Inilah Batas Takdir Dan Kebebasan Manusia Menurut Para Ulama Kontemporer

Inilah Batas Takdir Dan Kebebasan Manusia Menurut Para Ulama Kontemporer

Pecihitam.Org- Pengalaman atau tragedi yang menimpa manusia tidak selalu didasarkan pada takdir. Allah sudah mengatur ruang takdir dan kebebasan manusia dalam berekspresi atau berikhtiyar. Dan artikel ini berusaha memberi pencerahan terkait takdir dan kebebasan manusia.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Allah menciptakan sesuatu tidaklah sekali jadi. Ada proses penciptaan atau disebut dengan (khalq), proses penyempumaan, disebut dengan (taswiyyah) dengan cara memberikan ukuran atau hukum tertentu, disebut (taqdir) dan juga diberikannya pedoman dan petunjuk, disebut (hidayah). Dengan demikian memungkinkan setiap makhluk memenuhi tugas dari kejadiannya (Effendi 1984).

Proses penciptaan, penyempurnaan, dengan ukuran-ukuran tertentu serta petunjuk tersebut membuktikan dan menunjukkan ada serta berlakunya suatu hukum yang bersifat pasti.

Pertanyaan yang berkaitan dengan konsep kebebasan manusia adalah di manakah letak perbedaan “kepastian antara makhluk fisiko-kemis, makhluk vegetasi, makhluk hewan dengan manusia yang tidak sekedar merupakan makhluk jasmaniah semata-mata.

Perbedaan terpenting antara Allah dengan ciptaan makhluknya adalah, Allah merupakan sang pencipta sedangkan makhluk yang diciptakan. Al-Quran mengatakan bahwa setiap sesuatu selain Allah “mempunyai ukurannya (qadr, taqdir), dan oleh karena itu tergantung kepada Allah.

Apabila makhluk menyatakan dirinya dapat berdiri sendiri atau merdeka sepenuhnya (istighna, istikbar) berarti ia mengakui memiliki sifat ketidak terhinggan dan sifat ketuhanan (syirk).

Baca Juga:  Keutamaan Istighfar Dalam Hadits Rasulullah

Bila Allah menciptakan sesuatu, maka Allah memberikan kekuatan atau hukum tingkahlaku yang dalam Al-Qur’an dikatakan sebagai “petunjuk” “perintah”, atau “ukuran” , sehingga ada hubungan yang selaras antara ciptaan-ciptaanNya (Rahman 1983).

Taqdir yang merupakan hukum-hukum pengaturan peristiwa alam berbentuk kepastian dan paksaan, sementara taqdir untuk manusia berupa  hukum-hukum yang mengatur tingkah laku dan keputusan tindakan manusia.

Dengan demikian taqdir bagi manusia, nampaknya lebih berupa “aturan main” dalam hidup. Fazlur Rahman, mengatakan bahwa taqdir mempunyai bias holistik yang kuat, yaitu pola-pola, watak-watak dan kecenderungan-kecenderungan. Hal ini menjadi jelas, bahwa pengertian taqdir tidak bermakna pre determinasi melainkan keterbatasan (Rahman 1983).

Kehidupan manusia tidak terhenti pada kehidupan yang bersifat alamiah, melainkan harus mengembangkan kehidupan yang bersifat insaniah. Dalam kehidupan manusia ada qadar dan ada ikhtiar. Di sinilah letak perbedaan manusia dibandingkan makhluk-makhluk tak berakal yang sepenuhnya diikat oleh ketidakbebasannya dari ketundukan pada taqdir (Effendi 1984).

Hewan merupakan salah satu contoh makhluk yang tidak “berdaya” dan tidak pernah memiliki pilihan hidup (Kleden 1987). Sementara di hadapan manusia terdapat kemungkinan-kemungkinan, kebebasan moral untuk berkehendak dan memilih dari sekian alternatif.

Baca Juga:  Kisah Abu Nawas Dan Teras Reotnya Yang Bisa Bertasbih

Al-Quran mengisyaratkan kemungkinan-kemungkinan manusia untuk berbuat yang didasarkan atas kesadarannya. Isyarat tersebut menunjukkan bahwa manusia diberikan kebebasan untuk menentukan keputusan tindakan di bidang moral agama, sekaligus manusia harus pula mempertanggungjawabkannya.

Manusia diberi kebebasan untuk memilih, seringkali pilihan itu sudah tersedia dan harus dipilih, tidak berarti manusia boleh memutuskan apa saja secara sembarangan. Ada sistem normatif yang harus ditaati, dan harus dipertanggungjawabkan.

Dalarn bahasa Djohan Effendi (1984), manusia diberi kebebasan moral oleh Allah, berarti manusia dibebani tanggungjawab untuk mengisi ruang kebebasan itu secara bermakna. Dengan kata lain manusia tidak dapat menentukan keputusan tindakan yang tidak dapat ia pertanggungjawabkan (Suseno 1989).

Karena dituntut tanggung jawab itulah, manusia dianjurkan dalam Al-Qur’ an agar dalam menentukan sikap, pilihan dan keputusan tindakan, didasarkan atas kesadaran.

Yang perIu dipahami, dalam kehidupan manusia, tercatat dua faktor yang menentukan kebebasan manusia:

(1) Faktor Subyek merupakan kondisi dalam diri, baik intelektual maupun spiritual. Sepenuhnya tidak tertolak, begitu saja diterima manusia, manusia difait a complie dengan kondisi ini. Asal keturunan, ras, jenis kelamin, kecerdasan, merupakan contoh-contoh dari kondisi ini. Pada gilirannya akan membentuk faktor kemampuan (al-qudrah).

Baca Juga:  Bagaimana Budaya Pesta dan Selametan dalam Pandangan Islam?

(2) Faktor Obyektif, merupakan kondisi di Iuar diri, baik yang berupa tempat atau  suasana. Lingkungan kultural, pergaulan, pendidikan yang diterima, kesempatan-kesempatan merupakan contoh dari kondisi obyektif manusia. Ada unsur ikhtiar yang mengupayakan perkembangan manusia, baik secara individu maupun sosial. Pada gilirannya akan membentuk faktor kemungkinan (al-yasar) yang dapat dikembangkan manusia.

Kesenyawaan kedua faktor tersebut, membentuk kesanggupan (al-wus’u) manusia, yang merupakan dasar pertanggungjawaban manusia (Effendi 1984).

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kadar tanggung jawab moral manusia berbanding sama dengan kadar kebebasan moralnya. Sedangkan kadar kebebasan tersebut sebanding menurut kadar kemampuan dan kemungkinan-kemungkinan ikhtiar manusia.

Mochamad Ari Irawan