Ini Perbedaan Sunni Dan Syiah yang Penting Dipahami, Orang Sunni Harus Lebih Waspada!!

Ini Perbedaan Sunni Dan Syiah yang Penting Dipahami, Orang Sunni Harus Lebih Waspada!!

Pecihitam.org- Sekarang ini di Indonesia, perbedaan Sunni dan Syiah menjadi persoalan yang belum selesai. Sejak kasus pembakaran hingga pengusiran warga Muslimin Syiah di Sampang Madura, Jawa Timur, tahun 2011 hingga sekarang ini nasibnya masih terkatung-katung dan belum bisa pulang ke kampung halaman.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Ditambah lagi dengan gerakan Aliansi Nasional Anti Syiah (ANNAS) yang muncul di Bandung yang menyebarkan gerakan anti Syiah. Kemudian diperparah dengan adanya buku karya oknum MUI (Majelis Ulama Indonesia) yang disebarkan di masyarakat semakin menyudutkan posisi Muslim Syiah.

Bahkan, tidak segan-segan orang-orang yang berada pada kubu ANNAS dan penyebar buku MUI tersebut melontarkan pernyataan “Syiah bukan Islam” dan menyebarkan paham anti Syiah secara gerilya dari masjid ke majelis di tengah umat Islam dengan tujuan mengeluarkan Syiah dari Islam.

Ditambah lagi ”hasutan” dari pihak luar sehingga umat Islam Indonesia mengalami masalah skisme. Berkaitan dengan persoalan tersebut, artikel ini akan mencoba menelaah perbedaan Sunni dan Syiah.

Agak sulit melacak asal usul Sunni atau Ahlussunnah. Nurcholish Madjid menduga Abdullah bin Umar dan Abdullah bin Abbas merupakan perintis gerakan kesatuan umat Islam dalam satu jamaah (Ahlu Sunnah wal Jamaah). Kedua orang ini dikenal sebagai sahabat Nabi Muhammad SAW yang senantiasa memelihara sunah-sunah Rasulullah SAW.

Dalam sejarah, istilah Ahlussunnah baru muncul pada masa kekuasaan Dinasti Abbasiyah di bawah pimpinan Abu Jafar Al-Mansur (754-755 M.) dan Harun Al-Rasyid (785-809 M.) saat munculnya Abu Hasan Al-Asyari (873-935 M.) yang beraliran Asyariyah dan Abu Mansur Muhammad (w. 944 M.) beraliran Maturidiyah. Al-Asyari dan Abu Mansur mengaku dirinya Ahlussunnah.

Dalam perkembangannya, mazhab Ahlussunnah ini terbagi menjadi dua golongan. Pertama, salafiyah yang diwakili Ahmad bin Hanbal, Abu Al-Hasan Al-Asy‘ari (w. 330 H.), Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah (w. 751 H.), dan Muhammad bin Abdul Wahab (w. 1787 M.). Kedua, khalaf yang diwakili oleh Al-Baqilani (w. 403 H.) dan Al-Juwaini (w. 478 H.).

Jika yang pertama menolak rasionalisme dan cenderung tekstual; sedangkan yang kedua menerima ta`wil dan toleran terhadap sufi serta tidak alergi dengan filsafat.

Setidaknya ada tiga pendapat lahirnya Syiah. Pertama, bahwa istilah Syiah sudah dilekatkan oleh Rasulullah saw kepada Ali bin Abi Thalib ra dan pengikutnya. Jalaluddin as-Suyuthi dalam kitab Tafsir Al-Durr al-Mantsur meriwayatkan dari Ibnu ‘Asakir kemudian dari Jabir bin Abdullah bahwa Kami sedang bersama Nabi Muhammad saw.

Baca Juga:  Menyoroti Paham dan Gerakan Syiah pada Masa Khulafaur Rasyidin

Tidak lama kemudian Ali datang. Lalu Nabi Muhammad saw bersabda, “Demi yang jiwaku berada digenggaman-Nya, sesungguhnya ini (Ali) dan Syiahnya benar-benar orang yang menang di hari kiamat.” Juga masih dari as-Suyuthi bahwa Ibn Abbas berkata, “Ketika turun ayat, Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, mereka itulah sebaik-baik manusia; Rasulullah saw berkata kepada Ali: mereka adalah engkau dan Syiahmu.”

