Ini Cara Salafi Wahabi Memahami Bid’ah, Pantes Salah kaprah

Ini Cara Salafi Wahabi Memahami Bid’ah, Pantes Salah kaprah

PeciHitam.orgGebyah Uyah atau generalisir buta golongan wahabi salafi terhadap semua amalan yang tidak memiliki dalil teknis dari Nabi Muhammad SAW sebagai bid’ah. Golongan ini sangat tidak mau mengakui tradisi apalagi kebudayaan bercampur dengan agama.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Bahkan mereka menolak dengan mentah-mentah penggunaan tradisi dan kebudayaan sebagai infrastruktur keagamaan atau sekedar sebagai wasail, media dakwah.

‘Dalil Andalan’ mereka adalah selama tidak diajarkan oleh Nabi SAW maka Haram hukumnya dilakukan. Karena agama Islam sudah sempurna sebagaimana ayat al-Maidah ayat 3.

Nalar Penggunaan Dalil Salafi Wahabi

Persentuhan dakwah salafi wahabi di Nusantara memiliki sejarah kurang baik, karena menemui banyak pertentangan. Islam di Nusantara memang unik dengan penggunaan tradisi dan budaya sebagai sarana dakwah serta infrastruktur dalam beragama. Maklum kiranya dalam arsitektur masjid Al-Aqsha di Kudus Jawa Tengah bergerbangkan Candi.

Pun mengakomodasi tradisi dan kebudayaan sebagai sarana Islamisasi pendudukan Nusantara agar mudah berterima dan tidak menimbulkan friksi dilakukan oleh Walisongo.

Hal demikian sangat ditentang oleh golongan wahabi salafi yang menginginkan adanya kelurusan dalam berdakwah serta memurnikan Islam.

Hasilnya adalah tindakan membid’ahkan, menuduh sesat, syirik dan lain sebagainya amalan-amalan yang dirintis oleh Walisongo. Tidak terkecuali dengan acara Yasinan, Tahlilan, Manaqiban atau slametan sebagai biang bid’ah yang menjadikan umat Islam tersesat. Bahkan dzikir bersama setelah shalat atau biasa disebut wiridan sebagai bid’ah dan sesat.

Baca Juga:  Inilah Perbedaan Walisongo dan Walinya Muhammad ibn Abdul Wahab

Nalar bid’ah dan sesat ala pikiran wahabi salafi berlandaskan kepada dalil hadits Nabi Muhammad SAW sebagai berikut;

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Artinya; “Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan berasal dari kami, maka amalan tersebut tertolak” (HR. Muslim)

Seluruh amalan yang tidak dilakukan oleh Rasulullah SAW adalah tertolak. Hadits ini dipahami secara tekstual oleh orang salafi wahabi sebagai dasar pembid’ahan semua amalan yang dilakukan oleh Muslim Nusantara. Lebih jauh mereka menganggap Muslim di Nusantara sebagai ahlu Bid’ah dan tempatnya adalah Neraka.

Bantahan kepada Salafi Wahabi

Nalar salafi wahabi sepintas sangat meyakinkan bagi kaum awam, karena diiming-imingi kebenaran dalil al-Qur’an dan Sunnah. Namun mereka melupakan kontekstual fiqhu da’wah dan terjebak dalam interpretasi dangkal terhadap dua teks suci umat Islam tersebut.

Baca Juga:  BEM STAI Sabillul Muttaqin: Banyak Generasi Muda di Mojokerto Terpapar Ideologi Wahabi

Pun dalam kerangka membumikan Islam diperbolehkan mempertahankan tradisi dan kebudayaan yang tidak bertentangan dengan Islam;

لولا أن قومك حديث عهد بكفر؛ لأسست الكعبة على قواعد إبراهيم

Artinya;“kalau bukan karena kaummu yang baru saja lepas dari kekufuran, akan aku bangun kembali pondasi Ka’bah sesuai dengan dibuat oleh Ibrahim” (HR. Bukhari dan Muslim).

Konteks hadits di atas sangat jelas bahwa Nabi Muhammad SAW mengakomodir atau membiarkan tradisi Jahiliyyah karena berpotensi menimbulkan gejolak masyarakat.

Umum diketahui bahwa pondasi bangunan Ka’bah mengalami pengecilan dibandingkan ketika dibangun pada masa Nabi Ibrahim AS.

‘Hobi’ menyalahkan salafi wahabi kepada kaum Aswaja di Nusantara sebagai contoh adalah tuduhan bid’ah membaca bersama-sama wirid atau bacaan dzikir setelah shalat fardhu.

Salafi wahabi sangat membenci wiridan bersama yang dilakukan oleh sebagian besar kaum Muslim di Nusantara dengan tuduhan sesat dan bid’ah.

Namun kebencian terhadap wiridan (membaca dzikir) setelah shalat tidak menjalar kepada pandangan kebencian terhadap praktik menyalakan HandPhone setelah shalat.

Jika wiridian, dzikir bersama setelah shalat oleh salafi wahabi ditentang dengan keras, namun ketika menyalakan HP setalah sholat tidak pernah dipersoalkan.

Baca Juga:  Fatwa Wahabi Bikin Bingung: Demokrasi Bukan dari Islam, Tapi Anjurkan Gunakan Hak Pilih

Nalar yang sangat rancu dengan menolak berdzikir bersama setelah shalat, namun disisi lain tidak pernah menolak untuk perbuatan amalan duniawi setelah shalat.

Mereka juga menolak untuk bersalaman dengan sesama Muslim setelah sholat, tapi tidak pernah mengeluarkan larangan untuk buang hajat setelah shalat.

Jika Nabi Muhammad SAW saja membiarkan bangunan Ka’bah tidak dikembalikan sebagaimana asalnya pada era Nabi Ibrahim AS, maka kebencian salafi wahabi terhadap tradisi dan kebudayaan Nusantara sama sekali tidak memiliki dasar. Ash-Shawabu Minallah

Mohammad Mufid Muwaffaq