Hukum Tahlilan dalam Islam Itu Bukanlah Haram, Tidak Percaya? Begini Penjelasannya

Hukum Tahlilan dalam Islam Itu Bukanlah Haram, Tidak Percaya? Begini Penjelasannya

PeciHitam.org Tahlilan, Kalimat agung yang sering menjadi tersangka orang dengki dan tidak paham pada makna kandungannya. Islam masuk di Nusantara salah satunya menggunakan pendekatan Budaya dan Kesenian.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Nah, Tahlilan adalah salah satu produk Nusantara yang berasal dari kata Tahlil karena di lembagakan dalam bentuk tradisi menjadi Tahlilan. Sama persis dengan kata surat Yasin, ia adalah salah satu surat dalam al-Qur’an.

Kemudian dilembagakan dalam bentuk ibadah bersama-sama dengan tetangga sekitar dan dilakukan pada waktu tertentu sebagai kesepakatan bersama kemudian dinamai Yasinan. Anehnya, Surat Yasin boleh tidak Haram, tetapi jika dibaca dalam sebuah acara menjadi Yasinan jadi Haram.

Bagaimana menaggapi gejala kepekokan akut seperti ini dimasyarakat? Dan dalil argumentasi Hukum Tahlilan dalam Islam? Berikut penjelasannya

Daftar Pembahasan:

Tahlil dan Tradisi Tahlilan

Tahlilan tidak akan terlepas dari pengucapan kalimat Laa Ilaha Illallah (لا اله الا الله) yang mana kalimat ini dibaca berkali-kali dan secara. Dalam bahasa Arab kata (لا اله الا الله) disebut dengan tahlil dan terkenal di Jawa sebagai tahlilan.

Sebab dinamakan tahlilan menurut beberpa Kiai Khas Nusantara memiliki beberapa versi. Versi pertama karena kata tahlilan berasal dari mashdar atau kata benda dari Halla, (هلل – يهلل – تهليلا) yang bermakna ungkapan Laa Ilaha Illallah.

Versi kedua yakni kebiasaan orang Nusantara di Jawa pada khususnya dalam menyebutkan sebuah kejadian atau kata benda. Misalkan ada kata Sepeda, kata yang merujuk menggunakan sepeda cukup ditulis dengan Sepedaan. Kata Katok (Indo-Celana), jika sudah terpakai maka akan berbunyi Katok-an.

Sama dengan Tahlil, jika digunakan, dibaca dalam bentuk ritual peribadatan maka disebut dengan tahlilan. Ritual budaya yang bernuansa Islam yang kental dengan melafadzkan kalimah (لا اله الا الله).

Seringkali ritual tahlilan dibarengi dengan upacara selamatan, Kenduri atau kepungan sebagai ucapan syukur dan doa bersama masyarakat di Nusantara.

Mendoakan disini bukan sekedar pada acara khusus yang dipahami orang yang tidak suka tahlilan, misal dalam rangka 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari atau haul.

Baca Juga:  Ketentuan Aurat dalam Shalat Menurut Keempat Imam Madzhab

Hampir setiap doa bersama di Nusantara bisa dikatakan dengan tahlilan karena terkandung di dalamnya kata (لا اله الا الله) sebagai bukti adalah kalimah thayyibah yang dipanjatkan.

Entah acara tasyakuran anak yang lahir, tasyakuran kelulusan dalam jenjang pendidikan, tasyakuran setelah mendapat karunia besar, aqiqah dan lain sebagainya selalu tersisip kegiatan tahlilan.

Secara tidak langsung, tahlilan adalah sebuah ucapan thayyibah yang berasal dari ajaran Islam, dan diekspresikan dengan budaya Nusantara. Tidak lain sebagaimana kita shalat menggunakan songkok peci dan baju bermotif Batik, shalat adalah ajaran Agama dan songkok-batik merupakan produk budaya.

Selain mengucapkan kalimah thayyibah (لا اله الا الله), lembaga tahlilan juga biasa dibarengi dengan bacaan surat al-Baqarah, Al-Ikhlas, Mu’awidzatain, dzikir Istighfar dan doa bersama.

Unsur budaya dalam lembaga tahlilan dan shadaqah dalam bentuk makanan siap makan kepada mereka yang ikut mendoakan hajat yang diharapkan shahibul hajat.

Hukum Tahlilan dalam Islam

Hukum Tahlilan dalam Islam jika bahasannya disempitkan pada pembacaan kalimat thayyibah (لا اله الا الله) sudah pasti Sunnah karena termasuk perbuatan baik. Pokok perbedaan sering diseret pada 3 hal yang menjadikan hukum tahlilan dalam Islam menjadi bias. 3 hal tersebut adalah;

  1. Berdoa dan membaca Kalimah Thayyibah untuk dihadiahkan kepada Orang yang Meninggal
  2. Mengkhususkan bacaan kalimah thayyibah pada waktu tertentu, yakni 7 hari, 100 hari dan seterusnya.
  3. Bersedekah sebagai kepanjangan dari Amal Orang yang meninggal.

Masalah di atas menjadi kambing hitam untuk orang menghukumi tahlilan dalam Islam tidak boleh. Untuk itu, memerlukan kecerdasan dalam memahami konteks masalah perdebatan terlebih dahulu.