Kemudian Ath-Thabari dalam Tafsir At-Thabari menuliskan tentang tafsir surah Al-Bayyinah [98] ayat 7 bahwa yang dimaksud sebaik-baik makhluk adalah Ali dan Syiah Ali. Kalau dilacak ternyata hadis yang berkaitan dengan Syiah Ali ini jumlahnya ada 15 riwayat (lihat, Tim Ahlulbait Indonesia, Syiah Menurut Syiah (Jakarta: DPP ABI, 2014) halaman 274-277.

Buku tersebut berisi klarifkasi atas sejumlah isu tentang Syiah yang terdapat dalam Buku Panduan MUI yang ditulis oleh oknum MUI. Buku Syiah Menurut Syiah diberi pengantar oleh Menteri Agama RI Lukman Hakim Saefuddin).

Dalam Al-Quran, istilah Syiah digunakan pada 12 tempat seperti dalam ayat “… dan sesungguhnya Ibrahim itu benar-benar termasuk golongannya (syiatihi)” (QS AshShaffat ayat 83) dan “… kemudian pasti akan kami tarik dari setiap golongan (syiah) siapa di antara mereka yang sangat durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pemurah” (QS Maryam ayat 69).

Adapun beberapa perbedaan diantara kaum syiah dan sunni adalah sebagai berikut. Kaum Syiah menyebut rukun Islam dengan istilah furu’ad-din dan rukun iman dengan istilah ushul ad-din. Kaum Sunni menyebut rukun iman dengan arkanul iman dan arkanul Islam untuk rukun Islam.

Perbedaan antara Sunni dan Syiah hanya istilah dengan makna yang sama. Keimanan kepada Allah dalam mazhab Sunni, dalam mazhab Syiah disebut attauhid. Iman kepada nabi, rasul, kitab, dan malaikat disebut nubuwwah. Iman kepada hari akhir disebut al-maad.

Sedangkan qadha dan qadar diyakini oleh Muslim Syiah sebagai keadilan Allah (‘adalah). Yang berbeda dalam rukun iman (ushuluddin) mazhab Syiah dengan mazhab Sunni adalah imamah, meyakini kepemimpinan dan wasiat dari Rasulullah saw kepada Ahlulbait. Keyakinan kaum Syiah ini didasarkan pada Al-Quran surah Al-Baqarah ayat 124 dan 180, hadis ghadir khum, hadis indzar, dan hadis tsaqalain.

Baca Juga:  Al-Sanusi, Peletak Dasar Sifat Wajib Bagi Allah Sebagai Pegangan Umat Islam

Sementara dalam rukun iman mazhab Sunni, tidak ada ketentuan untuk mengimani para khalifah serta tidak ada keharusan mengikuti sahabat dan istri Nabi. Dalam hadis memang disebutkan agar mengikuti sunnah Rasulullah dan khulafa rasyidin, tetapi hadisnya tidak termasuk dalam kategori yang kuat dan tidak masuk dalam rukun iman.

Karena itu, kepemimpinan negara dan politik tidak masuk dari rukun iman. Kaum Sunni dalam urusan kepemimpinan dan kenegaraan ditentukan atas dasar konsensus (ijma) yang dilakukan ulama maupun umat Islam.

Memang pada abad pertengahan ada penjelasan dari ulama Sunni tentang pentingnya pemimpin, tetapi masing-masing ulama tidak memiliki kesamaan dalam kriteria sehingga terjadi perbedaan pendapat.

Sementara yang berkaitan dengan rukun Islam, yang berbeda antara Sunni dan Syiah hanya satu. Dalam Sunni terdapat syahadah dan dalam Syiah terdapat wilayah. Dalam Sunni ada pernyataan syahadatain yang diucapkan secara lahiriah.

