Ini Pendapat Ibnu Hajar Al-Asqalani Tentang Hadits Yang Membolehkan Makelar

Ini Pendapat Ibnu Hajar Al-Asqalani Tentang Hadist Yang Membolehkan Makelar

Pecihitam.org- Ibnu Hajar memperbolehkan makelar dengan berdasarkan hadits yang membolehkan makelar dari segi upahnya, yang diriwayatkan oleh Ibnu Sirin, Atha‟, Ibrahim dan Al-Hasan yang telah disebutkan melalui sanad yang maushul dengan lafadh :

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Tidak ada larangan dengan upah makelar”.(lihat, Al-Asqalani, fathul baari, h. 265).

Dengan berdasarkan pernyataan mengenai upah makelar maka Ibnu Hajar menyatakan bahwa sebagian ulama memahami pernyataan tersebut sebagai sistem bagi hasil (mudharabah).

Terdapat hadits yang membolehkan makelar dalam karya Ibnu Hajar Al-Asqalani, Al Imam Al Hafizh, “Fathul Baari syarah: Shahih Bukhari/Al Imam Al Hafizh Ibnu Hajar yang diriwayat Bukhari yang Artinya:

Ibnu Sirin, Atha‟ Ibrahim dan Al-Hasan menganggap tidak ada larangan dengan upah makelar. Ibnu Abbas berkata, “Tidak mengapa dikatakan, „juallah pakaian ini dan apa yang lebih dari ini dan itu, maka itu adalah untukmu‟. Ibnu Sirin berkata, “Apabila seseorang mengatakan, „juallah dengan harga sekian, maka apa yang menjadi keuntungannya adalah untukmu atau kita bgai bersama‟, maka hal itu tidak dilarang.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 97 – Kitab Ilmu

Kemudian Ibnu At-tin menukilkan bahwa sebagian ulama mempersyaratkan tentang bolehnya hal itu apabila manusia pada masa itu mengetahui harga barang melebihi harga yang ditetapkan oleh pemilik barang, namun pendapat ini mendapat kritikan, karena ketidaktahuan jumlah upah yang ditentukan.

Hadist diatas menunjukkan bahwa pekerjaan makelar/calo memang sudah ada sejak dulu, makelar adalah pekerjaan yang memang dibutuhkan oleh masyarakat, karena ada sebagian masyarakat yang sibuk, sehingga tidak bisa mencari sendiri barang yang diinginkan.

Tujuan utama para makelar atau calo pada umumnya ialah untuk mendapatkan upah atau fee (keuntungan) dari penjual dan pembeli/keduanya yang mereka layani, jadi wajar saja bila masalah upah makelar memiliki pengaruh yang cukup besar pada hukum pekerjaan mereka, karena yang demikian itu disebabkan mereka bukanlah pemilik barang/jasa yang diperjual belikan, dan bukan pula sebagai pemilik uang.

Penentuan upah mekalar ini dapat dituangkan dalam jumlah nominal tertentu, misal Rp. 100.000,- dan dapat juga dalam bentuk prosentase, asalkan besaran keuntungan yang dijanjikan telah disepakati oleh kedua belah pihak maka semuanya itu halal.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 178 – Kitab Wudhu

Maka yang demikian itu karena makelar mendapatkan upah atas jasa yang ia berikan, yaitu berupa menjualkan/membelikan barang dan bisa juga berupa jasa yang diberikan oleh makelar hanya sebatas menghubungkan antara pemilik barang dengan si pembeli.

Sebagai contoh seorang pemilik kantor perdagangan bertindak sebagai perantara bagi perusahaan tertentu untuk memasarkan produknya. Perusahaan tersebut mengirimkan sampel kepadanya untuk dia tawarkan kepada para pedagang di pasar. Dia kemudian menjual produk tersebut kepada para konsumen dengan harga yang ditetapkan oleh pihak perusahaan tersebut. Kemudian ia mendapatkan upah yang telah ia sepakati dengan perusahaan tersebut.

Dikatakan bahwa tidak mengapa jika seseorang menerima upah sesudah melaksanakan pekerjaannya, dan upah tersebut juga harus sesuai dengan kesepakatan awal dari pihak-pihak yang melakukan transaksi tersebut.

Akan tetapi hal ini disyaratkan bahwa tidak ada pengkhianatan dan penipuan, tetapi yang benar-benar harus ada adalah amanah dan kejujuran.

Dan mengenai dengan besarnya rasio upah yang diperoleh oleh si pemakelar, apabila telah terjadi kesepakatan antara makelar, penjual, dan pembeli, dan apakah makelar mengambil upah dari pembeli atau dari penjual, atau dari keduanya, upah yang diketahui ukurannnya maka hal itu boleh saja. Tidak ada batasan atau prosentase upah tertentu.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 231-232 – Kitab Wudhu

Jadi, tidak jarang jika seorang makelar mensyaratkan keuntungan dari kedua belah pihak yang terikat, dari penjual dan juga dari pembeli, karena perbuatan semacam ini secara prinsip syari’at tidak masalah asalkan semuanya dilakukann dengan transparan dan jujur tanpa ada manipulasi/penipuan, kepada penjual haruslah berterus terang bahwa jika kita menginginkan keuntungan dalam jumlah yang jelas.

Mochamad Ari Irawan