Pembahasan Pertama; Kalimah Thayyibah (لا اله الا الله) bernilai Ibadah Sunnah, dan pembacaan kalimat thayyibah lainnya juga bernilai sama. Dan membacakan kalimah thayyibah untuk mereka yang sudah meninggal sebagai doa dan hadiah juga boleh dalam pandangan Imam Syafi’i;

وَيُسْتَحَبُّ لِلزَّائِرِ أَنْ يُسَلِّمَ عَلَى الْمَقَابِرِ، وَيَدْعُوْ لِمَنْ يَزُوْرُهُ وَلِجَمِيْعِ أَهْلِ الْمَقْبَرَةِ، وَالأَفْضَلُ أَنْ يَكُوْنَ السَّلَامُ وَالدُّعَاءُ بِمَا ثَبَتَ فِي الْحَدِيْثِ، وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يَقْرَأَ مِنَ الْقُرْآنِ مَا تَيَسَّرَ، وَيَدْعُو لَهُمْ عَقِبَهَا

Baca Juga:  Hukum Mengqadha Shalat Tanpa Menggunakan "Qadha'an" dalam Niatnya?

Keterangan di atas dapat dikonfirmasi dalam kitab Al-Majmu’ jilid 5 karya Imam Yahya bin Syaraf An-Nawawi Ad-Damasyq.

Artinya; “Dan disunnahkan bagi peziarah kubur untuk mengucapkan salam kepada (penghuni) kubur, serta mendoakan mayit yang diziarahi dan semua penghuni kubur. Salam serta doa lebih diutamakan menggunakan apa yang sudah ditetapkan dalam hadis Nabi. Begitu pula, disunnahkan membaca apa yang mudah dari Al-Qur’an, dan berdoa untuk mereka setelahnya”

Maka sangat boleh menyampaikan doa dan membacakan doa kebaikan serta pahalanya dihadiahkan kepada orang lain. Sebagaimana Imam Nawawi menyebut (وَيَدْعُو لَهُمْ عَقِبَهَا) sebagai doa kebaikan untuk orang lain.

Pembahasan Kedua; Hukum tahlilan dalam Islam yang sering dipersalahkan dikaitkan dengan fenomena poin kedua, yakni pengkhususan membaca Tahlil pada waktu tertentu.

Sudah diketahui bahwa pengkhususan melakukan kebaikan adalah sebuah kebaikan juga. Sangat dibolehkan jika kita  mengkhususkan diri untuk membaca Al-Qur’an 1 Juz setiap selesai shalat. Sama halnya jika mengkhususkan membaca kalimah thayyibah dan Tahlil pada saat kematian orang lain.

Bisa sebagai sarana doa dan hiburan kepada keluarga yang ditinggalkan. Kepuasan keluarga yang ditinggal akan lebih tenang jika orang banyak mendoakan mayyit.

Pembahasan Ketiga; bersedekah untuk orang lain yang sudah meninggal sering dikaitkan dengan Hadits, “orang yang meninggal dunia maka akan putus amalnya, kecuali 3 jenis”. Bahwa orang meninggal tidak akan mampu untuk beramal.

Pernyataan yang saaf naif. Semua orang juga akan tahu bahwa seorang yang meninggal dunia sudah tidak bisa beramal. Akan tetapi kebaikan orang selama di dunia bisa menggerakan orang untuk berbuat baik. sebagaimana ajaran Walisongo masih mampu menggerakan Ghirah dakwah yang Humanis.

Tentunya dalil dari Aisyah binti Abu Bakar, salah seorang Istri Rasulullah SAW menerangkan;

أَنَّ رَجُلاً أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّيَ افْتُلِتَتْ نَفْسَهَا، وَلَمْ تُوصِ وَأَظُنُّهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ. أَفَلَهَا أَجْرٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا. قَالَ نَعَمْ

Artinya; “Seseorang mendatangi Nabi shallallahu alaihi wasallam, lalu berkata: “Hai Rasulullah. Sesungguhnya ibuku meninggal dalam keadaan tiba-tiba, dan belum berwasiat. Saya rasa seandainya sebelum meninggal dia sempat berbicara, dia akan bersedekah. Apakah dia mendapatkan pahala jika saya bersedekah untuknya?” Rasul bersabda: “Ya.”

Jelas dikatakan oleh Nabi bahwa beliau mengkonfirmasi bahwa shadaqah oleh orang lain, sedangkan tidak ada wasiat untuk itu pahalanya tetap sampai kepada orang yang meninggal.

Baca Juga:  Wajib Tahu! Ini Lho Tempat-Tempat yang Dilarang untuk Shalat

Budaya Islam Sebagai Living Islam

Ungkapan Cak Nun kiranya menjadi refleksi bahwa Arab digarap Jawa digawa, yang bermakna jika kalian beragama jangan meninggalkan jejak budaya.

Tahlil yang mana ajaran dalam Islam dijadikan budaya oranag Indonesia dengan nama Tahlilan. Tidak lain berisi kalimah thayyibah yang berasal dari ajaran Islam, dan diekspresikan dengan budaya Nusantara.

Ajaran Islam yang hidup dalam produk budaya, bukanlah sebuah bid’ah apalagi kesesatan yang sering dituduhkan. Sama halnya dengan seseorang yang mencintai wanita dapat mengekspresikan rasa cintanya melalui surat, puisi, pesan whattsApp atau menemui secara langsung.

Keseluruhan bentuk ritual budaya Islam yang terekspresikan melalui budaya lokal dapat disebut sebagai living Islam. Penghidupan Nilai-nilai Islam dalam karakter budaya lokal dan tidak meninggalkan tonggak awal nilai Islam merupakan keniscayaan penyebaran Islam keseluruh penjuru dunia.

Simpulan akhir bahwa Rasulullah SAW tidak mengajarkan tahlilan dalam sebuah ritus ibadah sebagaimana sekarang benar adanya. Nilai-nilai dalam tahlilan tidak bisa dikesampingkan apalagi diharamkan.

Tidaklah mungkin seorang yang selalu basah dengan ucapan Laa Ilaha Illallah dicap sebagai ahlu bid’ah. Semoga Allah menunjukan kebajikan Ilmu padanya.

Ash-shawabu minallah

Mochamad Ari Irawan