Pecihitam.org – Islam dari zaman ke zaman semakin menyebar keseluruh pelosok dunia. Proses ini sudah bisa dipastikan membawa nuansa baru dalam tubuh islam. Kehadirannya sebagai agama yang membawa rahmat dimungkin kan juga bersinggungan dengan kebudayaan dan keberagaman ritus lokal. Proses adaptasi inilah yang terkadang memunculkan nuansa baru yang membauat islam jadi semakin kompleks.
Beberapa golongan berupaya untuk mengeksklusifkan Islam agar tidak bercampur dengan hal-hal yang merusak nilai-nilainya. Mereka menganggap bahwa islam yang sudah berakulturasi dengan kebudayaan adalah bukan islam yang sebenarnya, dan itu Islam yang sesat.
Menanggapi hal ini Prof. Nadirsyah Hosen memberikan analogi seperti Kentucky Fried Chicken (KFC) yang ada di Kentucky, USA tentu berbeda dengan KFC Indonesia, jika di sana disajikan dengan kentang, di Indonesia disajikan bersama nasi, namun menu utamanya sama, ayam goreng. Dari penjelasan Prof. Nadirsyah Hosen tersebut setidaknya dapat diambil pemahaman bahwa ketika “menu” yang berada dalam islam masih berjalan dalam koridor akidah yang benar, maka tidak ada yang salah dengan Islam tersebut.
Kasus seperti ini terjadi di Indonesia. Islam masuk di Indonesia dengan proses yang amat berat. Melalui dakwah yang tanpa kenal lelah oleh para Ulama terdahulu membuat Islam sekarang menjadi agama mayoritas di Indonesia. Padahal jauh sebelum islam masuk, Indonesia sudah terlebih dahulu kaya akan keberagaman budaya. Baik itu dari segi kepercayaan, adat, suku, dan berbagai bentuk karakter masyarakat yang memiliki ciri khasnya masing-masing.
Kesuksesan tersebut selain dicapai dengan keilmuan yang dimiliki oleh para Ulama, tentu juga perlu kesabaran, ketelatenan, keikhlasan dan kebijaksanaan menjadi modal pokok para pendakwah Islam di bumi Nusantara kala itu. Kecerdasan para Ulama juga bisa dilihat dari cara berdakwah mereka yang sangat ramah dan santun. Melalui berbagai pendekatan dan modifikasi cara berdakwah, Ulama terdahulu sanggup membawa Islam menyentuh kesemua tingkatan strata golongan.
Kiai Abul Fadhl Senori, Tuban dalam bukunya, “Ahla al-Musamarah” menjelaskan perihal keampuhan metode yang digunakan Ulama terdahulu dalam menyebarkan agama Islam, beliau menjelaskan:
فلم يزل السيد رحمة يدعون الناس إلى دين الله تعالى وإلى عبادته حتى أتبعه في الإسلام جميع أهل عمفيل وما حوله وأكثر أهل سوربايا وما ذلك إلا بحسن موعظته وحكمته في الدعوة وحسن خلقه مع الناس وحسن مجادلتهم إياهم
“Sayyid Rahmat (Sunan Ampel) tak henti-hentinya mengajak orang-orang untuk masuk ke agama Allah dan menyembah-Nya, hingga seluruh penduduk Ampel dan mayoritas penduduk Surabaya masuk Islam. Hal tersebut tak lain karena bagusnya nasihat beliau, kebijaksanaan beliau dalam berdakwah, akhlak beliau yang luhur, dan perundingan (adu argumen) yang santun yang beliau lakukan jika diperlukan”
Seperti itulah asal muasal dari Islam Nusantara yang kita kenal sekarang ini, Islam dengan corak santun dan luwes. Ditambah juga dengan karakteristik penduduknya yang santun dan bersahabat membuat Islam yang merupakan hasil dari adaptasi Islam dengan kultur Nusantara diterima oleh masyarakat luas kala itu. Hal yang demikian bukan berarti mengubah Islam dari orisinalitasnya, akan tetapi merupakan sebuah upaya agar Islam dapat diterima dengan lapang dada tanpa paksaan oleh penduduk Nusantara. Inilah manifestasi khuluqin hasan yang diperintahkan Nabi
وخالق الناس بخلق حسن
“Dan perlakukanlah manusia dengan akhlak yang baik”
Sayyidina ‘Ali sebagaimana dikutip oleh Syekh Nawawi Banten dalam Mirqat Su’ud al-Tashdiq menjelaskan makna dari kata khuluqin hasan, menurut beliau akhlak yang baik adalah
موافقة الناس في كل شيئ ما عدا المعاصي
“Mengikuti (adat) orang-orang dalam segala hal selain kemaksiatan”
Menurut Ulama terdahulu selagi kultur dan budaya Nusantara tersebut tidak keluar dari koridor-koridor syari’at Islam, maka kultur dan kebudayaan tersebut tetap dipertahankan bentuk upaya pelestarian keberagaman yang membawa nilai nilai kebaikan. Hal ini juga sudah menjadi sunnatullah (ketetapan Allah) dengan keberegaman maka uamt islam di tuntut untuk saling menegenal, lita’arofu dalam sosial dan keagamaan. Tetapi jika ada ritual yang sekiranya melenceng dari kaidah syari’at, maka Ulama-ulama akan memodifikasinya dengan menambahkan dan mengganti yang salah dengan nilai-nilai keislaman.
Abdullah bin Buraidah yang ada dalam Sunan Abi Dawud dan Sunan Al-Nasa’i:
عن عبد الله بن بريدة عن أبيه قال: كنا في الجاهلية إذا ولد لأحدنا غلام ذبح شاة ولطخ رأسه بدمها فلما جاء الله بالإسلام كنا نذبح شاة ونحلق رأسه ونلطخه بزعفران . حديث حسن صحيح (سنن أبي داود، سنن البيهقي)
“Diceritakan dari Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya, ayahnya bercerita: pada masa Jahiliyah, jika ada ada bayi yang baru lahir, kami menyembelih kambing dan mengoleskan darahnya pada kepala bayi tadi, lalu setelah Allah datangkan Islam pada kami, yang kami lakukan adalah menyembelih Kambing dan mengolesi kepala bayi dengan minyak Za’faron” Hadis Hasan Shahih
Dari penjelasan dapat kita pelajari bahwa interaksi antara Islam dan budaya setempat sudah ada sejak di tempat kelahirannya. Seperti tradisi Aqiqah, yang kemudian dimodifikasi dengan mengganti yang salah dan menambahkannya dengan ha-hal yang sesuai dengan ajaram Islam. Hal tersebut semakin memperkuat bukti bahwa agama Islam adalah agama yang mampu berinteraksi dengan budaya, bahkan mampu menggunakan budaya sebagai sarana untuk menyebarkan agama islam.
Wallahu a’lam Bissowab
- Rukun Qauli, Wajib Diperhatikan Agar Shalat Tetap Sah - 28/08/2019
- Islam adalah Agama yang Mampu Merangkul Budaya di Dunia - 04/08/2019
- Amar Ma’ruf Nahi Munkar, Bagaimana Seharusnya Bersikap? - 01/08/2019