Ilmu dan Amal Kebaikan, Dua Indikator Kesuksesan Dunia Akhirat

ilmu dan amal

Pecihitam.org – Dua hal yang penting dimiliki manusia untuk mencapai kesuksesan dunia-akhirat adalah ilmu dan amal kebaikan. Banyak atau sedikitnya pahala manusia yang tersimpan dalam Lauh Mahfudz tergantung pada amal kebaikan yang kita lakukan. Begitu juga, hangus dan tidaknya pahala itu tergantung pada amal kebaikan yang kita kerjakan.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Senada dengan kalimat ini, kesuksesan dan keberhasilan kita dalam berusaha, ternyata juga tidak akan lepas dari amal kebaikan kita. Sukses yang dimaksud dalam hal ini adalah sukses dunia dan akhirat.

Untuk mencapai kesuksesan dunia, pikiran harus ditawan oleh emosi hingga pikiran itu hanya mau bergerak setelah emosi memberikan intruksi. Lain halnya dengan sukses yang sejati (sukses dunia akhirat), maka pikiran harus bertindak sebagai hakim, kehendak harus menyertai pikiran, dan keduanya berjalan sebagai pengendali.

Melalui konsep inilah, amal kebaikan dan usaha yang kita kerjakan akan memperoleh keberhasilan di dunia dan akhirat. Sebab, hasil yang akan kita raih sudah pasti terhindar dari harta yang batil. Kita juga akan terhindar dari sikap foya-foya yang tidak ada manfaatnya.

Bahkan sebaliknya, akan berguna bagi diri kita dan orang lain. Kesuksesan yang demikian inilah yang akan menambah keberhasilan amal kebaikan yang kita kerjakan sampai pada derajat istimewa.

Terkait hal ini, Allah Swt berfirman:

أُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ حَقّٗاۚ لَّهُمۡ دَرَجَٰتٌ عِندَ رَبِّهِمۡ وَمَغۡفِرَةٞ وَرِزۡقٞ كَرِيمٞ ٤

Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezeki (nikmat) yang mulia”. (QS. Al-Anfaal: 4)

Baca Juga:  Ancaman Nabi bagi Pendakwah yang Penuh Ceramah Kebencian

أَهُمۡ يَقۡسِمُونَ رَحۡمَتَ رَبِّكَۚ نَحۡنُ قَسَمۡنَا بَيۡنَهُم مَّعِيشَتَهُمۡ فِي ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَاۚ وَرَفَعۡنَا بَعۡضَهُمۡ فَوۡقَ بَعۡضٖ دَرَجَٰتٖ لِّيَتَّخِذَ بَعۡضُهُم بَعۡضٗا سُخۡرِيّٗاۗ وَرَحۡمَتُ رَبِّكَ خَيۡرٞ مِّمَّا يَجۡمَعُونَ ٣٢

Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”. (QS. Az-Zuhruf: 32)

Setiap orang yang selalu berusaha dalam melakukan amal kebaikan yang maksimal, maka sudah dapat dipastikan dirinya akan menikmati hasil dari usahanya. Semakin maksimal usahanya, semakin melimpah hasil yang didapat.

Semikian seterusnya hingga ia dapat mengubah nasib; dari miskin menjadi kaya; bisa juga mengubah kedudukan, semula selalu dihinakan, berubah menjadi orang yang terhormat karena hartanya.

Derajat sosialnya juga berubah; dari pegawai menjadi majikan, pesuruh menjadi yang menyuruh, dan seterusnya. Perubahan ini diawali karena ia berhasil dalam hartanya. Ia kaya materi dan sukses secara duniawi karena amal kebaikan yang ia kerjakan dengan sungguh-sungguh.

Perlu diketahui, selain amal kebaikan ada hal lain yang dapat mengubah derajat dan kedudukan seseorang, yakni ilmu. Seseorang yang semula bodoh, karena ilmunya maka ia akan dihormati, dimuliakan, dan agung-agungkan.

Baca Juga:  Langit, Bumi dan Gunung Menolak Saat Ditawari Amanah, Tak Seperti Manusia

Karena dari harta kita bisa mendapat ilmu, dari ilmu juga kita akan mendapat harta, dan dari kedua inilah seseorang bisa meningkat derajatnya. Apalagi jika keduanya dibekali dengan akhlak dan keimanan yang sempurna, maka peringkat derajat yang disandang adalah sebagai manusia yang paling utama di hadapan Allah Swt.

Seseorang baru bisa dikatakan sebagai manusia yang sempurna jika mendapat kesuksesan di dunia dan akhirat. Dalam hal ini kita akan belajar dari Abu Hanifah yang terkenal sebagai sosok yang wara’. Ia sosok yang tekun dalam mengajarkan ilmunya, sehingga murid yang belajar kepadanya semakin banyak.

Pemahaman agamanya sangat tinggi, hingga salah seorang sahabatnya berkata, “Aku tidak pernah menjumpai orang yang pemahaman agamanya melebihi Abu Hanifah”.

Selain itu, ia juga sosok yang selalu memperhitungkan amal kebaikan yang dikerjakan agar perbuatan yang ia lakukan tidak mendatangkan madharat bagi dirinya. Oleh karena itu, setiap usaha yang dilakukan olehnya ditujukan untuk bekal kematiannya.

Ia tidak pernah menerima hadiah dari siapa pun. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Hasan bin Ziyad, “Demi Allah, Abu Hanifah tidak pernah menerima hadiah, walaupun harta dunia sekalipun”.

Dalam riwayat lain juga dijelaskan bahwa Abu Hanifah merupakan sosok yang kaya harta, namun kekayaan itu ia jaga dengan sikap wara’-nya, sehingga hartanya bersih dari hal-hal yang batil.

Dengan kekayaan itu pulalah, ia selalu melakukan amal kebaikan seperti memberi makanan kepada musafir dan orang-orang yang berjihad di jalan Allah Swt. ia juga selalu memberikan makanan kepada fakir miskin. Suatu ketika, ia bersyair:

Baca Juga:  Muhasabah Diri di Tengah Musibah dan Pandemi

Secuil Roti, secangkir air, dan sepotong baju yang bisa menyelamatkan seseorang, labih baik daripada hidup dengan kemewahan harta di dunia, tetapi setelah itu ia menyesal dengan hartanya”.

Dari sini dapat kita pahami bahwa kesuksesan harta di dunia jika tidak disertai dengan akhlak yang baik atau tidak dibelanjakan di jalan Allah Swt, maka kelak akan membuat pemiliknya menyesal.

Oleh karena itu, secuil roti, secangkir air, dan sepotong baju yang bisa menyelamatkan itu lebih baik dari kesuksesan harta dunia yang tidak dilandasi dengan amal kebaikan dan akhlak.

Inilah pelajaran berharga yang harus kita teladani, agar ilmu dan amal kebaikan serta usaha kita lakukan dapat menuai kesuksesan dunia dan akhirat. Karena dengan modal ini, tabungan yang tersimpan di Lauhul Mahfudz akan semakin bertambah dan bertambah. Wallahu A’lam.

Sumber: Mengambil Tabungan Dari Langit, Muhammad Makhdhori.