Puasa Senin Kamis

Berdasarkan apa yang telah disebutkan di atas, ketika seseorang mudik dari tempat tinggalnya ke kampung halamannya ketika lebaran misalnya, ia tentu tidak berniat untuk kembali lagi tinggal di kampung halaman, sebagai segala aktivitas dan pekerjaannya ada di tempat tinggalnya yang sekarang. Maka ditempat tinggalnya yang sekarang ia dapat disebut sebagai mustauthin dan diperbolehkan untuk menjamak dan mengqasar shalatnya.

Namun ketika ia mudik dan memiliki niatan untuk kembali lagi menetap di kampung halamannya maka ia berstatus muqim. Lain halnya ketika ia dalam hati kecilnya ada niatan pada suatu hari nanti ia akan kembali lagi tinggal menetap di kampung halamannya, maka ia tetap berstatus mustauthin di kampung halaman dan berstatus muqim selama berada di tempat tinggalnya yang sekarang, meskipun dalam jangka waktu yang sangat lama.

Ketika ia berstatus sebagai orang yang muqim di suatu tempat, maka seseorang sudah tidak boleh menjamak ataupun mengqashar shalatnya ketika memiliki keperluannya (hajat) di tempat tersebut lebih dari empat hari tanpa menghitung hari saat ia datang dan saat ia pulang.

Baca Juga:  Inilah Cara dan Waktu yang Tepat Melakukan Shalat Istikharah

Nah ketika keperluannya tersebut kira-kira dapat selesai kurang dari empat hari, maka ia tetap boleh untuk menjamak ataupun mengqashar shalatnya. Dengan catatan, selama ia tidak sampai melewati empat hari dan selama ia tidak memiliki niat iqamah (menetap/tinggal) di tempat tersebut. Hal ini berdasarkan pendapat Syekh Abu Bakar Muhammad Syatha, dalam kitabnya Hasyiyah I’anah at-Thalibin, tepatnya pada juz 2, halaman 116.

Demikian penjelasan mengenai hukum boleh atau tidaknya melakukan jamak dan qasar karena mudik. Mudah-mudahan bermanfaat. Wallahu A’lam.

Mohammad Mufid Muwaffaq