Orang yang mengucapkannya akan dianggap sudah beragama Islam meski belum sempurna dalam pelaksanaan rukun Islam lainnya (shalat, puasa, zakat, dan haji). Sedangkan dalam mazhab Syiah, pernyataan syahadatain tidak masuk dalam rukun, tetapi dianggap awal dari seseorang yang hendak memeluk Islam dan masuk dalam fiqih shalat (tasyahud).

Ikrar syahadah tetap dilakukan oleh orang yang akan memeluk Islam yang disebut sebagai pintu awal memasuki agama Islam. Baru setelah itu, seorang Muslim/Muslimah berkewajiban untuk menuaikan rukun Islam yang terdiri dari shalat, zakat, puasa, haji, dan wilayah.

Dalam ibadah shalat, kaum Sunni dan Syiah menghadap kiblat dan gerakannya tidak beda dengan fiqih Sunni Imam Malik. Tangannya tidak sedekap ketika qiyam. Orang Islam yang bermazhab Syiah dalam shalat membaca qunut dan dipraktekan dalam fiqih Sunni Imam Syafii, yang di Indonesia oleh warga NU (Nahdlatul Ulama).

Dalam wudhu, Muslimin Syiah mengikuti Al-Quran surah Al-Maidah ayat 6: basuh muka dan kedua tangan hingga sikut, usap rambut kepala dan kedua punggung kaki. Wudhu model ini dilakukan juga dalam fiqih Hanafi dan fiqih Maliki. Dalam mazhab Sunni, selain yang rukun (yang dipraktekan fiqih Syiah) juga mengerjakan yang sunah seperti cuci tangan, kumur-kumur, menghirup air dalam hidung, dan mengusap telinga.

Baca Juga:  Macam-Macam Sekte Syiah dan Perdebatan Pendapatnya

Dalam tradisi, kaum Muslimin Syiah hampir sama dengan pengikut Sunni dari Nahdlatul Ulama. Selalu membaca shalawat, yasinan, tahlilan, baca doa-doa panjang (jausan kabir, kumail, iftitah, dan doa-doa yang terdapat pada kitab shahifah sajjadiyyah, dan lainnya), menjalankan puasa nisfu sya’ban, rebo kasan, shalat lailatul qadar, ziarah kubur, haul, asyura, dan peringatan maulid nabi.

Perpecahan mazhab dalam agama Islam bermula dari persoalan yang berhak memimpin umat Islam pascawafat Nabi Muhammad SAW. Namun, pengaruhnya terasa sampai sekarang dengan munculnya gerakan dan provokasi dalam bentuk media yang menyudutkan Syiah dengan gelaran sesat dan bukan Islam.

Dilihat dari sumber keduanya masih berdasarkan pada Al-Quran dan AlHadis. Dalam pemahaman atas dua sumber tersebut terjadi perbedaan karena dipengaruhi tingkat intelektualitas dan situasi zaman. Karena itu, sesama umat Islam yang lahir dari persoalan politik tidak perlu memperkeruh suasana dengan provokasi.

Selayaknya kedua umat Islam dari mazhab ini membangun peradaban Islam dengan menyumbangkan karya intelektual dan menolong orang-orang Islam yang menderita karena kemiskinan.

Umat Islam sekarang ini tidak perlu mengorek perbedaan. Biarlah perbedaan mazhab dan benar tidaknya menjadi khazanah yang dikaji dalam lingkungan akademis dengan tinjauan ilmiah.

Yang perlu dilakukan adalah mewujudkan ukhuwah Islamiyah di antara sesama umat Islam dengan kegiatan bersama antara pemeluk Sunni dan Syiah dalam acara-acara yang berkaitan dengan bantuan sosial dan meningkatkan taraf hidup umat Islam yang berkekurangan dalam ekonomi.

Selanjutnya banyak melakukan dialog keagamaan dengan dasar silaturahim dan kajian-kajian ilmiah yang bersifat mengukuhkan persaudaraan. Kemudian upayakan untuk melek situasi politik dan ekonomi global bagi umat Islam Indonesia sebagai agenda program pencerahan masa depan.

Hal ini penting karena jika tidak paham dengan fenomena global dan masalah kekinian maka umat Islam tidak akan menyadari kalau dirinya sedang dalam bahaya.

Mochamad Ari Irawan