Mengenal Kalangan yang Mengatasnamakan “Islam Otentik”

Mengenal Kalangan yang mengatasnamakan “Islam Otentik”

PeciHitam.org – Terdapat kenyataan yang menggelitik orang untuk bertanya Di balik klaim otentisitas dan universalitas Kalangan Islam Otentik; Apakah yang disebut otentik itu mesti ke-Arab-Araban? Apakah Islam yang benar itu mesti galak terhadap yang dianggap bukan berasal dari Islam, tradisi lokal dan modernitas?

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Pertanyaan yang lebih praktis yang bisa diajukan di sini, di mana letak keislaman NU, Muhammadiyah, dan lain-lain yang selama ini menjadi warna dari keberagamaan (Islam) di Tanah Air dalam peta baru “Islam Otentik” itu?

Proyek otentifikasi dan universalisme Islam sesungguhnya mengandaikan pandangan dunia (world view), Islam sebagai kerangka normatif ajaran yang transenden, baku, tak berubah, dan kekal.

Karena itu, seluruh bangunan tekstualnya mesti merujuk pada sendi-sendi dasar yang termaktub di dalam teks Kitab Suci dan apa yang pernah diajarkan Nabi SAW di Mekkah dan Madinah sebagai basis geografis lahirnya Islam.

Hal tersebut didasarkan pada realitas Islam sebagai agama yang lahir di masa Rasulullah zaman Mekkah dan Madinah tanpa mengalami proses historis ajaran Islam dipandang sebagai ajaran agama yang selesai, tuntas dan paripurna di masa itu, dan tidak boleh mengalami modifikasi, kontekstualisasi, atau pun perubahan.

Baca Juga:  Menghina Agama Lain dalam Islam, Apakah di Perbolehkan? Yuk Pahami

Otontifikasi  juga meniscayakan ketundukan kepada teks teks Al Quran, Hadis dan pengalaman masa lalu (salaf al shalih) dalam bentuknya yang tekstual dalam lapangan sosial-politik. Sebab, sifat transenden Al Quran dan Sunnah dianggap tidak bersentuhan sama sekali dengan budaya manusia.

Tindakan sosial politik Nabi dan para sahabat juga dianggap sebagai contoh final yang harus ditiru oleh umat Islam kapanpun dan di manapun ia hidup. Keteladanan di sini tidak semata nilai-nilai atau pesan-pesan yang dikan dungnya, tetapi juga bentuk-bentuk dan simbol-simbolnya.

Wajah-Wajah “Islam Otentik”

Jargon “Islam kaffah“, bagi mereka (islam otentik) adalah sebagai realisasi pengislaman seluruh sistem hidup diantaranya adalah ekonomi, masyarakat, negara lengkap dengan bentuk dan simbolnya.

Inilah yang melahirkan gerakan “politik identitas Islam” yang dikerangkai oleh mazhab Wahabi, Maududi (Abul A’la Al-Maududi) dan Quthbian (Sayyid Quthb) yang oleh para pengikutnya dianggap satu satunya kebenaran dan harus diterapkan oleh umat Islam seluruh dunia.

Baca Juga:  Menyikapi Perbedaan Pendapat Ulama Tentang Hukum Merayakan Tahun Baru

Di sinilah otentikasi Islam menjadi trademark ajaran yang paling benar dapat diaplikasikan di semua wilayah/ kawasan. Sehingga, di luar geografis itu mesti meniru model yang sudah terjadi di masa Rasulullah (Mekkah dan Madinah).

Pada gilirannya, Islam yang di sana dipandang sebagai Islam otentik, sedangkan Islam di wilayah lainnya bukan Islam yang otentik, “Islam periferal”, yang jauh dari karakter aslinya.

Itu sebabnya, sikap keberagamaan (Islam) di wilayah Nusantara yang telah mengalami proses akomodasi kultural dianggap bukan Islam otentik karena sudah berubah dari ajaran aslinya.

Pada fase permulaan, paham Wahabisme dengan ideologi puritannya merambah ke wilayah Nusantara dan telah meru sak eksistensi budaya-budaya masyarakat lokal secara besar besaran.

Tuduhan sinkretisme dan bid’ah telah merusak warna keaslian bangsa yang sudah diwariskan nenek moyang sebagai identitas lokal. Pada gilirannya, ini membawa perubahan pola pikir keberagamaan dari Islam lokal menjadi Islam universalis dalam praktik ajarannya.

Baca Juga:  Makna Kata Ulul Albab dalam Al-Quran Menurut Para Mufassir

Pada taraf berikutnya, ketika purifikasi berkembang ke arah sistem sosial-politik, dan menjadi fundamentalisme, ideologi Maududian dan Quthbian mengikis ekspresi sosial politik Islam Indonesia yang ramah, toleran dan moderat.

Bentuk keislaman yang tidak dogmatis, nonformalistis dan mengutamakan substansi daripada simbol sedikit terdesak oleh kehendak formalisasi syariat Islam. Term “pemberlakuan syariat Islam lalu direduksi maknanya menjadi “formalisasi syariat Islam”.

Ash-Shawabu Minallah

Mochamad Ari Irawan